MOJOK.CO – Erdogan menulis pesan dalam bahasa Arab dan Inggris sesaat sebelum membuka masjid Hagia Sophia. Keduanya disampaikan dengan tone yang berbeda.
Kamu pernah ke Borobudur, kawasan wisata yang diaku-aku sebagai Jogja padahal di Magelang tersebut? Sekarang bayangkan Borobudur mengalami drama sejarah yang meliak-liuk.
Bagaimana jika candi Buddha yang dibangun di abad 8 Masehi itu dijadikan masjid oleh kerajaan Mataram Islam di era kejayaannya? Lalu oleh kelompok nasionalis di masa kemerdekaan diubah menjadi musem; dan dekade selanjutnya, oleh kekuatan politik Islam diubah kembali menjadi masjid?
Kira-kira seperti itulah drama sejarah yag dilalui oleh Hagia Sophia (orang Arab mengikuti ejaan Turki dengan menyebutnya Aya Sophia). Hagia Sophia adalah simbol hegemoni satu kekuatan atas kekuatan lain secara silih berganti.
Semula Hagia Sophia diniatkan sebagai sebuah katedral Ortodoks. Sempat diubah menjadi katedral Katolik Roma selama setengah abad. Kemudian menjelma menjadi masjid di era kekuasaan Ottoman (Turki Ustmani) selama 5 abad.
Pokoknya siapa yang berkuasa seolah wajib hukumnya untuk menancapkan simbol identitasnya pada Hagia Sophia ini. Ia menjadi monumen kemenangan sebuah kekuatan politik.
Pada era perang dunia, sejalan dengan gelombang sekulerisme di Turki, Hagia Sophia dikonversi menjadi tempat yang netral agama, yaitu museum. Baru pada 10 juli 2020 Pengadilan Turki menganggap konversi tersebut sebagai tindakan ilegal.
Itu versi singkatnya saja. Kita butuh rangkaian webinar kalau mau tahu secara detail.
Lalu kita semua tahu, hari Jumat kemarin (24/7/2020) menjadi hari yang penuh dengan simbol. Hagia Sophia berfungsi kembali sebagai masjid. Jumatan pertama setelah puluhan tahun terselenggara dan konon diikuti oleh hampir setengah juta orang.
Kian dramatis dengan lantunan ayat suci dari Erdogan dan sang Khatib yang membawa pedang saat berkhotbah, alih-alih tongkat sebagaimana umumnya.
Sebagai muslim, kamu berhak suka cita, tapi (tetap sebagai muslim) kamu berhak pula kecewa.
Kalau ingatan kamu pendek, hanya mengarah pada era kejayaan Turki Utsmani, kejadian ini tentu saja membawa nuansa nostalgia. Namun, kalau ingatanmu panjang dan mengarah pada bagaimana Umar bin Khattab menolak dengan halus undangan untuk shalat di gereja Makam Kudus, Yerusalem; karena khawatir umat Islam akan menjadikannya sebagai masjid, kejadian ini mungkin membuatmu kecewa.
Apalagi kalau kamu tidak punya ingatan? Tahunya cuma Erdogan ya wassalam.
Bicara soal Erdogan, langkah ini memang menegaskan bahwa dirinya memang seorang politikus. Posisi yang mengharuskannya punya banyak wajah dan kadang-kadang poker face juga. Menampakkan raut wajah yang berbeda dari yang dia rasakan.
Saya punya alasan untuk ngomong gitu.
Erdogan menulis pesan dalam bahasa Arab dan Inggris sesaat sebelum membuka masjid Hagia Sophia. Keduanya disampaikan dengan tone yang berbeda. Erdogan mengerti betul teori klasik “Li Kulli Maqam, Maqaal,” setiap tempat punya kata-kata yang tepat.
Saya mendapatkan pertama kali dua pesan berbeda tersebut dari jurnalis kenamaan Al-Aan TV yang rajin meliput kawasan Timur Tengah, Jenan Moussa.
Dalam versi Inggris, Erdogan menyebut alih fungsi Hagia Sophia sebagai tes atas kedaulatan bangsa. Erdogan juga menyebut bahwa meski telah berubah menjadi masjid, Hagia Sophia tetap terbuka untuk semua kalangan, lokal maupun wisman, muslim maupun non muslim.
Erdogan juga terbuka atas kritik dan pandangan perbeda atas keputusan tersebut. Namun sambil mengutarakan bahwa sebagaimana Turki tidak ikut campur urusan tempat ibadah di negara lain, dia berharap negara lain juga menghormati keputusan Turki atas tempat ibadah dan sejarah tersebut.
Kalau dipikit-pikir, pesan versi English ini seperti meminta pemakluman dari dunia internasional.
Dalam versi Arab, nuansanya berbeda. Ada aroma perjuangan dan jihad di sana. Erdogan membuka pesan berbahasa Arab tersebut dengan menyebut bahwa alih fungsi Hagia Sophia adalah “kabar gembira” dan penanda kembalinya fungsi Masjidil Aqsha bagi umat Islam.
Pembukaan Hagia Sophia disebutnya sebagai bentuk perlawanan kaum muslim di seluruh dunia atas tindak kezaliman. Bahwa keputusan ini adalah bagian dari salam hangatnya untuk seluruh warga yang terbentang dari Bukhara (Uzbekistan) hingga Andalusia (Spanyol).
Erdogan juga menyebut bahwa sikap ini menggambarkan respons terbaik atas berbagai serangan yang menyasar simbol-simbol keislaman di seluruh pelosok dunia. Dia ingin menegaskan bahwa Turki sedang memainkan perannya yang teramat penting dalam percaturan politik internasional dan akan terus berada pada track hingga cita-citanya tercapai.
Mari siapkan kopi sambil telaah bersama.
Pertama Erdogan sebut Masjidil Aqsha, sebuah masjid ikonik dan amat dicintai kaum muslim yang terletak di Palestina dan dikendalikan pengurusannya oleh Israel.
Terlepas dari posisinya sebagai muslim, pesan versi Arab tersebut jelas kontradiktif dengan pesan Erdogan versi English, yang katanya tidak mau ikut campur urusan tempat ibadah di negara lain.
Pesan ini jika disampaikan dalam versi Inggris dan menyasar warga Eropa, pastilah memunculkan perdebatan sengit. Tapi Erdogan memilih menggunakan isu Masjidil Aqsha untuk dibawa ke dunia Arab dan Islam dengan harapan dapat applause.
Tentu yang dia sasar adalah kelompok perpaduan Arab-Muslim-Awam. Karena di luar golongan itu, semua tahu kok Turki dan Israel lagi mesra-mesranya. Ya itulah Erdogan, si poker face.
Kedua, secara terang, harfiah, dan cetho welo-welo, Erdogan sebut Bukhara dan Andalus. Kira-kira tulah batas wilayah kekhalifahan Islam era Ottoman.
Nah, penyebutan dua wilayah tersebut apalagi kalau bukan dalam rangka romantisasi era kejayaan kekhalifahan Islam. Pesan ini harus disampaikan pada warga muslim, yang karenanya harus dalam versi Arab. Erdogan tidak akan diterima oleh warga Eropa kalau kedok ini dia tampakkan secara terbuka.
Ya itulah Erdogan, si poker face.
Ketiga, playing victim.
Dalam pesan versi Arab, Erdogan kembali menggunakan cara klise dengan menempatkan dirinya sebagai bagian dari kaum muslim yang terzalimi. Model sudut pandang ini tentu bukan ciri Erdogan seorang. Cukup banyak khotib saat bicara soal politik Islam, menempatkan posisi muslim sebagai umat yang terzalimi.
Sikap seolah-olah sebagai korban ini kadang digunakan untuk membenarkan bentuk penindasan baru. Kita tahu bahwa sistem hukum di Turki tak terlalu bersahabat pada jurnalis. Ratusan jurnalis masih berada di tahanan karena terlalu berani mengkritik pemerintah. Lalu sistem hukum yang sama-lah yang memutuskan bahwa konversi Hagia Sophia dari masjid ke musem adalah ilegal.
Kita tidak benar-benar tahu mengapa pengadilan tidak menariknya lebih jauh. Maksud saya, bagaimana dengan konversi Hagia Sophi dari gereja ke masjid?
Sebenarnya apa yang dimaksud Erdogan dengan kezaliman itu? Tapi ya itulah Erdogan, si poker face, menampakkan wajah seolah dapat kartu buruk, padahal yang terjadi sebaliknya.
BACA JUGA Melihat Hagia Sophia dengan Perspektif Pancasila atau tulisan Miftathur Risal lainnya.