MOJOK.CO – Jika tombol dislike Facebook ada, Indonesia bakal bubar lebih dini karena akan lebih banyak lahir hipokrit baru yang sok-sokan bilang nggak suka, padahal kepo, ketimbang sebaliknya.
Ali Mochtar Ngabalin, tenaga ahli dari Kantor Staf Presiden itu, beberapa waktu lalu melalui akun twitternya kedapatan nge-like sebuah unggahan video porno. Wah, wah, jagat twitter geger. Semua orang ribut membicarakannya, pihak Ngabalin pun buru-buru bikin klarifikasinya.
Baiklah, Ngabalin tidak sendiri untuk hal yang disebut bukan faktor kesengajaan tersebut. Beberapa tahun sebelumnya, Tifatul Sembiring, Menteri Komunikasi dan Informasi pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) “ditangkap” oleh netizen saat me-follow sebuah akun media sosial berkonten pornografi.
Jika Ngabalin untuk menyelamatkan mukanya memilih beralibi bahwa akunnya dibajak hacker, maka Tif mengatakan kalau salah pencet follow akun—menurut pengakuannya—berangkat dari pengaduan netizen yang keberatan dengan adanya konten pornografi.
Bisa jadi keduanya memang benar tidak sengaja melakukannya, tidak ubahnya seperti kita yang ngepoin akun mantan. Niatnya kepo sambil iseng scrolling, sudah seantik, eh, secantik apa sekarang, apa daya malah kepencet ngeluv.
Dulu, saat media sosial masih sebatas untuk etalase pameran kita dan belum sekeras hari ini. Segala polah kita di dunia maya sering luput dari pantauan publik.
Mau ngelike akun bintang porno, tinggal klik dan semua orang di daftar pertemanan kita tidak menyadari aktivitas apa yang sedang kita lakoni. Menambahkan akun-akun vulgar sebagai teman, tinggal klik dan orang tidak menyangka akan hobi kita akan dunia intip mengintip aktivitas seksual orang lain, voyeurism.
Seiring dengan luasnya pemanfaatan media sosial untuk berbagai kepentingan dari bisnis hingga politik, dari pamer hingga pamer lagi, dalam beberapa tahun ini algoritma fesbuk terus mengalami pengembangan yang memungkinkan segala aktivitas kita terpantau pengguna lainnya. Mantra saktinya, interaction is the new engagement.
Aktivitas yang dulunya memberikan kita cukup ruang privat, sekarang mulai dilucuti. Tidak berbeda seperti berubahnya model ruang-ruang perkantoran dengan banyak sekat menjadi ruangan minim sekat yang memungkinkan pegawainya saling melihat dan saling mengawasi apa pun yang menjadi aktivitas koleganya selama jam kerja.
Revolusi berbasis teknologi informasi menggandakan perubahan tersebut dengan lebih cepat dan telanjang. Ketika kita menyukai foto yang lebih lekat dengan dunia pornografi, kenalan kita dari TK hingga dunia kerja yang terhubung dalam media sosial kita pun melihatnya.
Pencet like status orang, di saat yang kurang lebih sama orang akan melihatnya juga. Like produk yang kita sukai dari barang hingga tempat belanja online, orang akan melihatnya juga. Interaksi antar pengguna medsos inilah yang pada akhirnya pelan namun pasti merevolusi pola pikir kita.
Singkatnya, apa yang dulu dianggap privasi, sekarang menjadi tontonan secara publik. Medsos merespons hal-hal yang saya sebutkan di atas tanpa meminta konfirmasi terlebih dahulu. Mau diam-diam ngeklik tips malam Jumat dari Majalah Popular tanpa ketahuan anak, istri, tetangga, saudara, pacar dan bahkan orang tua, sudah tidak memungkinkan lagi.
Bahkan kalau anda ingat, pernah ada selebritis medsos yang keberatan dengan iklan yang tampil di newsfeednya. Dengan bahasa yang sangat baik dan runtut, dia mengemukakan keberatannya.
Secara demonstratif, orang tersebut, kalau Anda ingat siapa, mengunggah tangkapan layar iklan tersebut. Apa isi iklannya? Produk memperbesar penis. Serius, Si Seleb itu tanpa ragu berusaha mengungkap “kebobrokan” Facebook. Bagaimana bisa perusahaan di bawah komando Mark Zuckerberg tersebut lebih mengedepankan manfaat ekonomi sampai menerobos batas-batas moral?
Tentu saja postingan tersebut mendapat banyak pujian. Sudah pintar, alim pula. Padahal yang sesungguhnya terjadi tidak seperti itu. Tanpa sadar, orang yang secara akademis telah mendapatkan pengakuan luas tersebut tengah menunjukkan kedogolan yang hakiki. Dia tidak menyadari bahwa Facebook telah memindai segala perilaku kita saat berselancar dengan internet.
Anda gemar berbelanja alat ibadah, maka iklan-iklan alat ibadah dari market place tertentu akan tampil tanpa lelah di layar gawai kita. Anda menyukai piknik, maka iklan dari berbagai penyedia paket wisata berserta akomodasinya akan mengunjungi layar gawai Anda tanpa permisi. Jadi sudah bisa ditebak, preferensi seleb tersebut saat berselancar.
Iklan yang tampil di Facebook kita, itu menunjukkan kecanggihan buatan yang dapat memetakan kecenderungan selera kita dan bahkan teman kita. Cari produk memperpanjang penis dan bahkan obat kuat tentu saja hak setiap orang. Hanya saja seleb kau-tau-siapa-yang-saya-sebutkan-tadi gagap menanggapi perkembangan terkini. Ironisnya, tanpa sadar koar-koar ke publik kalau dirinya sering buka konten begituan di Facebook-nya meski awalnya kelihatan heroik.
Sampai di sini kita harus mengakui bahwa teknologi informasi telah menempatkan manusia menjadi seperti hewan peliharaan yang disemati kalung yang berisi data-data: nama, alamat, kegemaran dan bahkan pilihan politik. Sudah mulai bisa menerima bahwa sebagian besar dari kita ini hanya merupakan objek?
Selanjutnya soal persepsi masyarakat. Di tangan orang atau kelompok yang dapat memanfaatkan dengan baik, media sosial dapat diandalkan keampuhannya untuk membangun kesadaran masyarakat hingga pengumpulan dana untuk berbagai pemanfaatan. Tetapi di tahun-tahun penuh intrik politik ini, media sosial juga terbukti sukses meracuni orang-orang dengan paham kebenaran tanpa perlu verifikasi.
Seorang teman bercerita bahwa dirinya diblokir oleh teman di medsosnya karena kedapatan menyukai tulisan seseorang yang mempromosikan sistem khilafah. Di kesempatan lain, ada teman yang justru diblokir karena gemar pencet like tulisan tokoh liberal. Apa yang sesungguhnya ada di pikiran para pengguna medsos yang tidak siap bermedsos ini?
Begini ya, orang memencet like, itu tidak ada hubungannya dengan setuju atau tidak. Ini hal dasar yang harus dipahami dulu dalam bermedsos. Orang menyukai satu tulisan, juga tidak selalu terkait dengan kesepakatan atau kesamaan preferensi politik. Kalau kita kalem saja mengartikan like, dunia medsos kita tidak akan sepanas hari ini.
Serius, cukup saja berpikir bahwa like mengandung berbagai keungkinan:
Pertama. Memang setuju seluruhnya dengan tulisan tersebut. Ini sebenarnya juga dapat dipecah dalam beberapa klasifikasi.
Kedua. Menyukai cara berpikir si pembuat status atau tulisan, cara membangun argumentasinya atau bahkan cara menyuguhkan solusi. Nah, ini yang paling sering bermasalah. Like disalahmaknai sebagai setuju sepenuhnya.
Lha memang jancuk. Tapi itu yang terjadi selama beberapa tahun ini. Tidak perlu heran kalau orang lebih sibuk berbicara dengan kelompoknya saja. Orang di luar dirinya hanya dianggap golongan sesat.
Ketiga. Like tanpa berpikir. Ini khas para maniak politik dan penghamba seleb. Makhluk yang tidak dapat memahami kebenaran di luar diri dan kelompoknya. Pokoknya asal satu barisan harus disetujui, sebusuk apa pun pendapatnya.
Model jari dulu beraksi-otak baru berpikir membuat budaya kritis kita tidak saja semakin luntur, tapi juga semakin tumpul. Tidak adakah yang merasa perlu khawatir bahwa ketidaksadaran kolektif ini yang akan kita wariskan pada anak-anak kelak?
Untungnya kita dididik untuk pintar mengambil hikmah. Coba kalau Zuckerberg menyediakan tombol dislike. Kalau itu yang terjadi Indonesia mungkin sudah bubar sejak Minggu kemarin, tidak perlu sampai nunggu 2030.
Sebab tombol dislike lebih mudah bagi seseorang untuk jadi hipokrit, mengakui ketidaksukaan yang tersebar ke publik padahal di ruang privat sebenarnya suka, kepo, bahkan ngikutin. Kayak seleb yang koar protes soal iklan pembesar penis di Facebook tadi misalnya.
Berkebalikan dengan tombol like. Agak susah sebenarnya untuk bilang kepencet atau kena hack waktu akunnya kena relate sama akun konten porno. Coba kalau sudah ada tombol dislike, kan tinggal ngomong begini: “Tadi itu saya mau klik dislike, eh malah kepencet like.”
Ealah, padahal mau dislike apa like mah sama-sama dah nonton kontennya kali, Pak.