Indonesia Bertutur: Manifesto Adat Nusantara untuk Kebudayaan dan Bumi Lestari

Kenyataan bahwa pertunjukan ini diciptakan oleh semua perempuan, juga menandakan peran penting perempuan untuk berada di garis depan pertahanan ekologis.

Indonesia Bertutur: Manifesto Adat Nusantara untuk Kebudayaan dan Bumi Lestari MOJOK.CO

Ilustrasi Indonesia Bertutur: Manifesto Adat Nusantara untuk Kebudayaan dan Bumi Lestari. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.CO – Karya-karya di Indonesia Bertutur merefleksikan kebudayaan dan pengetahuan lokal yang bertransformasi menjadi pengalaman kolektif.

Pengetahuan tentang bumi berbasis pada siklus kehidupan atas segala makhluk. Kekayaan kebudayaan Nusantara menunjukkan bagaimana praktik penciptaan seni sejak awal selalu menjadi bagian dari artikulasi pengetahuan tentang berbagai aspek hidup yang menyeluruh: manusia, semesta, dan budaya. Pada kehidupan masa kini, sesungguhnya kita bisa mengambil nilai tersebut untuk menjadi jalan membangun masa depan kemanusiaan yang lebih baik. 

Festival Indonesia Bertutur 2022, sebuah festival yang diselenggarakan oleh Ditjen Kemenristek Dikti, menghadirkan kekayaan kebudayaan Nusantara yang datang dari berbagai ritual dan ekspresi masyarakat adat sebagai kesatuan yang menguatkan imajinasi kita sebagai sebuah bangsa. Seluruh ekspresi tersebut adalah rangkuman pengetahuan yang tak terhingga nilainya. Ia dirayakan bersama untuk mengukuhkan identitas sekaligus membangun solidaritas terhadap kelompok yang terpinggirkan oleh gagasan modernisme. 

Lewat Festival Indonesia Bertutur 2022, para seniman dan pekerja kebudayaan membawa nilai untuk menghargai perbedaan. Mereka membongkar konstruksi sejarah yang dimulai pada masa kolonial tentang masyarakat adat sebagai kelompok primitif yang kemudian harus diubah atau dimodernisasi.

Pengetahuan lokal tentang sejarah, keterkaitan dan harmoni antara manusia dan kehidupan yang luas, penghargaan terhadap bumi sebagai sumber kehidupan menjadi benang merah yang menghubungkan filosofi warga dengan imajinasi para seniman. Imajinasi ini dimunculkan dalam ragam bentuk visual yang kaya dan memukau.

Beberapa tahun belakangan, para seniman melihat pentingnya kerja kesenian menjadi upaya untuk menuliskan kembali sejarah yang hilang atau berserak. Seni bisa menjadi narasi yang dimunculkan dari perspektif warga sendiri serta menguatkan identitas politik warga. 

Sejarah bukan lagi sesuatu yang digariskan dari atas oleh penguasa tetapi mencakup juga memori kolektif sosial dari setiap warga. Dan juga catatan dari mereka yang selama ini dianggap sebagai orang biasa. Catatan ini bisa berupa dendang syair, puisi, geguritan, ratapan, doa, dan mantra, yang semua merupakan serangkaian kode dari beragam bahasa dan khazanah kebudayaan Nusantara. 

Seni kontemporer, ziarah ingatan, serta spekulasi masa depan

Terpilihnya Candi Borobudur sebagai situs utama penyelenggaraan festival, dengan demikian narasi tentang sejarah masa lalu seketika mengemuka. Sementara itu, konsep dan garis kuratorial yang ditawarkan oleh Melati Suryodarmo, selaku Direktur Artistik, melampaui nostalgia dan romantisasi atas Borobudur itu sendiri. 

Melati berupaya untuk membangun dialog-dialog baru yang lebih produktif tentang persilangan sejarah, situasi masa kini dan spekulasi masa depan. Penggunaan teknologi dan multimedia untuk penciptaan beragam karya menjadi penting peranannya. Teknologi mampu membangun imajinasi baru tentang sejarah, pengetahuan kosmologis dan ekologis, serta pemahaman terhadap eksistensi manusia masa kini. 

Dalam program Instalasi Cahaya, para seniman yang bekerja dengan multimedia, video mapping, dan soundscape berkolaborasi dengan penari. Para penari ini membawa khazanah penelitian mereka tentang beragam situs arkeologis dan artefak dari berbagai tempat di Indonesia. Mulai dari Leang-leang hingga Sangiran. Kolaborasi ini menghampar menjadi instalasi interaktif yang menarik. 

Karya-karya tersebut merefleksikan kebudayaan dan pengetahuan lokal yang bertransformasi menjadi pengalaman kolektif yang mempertemukan beragam tafsir sejarah. Demikian pula beberapa narasi yang muncul dalam video mapping skala raksasa di Borobudur yang menjadi sebuah pertunjukkan yang menarik atas situs sejarah. 

Sementara itu, dalam pameran seni rupa, pertemuan narasi lokal sebagaimana yang diangkat oleh Citra Sasmita, Mella Jaarsma atau Titarubi, bertemu dengan penjelajahan bagaimana imajinasi kemanusiaan masa depan yang mulai terbayang. 

Karya Lu Yan dari Shanghai, Cina, misalnya, dia menginvestigasi dan mengintervensi relasi tubuh, teknologi, dunia baru yang dimunculkan dalam citra gambar video yang penuh chaos tetapi begitu inspiratif. Lalu ada Ade Darmawan, Syaiful Garibaldi dan Jun Nguyen Hatsushiba yang juga menawarkan pengalaman sensorik menarik dalam ruang pameran. 

Layar digital, tubuh penari, dan ruwatan bumi

Ruwatan adalah sebuah ritual memohon keselamatan untuk kehidupan yang lebih baik. Ritual ruwatan merupakan kekayaan spiritualitas untuk terhubung dengan nenek moyang dan semesta alam. Pada Festival Indonesia bertutur 2022, beberapa pertunjukan secara khusus menunjukkan bagaimana pemahaman akan siklus kehidupan adalah sebuah modal untuk melanjutkan hidup bagi generasi masa depan. 

Karya film tari Fitri Setyaningsih yang berjudul Kinjeng Tangis misalnya, menjadi ruang sublim yang menyuguhkan pertemuan antara dunia yang senyap dan suara mesin penebang hutan. Para penari menirukan kinjeng-kinjeng yang menangis. 

Dengan demikian, ritual merupakan cara untuk membongkar masa lalu. Melalui keterhubungan dengan leluhur yang mewariskan nilai-nilai kepada generasi setelahnya, ia bisa berfungsi sebagai spekulasi masa depan. Kekayaan dan keberagaman etnis di Indonesia masing-masing memiliki kekhasan nilai spiritualnya sendiri. 

Dalam pertunjukan pungkasan “Ruwatan Bumi”, Melati Suryodarmo mengumpulkan 9 seniman perempuan yang terdiri dari pemusik, sutradara, penata tari, penata busana, penata visual, dan sebagainya. Mereka membawakan keindahan ritual Indonesia yang menangkap keragaman suara, nyanyian, teks/ bahasa, tarian, tata busana, dan spiritualitas/kepercayaan. 

Panggung penuh dengan tokoh spiritual, masyarakat, para penari, penyanyi dan aktris. Pertunjukkan membahas tentang pentingnya ritual-ritual dalam menjaga keseimbangan kosmologis manusia dan bumi, kosmik dan galaksi, eksistensi seseorang hingga hubungan sosial yang kompleks. 

Kenyataan bahwa pertunjukan ini diciptakan oleh semua perempuan, juga menandakan peran penting perempuan dalam komunitas tersebut di garis depan pertahanan ekologis. Semua dikoreografikan dengan indah dan dikomposisikan dengan sangat menghormati bentuk upacara aslinya, dengan intervensi cahaya, suara, video yang menunjukkan spirit kebudayaan kontemporer. 

Para perempuan ini seperti menyuarakan kembali lantunan, kebajikan dan pengetahuan yang telah lama terasa berjarak dari kehidupan kita. Sekaligus membentang dan memanggungkan kekayaan kebudayaan Nusantara dalam sebuah repertoar yang sedemikian menggetarkan. Bayangkan, mereka yang selama ini terpinggirkan, terlupakan, terdesak oleh pembangunan, bersatu padu dalam sebuah panggung dalam ruang dan waktu yang sama, untuk menyajikan doa dan mantra demi keselamatan dunia. 

Teknologi menjadi ruang kemungkinan untuk memperbesar pengaruh pemikiran lokal berbasis kepercayaan untuk dapat diproyeksikan menjadi bagian dari kebudayaan masa depan. Seluruh gelaran karya dalam Festival Indonesia Bertutur 2022 ini memberi harapan baru tentang bagaimana teknologi harus berperan dalam menciptakan ruang hidup yang lebih baik. Bukan terus menciptakan jarak dan kesenjangan antara kebudayaan dan komunitas hidup yang beragam di Nusantara. 

Inisiatif semacam ini harus terus berlanjut. Direproduksi di ruang-ruang lain yang barangkali lebih kecil dan lebih intim. Sehingga, beragam suku dan budaya ini bisa terlibat dalam percakapan lebih mendalam bersama generasi masa depan. 

BACA JUGA Nasirun, Santrinya, dan Lukisan-lukisan yang Pulang dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Alia Swastika

Editor: Purnawan Setyo Adi

Exit mobile version