MOJOK.CO – Baru-baru ini Gubernur Jawa Barat Kang Ridwan Kamil membuat aturan baru bahwa mulai Januari 2020, pasutri di Jawa Barat yang hendak bercerai wajib menyumbang 100 batang pohon lewat KUA.
Sementara, calon pengantin juga diminta menyumbang, tapi jumlah lebih sedikit, 10 batang saja. Ini apa maksudnya? Apa Pemprov Jawa Barat mau mempersulit orang yang mau cerai? Ya memang kalau menurut Ridwan Kamil.
Ada beberapa kawasan kritis di Bandung Utara dan DAS Citarum bagian hulu yang jadi biang masalah saat musim penghujan tiba. Untuk restorasi, dibutuhkan 25 juta batang pohon, dan bisa tremor pemerintah kalau disuruh menyiapkan semua. Itu sebabnya masyarakat dilibatkan untuk menyumbang, baik anak-anak yang lulus sekolah, PNS yang dapat promo jabatan, pemohon IMB, dan seterusnya. Dengan besaran mulai 10 batang, pasangan yang hendak cerailah yang kena jatah paling dan sangat tinggi, yakni 100 batang.
Kang Ridwan Kamil, ini bukannya sudah jatuh tertimpa tangga?
Sebab, kata mereka—juga kata saya yang pernah bercerai—seburuk apa pun sebuah perkawinan, keputusan bercerai akan tetap terasa pahit. Jadi 100 batang pohon yang diwajibkan pada pasangan bercerai bukan cuma penalti yang mediskreditkan, bahkan sudah termasuk menyulitkan.
Tapi tunggu dulu. Bukankah sejak awal memang ini tujuan 100 batang itu? Membuat susah mereka yang mau bercerai?
Diakui atau tidak, pola perceraian kini mengalami pergeseran. Pada masa lalu perceraian didominasi oleh faktor ekonomi dan kekerasan dalam rumah tangga (dengan kehadiran orang ketiga yang mengiringinya). Tapi belakangan ini ada dorongan baru dalam perceraian yang cukup membuat khawatir: perselingkuhan yang dipicu oleh penggunaan medsos.
Di Bekasi saja pada 2017, sebanyak 2.231 pasangan bercerai sejak Januari-September dengan pemicu medsos. Di Bandung, angka perceraian di kalangan PNS Bandung yang mencapai 20 kasus per bulan. Sejak Oktober 2018 hingga Juli 2019 Pengadilan Agama Bandung sudah menangani 4.217 perkara perceraian, belum Pengadilan Negeri. Dan dari semua itu, pasangan bercerai terdata rata-rata berumur 30-50 tahun, bahkan lebih. Ngapain coba aki-aki nini-nini cerai?
Dan seakan cerai akibat Facebook belum cukup absurd, masih ada data tambahan, yakni perceraian akibat reunian. Ternyata benar kata pepatah, jangan sekali-kali kau tinggalkan urusan yang belum selesai. Celaka kalau jaman SMP dulu kau naksir seseorang dan hanya berani memendamnya dalam diam, berharap dari kejauhan, lalu kau datang ke reuni terlihat kece, percaya diri, dan melihatnya mencuri-curi pandang ke arahmu.
Sebab, Pengadilan Agama (dan bukan di Bandung saja, tapi sampai Kalimantan segala) mencatat banyak pasangan menceraikan pasangan tak lama setelah mereka menjalin komunikasi intens dengan teman sekolah yang ditemui saat reuni.
Gimana pemerintah nggak dibikin pening? Pembangunan kan bukan semata infrastruktur berupa jalan tol (apalagi yang dananya hasil ngutang). Bukan pula sekadar meningkatkan taraf hidup dengan kegiatan perekonomian dan seterusnya yang bersifat tangible. Ada perkara intangible lain-lain yang menjadi ukuran keberhasilan satu pemimpin wilayah dalam menyejahterakan warganya, termasuk terjaminnya keluarga yang lestari di antaranya.
Kalau sudah begini, usaha mempersulit proses perceraian di kalangan pasutri seperti yang dilakukan Ridwan Kamil akan masuk dalam tindakan preventif, sebesar atau sekecil apa pun dampaknya. Cuma tindakan preventif? Sudah bagus, sebab bukankah menciptakan pernikahan sakinah mawadah warahmah adalah tanggung jawab pasangan suami istri itu sendiri? Merekalah yang punya hak, kewajiban, sekaligus wewenang untuk mendorong perkawinan ke arah mana yang mereka mau.
Jadi kebijakan Ridwan Kamil ini menawarkan tiga kemungkinan: Pertama, pasutri yang hendak bercerai malah bangga karena merasa menjadi pahlawan lingkungan, lalu bergegas mengurus perceraian.
Bagai makan buah simalakama, tentunya. Tapi jangan sedih, masih ada skenario kedua, yakni pohon-pohon yang ditanam tumbuh besar, lalu pada tahun kesekian pemerintah mengundang para penanam pohon untuk melihat bagaimana pohon-pohon mereka tumbuh besar. Di bawah naungan pohon rindang hasil sumbangan mereka, diterpa angin senja kelana yang berbisik mesra, siapa yang bisa menyangkal adanya kemungkinan CLBK? Ya, ya, itu bisa saja….
Skenario terbaik tentu yang terakhir, yakni pasutri jadi emosi karena disuruh menyumbang, memilih, dan menanam bibit sendiri (ya, sebaiknya memang setotal itu, jadi bukan dalam bentuk mentahan saja).
Saking ribetnya mereka jadi berkata satu sama lain, “Timbang cere segini ribet. Mending kita obrolin lagi kali ya masalah kita.”
Setiap kali upaya rekonsiliasi menemui jalan buntu, mereka terpikir urusan 100 pohon yang menyebalkan itu, lalu berupaya lebih keras lagi untuk membuat cinta dan rasa percaya kembali bersemi. Hingga tibalah mereka pada titik di mana cinta akhirnya kembali menemukan jalannya….
Sampai sini harus diakui, sebagai imajinasi, ide Ridwan Kamil ini jenius.
BACA JUGA Bacaan Ringan Sebelum menggugat Cerai Pasangan atau esai YUANITA MAYA lainnya.