MOJOK.CO – Industri pariwisata menyeragamkan selera. Siapa yang berperan? Ya investornya, ya turisnya.
Ini gambar pada proposal salah satu calon investor pariwisata di Mentawai, Sumatera Barat.
Sejak 2016, warga Teileleu di Kabupaten Kepulauan Mentawai dibujuk untuk melepas tanahnya dengan ganti rugi Rp2,2 juta untuk setiap 100 pohon kelapa. Ada lagi tunjangan Rp2 juta per bulan selama 5 tahun, asal mau meninggalkan tanah dan produksi kopra yang telah digeluti berabad silam.
Tapi, Anda pasti sudah bosan membaca catatan saya tentang ekonomi warga versus agenda korporasi yang difasilitasi negara. Mungkin saya perlu bicara dari sisi nalar pariwisata sendiri.
Saya usulkan kepada kawan-kawan jurnalis di Padang atau komunitas dokumenter untuk membuat cerita pendek soal ini. Caranya mudah: cukup satu jam saja berdiri di dermaga Mentawai Fast lalu cegat turis asing yang hendak menyeberang. Kepada mereka, tunjukkan gambar ini dan ajukan pertanyaan sederhana.
“Apakah ini yang Anda bayangkan tentang Metawai ketika memutuskan berlibur ke sana?”
Lalu bisa ditambahi kutipan dari bintang film “Fast and Furious” Paul Walker tentang alasannya menyebut Indonesia (Mentawai) sebagai “rumahku yang lain” atau secara klise ia sebut “surga di bumi”.
Ketika imajinasi turis tentang Mentawai adalah ombak, pasir, nyiur melambai, kapal kayu atau pompong, pemerintah dan investor properti Sentosa Group ini justru membuyarkannya dengan visualisasi pesisir Malibu di Kalifornia.
Di atas lahan 2.639 hektare, mereka membuyarkan angan-angan turis melihat Sikerei penuh tato keluar masuk hutan meramban tanaman obat dan menggantinya dengan hotel, restoran, padang golf, sea world, perkantoran, dan tentu saja bandara internasional dengan penerbangan langsung dari Singapura.
Singkat cerita, sekolah bisnis di mana para calon investor ini? Apakah mereka sedang tidur ketika dosennya mengajarkan tentang pentingnya nilai jual (selling point) dan kekuatan spesial (uniqueness) sebuah barang dan jasa yang tak dimiliki kompetitor?
Apakah mereka sedang bolos di rental-rental PlayStation ketika ada kuliah umum tentang segmentasi pasar dan diferensiasi produk?
Nalar bisnis yang sama digunakan calon investor Teluk Benoa yang hendak menguruk laut di Bali dengan dalih Pulau Dewata butuh ikon pariwisata baru agar “tak kalah dari Dubai dan Singapura”.
Mereka lupa, orang datang ke Bali untuk melihat hutan asli seperti Taman Nasional Bali Barat, bukan untuk melihat hutan buatan seperti Gardens by the Bay-nya Singapura. Orang datang ke Bali ingin melihat pulau asli bernama Lembongan atau Nusa Penida, bukan pulau palsu ala Palm Jumeirah seperti Dubai.
Mendesain Bali dengan konsep pariwisata agar bisa head-to-head dengan Singapura atau Dubai, selain tak masuk akal, juga bunuh diri. Sebab, ketika Bali menjadi semakin sama dengan Dubai dan Singapura, lantas apa lagi alasan yang tersisa untuk mengunjungi Bali, selain bertarung di harga tiket pesawat dan penginapan?
Konsep Mentawai Bay Resort adalah contoh lain miskinnya imajinasi para pebisnis pariwisata dan properti di Indonesia. Bandingkan dengan, misalnya, Bhutan yang tetap percaya diri menjual keindahan dan keasrian alamnya yang justru membuat industri pariwisatanya menjadi premium. Ongkos sepekan di Bhutan sama dengan biaya paket wisata ke Selandia Baru.
Untuk rata-rata orang Indonesia yang merasa sudah kenyang melihat hutan (itu pun dari gambar, karena kini sulit mencari hutan), tentu dengan ongkos yang sama lebih memilih Selandia Baru dan berfoto di rumah “Frodo”. Tapi, bagi segmen lain yang sudah kenyang dengan “modernitas” (yang ini malah biasanya lebih banyak duitnya), justru harus antre mengunjungi Bhutan karena pemerintahnya menerapkan kuota hanya 75 ribu turis setahun.
Apakah mereka tidak doyan duit?
Justru karena doyan, mereka berpikir jangka panjang. Jika tidak diberlakukan kuota dan menerapkan konsep turisme massal, pemerintah Bhutan khawatir daya tampung dan daya dukung lingkungannya akan over capacity dan pada akhirnya akan rusak dan merugikan di masa yang akan datang.
Mereka yang “aji mumpung”-lah yang sebenarnya tidak doyan duit. Hanya berpikir tentang untung sesaat dan tak punya cukup kesabaran untuk membiarkan proses-proses alamiah dalam interaksi sosial antara warga, alam, dan wisatawan. Gagasan mencetak 10 Bali baru dan menggenjot 20 juta turis mancanegara dalam tempo 3-4 tahun yang dicanangkan Presiden Jokowi adalah contoh bagaimana pariwisata tidak didesain dengan konsep yang tumbuh secara alami.
Jokowi lupa, Bali mulai mengenal turis sejak 1920-an lewat “wisata antropologi” yang dimulai para peneliti dan ilmuwan. Ada proses interaksi yang gradual hingga menjadikan Bali seperti saat ini. Itu pun bukan jaminan tak ada konflik seperti dalam kasus Teluk Benoa yang melibatkan pengusaha Tomy Winata, Pulau Serangan milik keluarga Cendana, atau sulitnya warga Bali mengakses pantai-pantai tertentu karena diklaim sebagai “private property”.
Konsep pariwisata yang tak berbasis komunitas atau masyarakat dan semata-mata mengandalkan stimulasi investasi hampir pasti menimbulkan konflik seperti Pulau Cubadak di kawasan Mandeh (Sumatera Barat), pengusiran nelayan di areal resort-resort tertentu di Wakatobi, kasus Pulau Pari di Kepulauan Seribu, atau tewasnya warga bernama Poro Duka di Pulau Sumba baru-baru ini akibat peluru polisi yang mengawal pengukuran tanah untuk resort.
Bahkan baru di tahap membangun bandara untuk mendukung konsep turisme massal Yogya seperti Kulonprogo pun, sudah menuai konflik dengan warga.
Di sisi lain, mungkin pebisnis merasa ada peluang pasar hingga nekat menyulap Mentawai yang seharusnya menjadi tujuan “wisata dengan minat khusus” menjadi wisata massal. Ia mungkin tak peduli dengan turis-turis asing yang toh ke Mentawai lebih banyak menghabiskan waktu di kapal pesiar, misalnya.
Mereka menargetkan turis Asia, khususnya mungkin Indonesia yang memang “unik” dan cenderung lucu.
Ke mana pun perjalanan wisatanya, tak peduli pantai, gunung, kota, atau pinggiran, sepanjang ada McD atau KFC, makannya tetap di sana. Nongkrong dan minumnya tetap di Starbucks, sementara tidurnya di hotel-hotel berjaringan yang konsepnya seragam seperti Ibis, Novotel, Santika, Fave, Pop, atau Amaris—dengan tak lupa meminta koneksi wi-fi agar tetap update alih-alih menikmati pemandangan atau pengalaman kultural.
Turis-turis jenis ini menyumpal telinganya dengan playlist yang sama, tak peduli dia sedang menikmati Pulau Rote yang punya lontar dan sasando atau menatap Ngarai Sianok dan seharusnya membiarkan lamat-lamat suara pengamen saluang yang membawa speaker-nya sendiri, meski terdengar sember.
Jadi, tak heran jika calon investor Mentawai Bay Resort ini mendirikan lapangan golf di daerah di mana seharusnya turisnya berjalan-jalan menyusuri sungai melihat kandang-kandang babi atau pengolahan sagu milik warga lokal di sepanjang perjalanan.
Atau setidaknya, cukup duduk santai ditemani kelapa muda sembari menatap tenangnya muara Saibi di Siberut Tengah dan berharap pelangi muncul setengah lingakaran sempurna menghubungkan dua titik cakrawala. Alih-alih melihat sea world yang pastinya lebih hebat di Singapura atau cukup di Ancol saja.
Investor dan jenis turis yang sama-sama miskin imajinasi.