Indonesia Sudah Tidak Butuh Standup Comedy

standup comedy ernest prakasa pandji pragiwaksono lawan dari standup comedy mojok.co

standup comedy ernest prakasa pandji pragiwaksono lawan dari standup comedy mojok.co

MOJOK.COUntuk mencerdaskan kehidupan bangsa, yang menjadi salah satu tujuan kita bernegara, kita tidak butuh budaya standup comedy (komedi berdiri). Berdiri dan harus lucu itu belum perlu. Kita lebih perlu duduk serius.

Negara ini sedang genting, bisa diukur dari cara warganya membuang sampah. Ada yang masih buang tisu lewat jendela mobil atau buang sampah ke sungai. Bahkan di satu video viral, seorang bapak membuang sampah ke aliran banjir. Sudah ada banjir di depan mata saja masih melakukan hal yang menjadi penyebabnya.

Pelajarnya juga masih banyak yang buang plastik bekas cilok atau es jeruk jajanannya ke pinggir jalan. Kok ya sampahnya nggak disimpan dulu sampai ketemu tempat sampah. Kalau begini, kapan budaya mengolah sampah jadi energi bisa terlakoni? Tahap paling dasarnya saja belum kesampaian. Kurang genting bagaimana? Kalau masih kurang genting juga, berarti atap rumah belum jadi.

Karena itulah kita tidak bisa terus-terusan banyak bercanda, seperti kalimat terakhir paragraf barusan. Dan standup comedy itu bercanda. Potensi penghasilan dari melakukannya yang tidak bercanda. Pandji, Ernest, atau Bintang Timur sudah membuktikan. Padahal, menghadapi kesemerawutan bangsa, kita perlu gagasan. Gagasan yang isinya solusi atas macam-macam masalah.

Untuk bisa mendapatkan gagasan yang kita perlukan, saya akan memulai dengan memberi gagasan perlunya satu gerakan bernama duduk serius.

Konsepnya mirip standup comedy. Seseorang bicara di depan kamera. Kalau standup comedy itu melucu, duduk serius serius. Kalau standup comedian disebut komika, pelaku duduk serius bisa disebut seriusa. Kalau dalam standup comedy lucu itu harus, dalam duduk serius lucu itu bonus. Dalam standup comedy, hal penting itu bonus, dalam duduk serius hal penting itu harus.

Pesertanya nanti adalah mahasiswa, pelajar, guru, kang sekoteng, kang becak, pejabat, ibu rumah tangga, siapa saja yang bisa diajak serius dan punya hal penting untuk disampaikan. Mungkin nanti acara ini akan mirip ceramah. Tapi ceramah kan biasanya disampaikan ahli atau pihak berwenang. Kalau duduk serius itu pelakunya akar rumput. Nonton ceramah ahli itu biasa, nonton ceramah orang awam baru luar biasa.

Namun, duduk serius bukan ceramah ala motivator yang diawali salam “Semangat pagi!” atau ajakan menjawab salam “Kalau saya bilang ini, kalian jawab itu”. Duduk serius menyampaikan keluhan disusul ajakan. Soal sampah, korupsi, tawuran, kemacetan, sampai ekonomi global. Betapa nikmatnya melihat ketua OSIS dari berbagai SMP atau SMA mengeluh soal kurikulum, atau abang ojol curhat kendala teknologi, atau mahasiswa bicara tentang langkanya lapangan kerja. Kemudian, mereka menyusulnya dengan gagasan solusi atas keluhannya.

Tak ada tawa terbahak-bahak, cuma anggukan atau gelengan tanda tidak setuju dari penonton.

Coba itu stasiun tivi satu yang ngakunya “Inspirasi Indonesia”, jangan cuma bikin audisi standup comedy. Duduk serius malah tidak perlu audisi. Tinggal minta tiap-tiap sekolah, kampus, atau instansi pemerintahan mengirimkan utusan. Teknis kreatifnya gampang sekali. Tak beda dengan standup comedy, tinggal tambah kursi sebiji. Bolehlah ada meja di sampingnya, dengan segelas kopi biar kesannya pemikir banget. Atau kalau pesertanya siswa SMP, suguhi Ale-Ale atau susu kacang kemasan. Bahkan saya membayangkan ada juga duduk serius kategori SD. Hitung-hitung membiasakan budaya public speaking sedari dini.

Bayangkan, betapa serunya ketika anak-anak SD di segala penjuru nusantara tiba-tiba membahas isu nasional yang disampaikan seorang seriusa semalam. Mereka ngemil lidi-lidian dan es mambo sambil berdebat. Jadi, obrolan kantin mereka bukan melulu konten terbaru Saaih Halilintar, cerita episode terbaru Upin-Ipin, atau arti lirik lagu Frozen II.

Dari duduk serius ini para pejabat eksekutif bisa mendapat fakta dan data yang berguna untuk membuat keputusan. Mestinya mereka merasa dimudahkan dalam mendapatkan aspirasi masyarakat, meski sejauh ini masalah mereka bukanlah cara mendapat aspirasi, tapi dasar mereka sendiri yang nggak mau mendengarkan.

Jika kemudian orang tivi ternyata tidak tertarik dengan gagasan membuat program duduk serius ini, kita bisa saja mengacarakannya di YouTube. Biar kita imbangi konten-konten komika dengan konten-konten seriosa. Ketika kelak acara ini meledak, BOOM! Orang tivi pasti ikut-ikutan. Sifat mereka kan gitu.

Lalu, bagaimana dengan standup comedy?

Biarkan waktu yang mengadili mereka. Bisa saja akan terjadi tren hijrah baru di kalangan komika. Endingnya, mungkin nanti akan ada percakapan.

“Eh, dia nggak pernah keliatan standup lagi, ke mana sih?”

“Dia udah hijrah ke serius sekarang.”

BACA JUGA Tentang Komedi yang Relijius dan Betapa Sialnya Menjadi Perempuan atau esai-esai ala Mojok lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version