Ibu Saya Diasingkan Keluarga karena Kesamaan Weton

Menurut mitos, seorang anak yang memiliki weton sama dengan ibunya, maka ibunya akan mendapat marabahaya, bahkan cepat meninggal.

Ibu Saya Diasingkan Keluarga karena Kesamaan Weton

Ilustrasi Ibu Saya Diasingkan Keluarga karena Kesamaan Weton. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.CODulu, ketika masih kecil, ibu saya “dibuang” oleh keluarga karena kesamaan weton dengan simbah. Sebuah kesedihan yang masih terasa.

Weton merupakan tradisi Jawa yang begitu luhur. Boleh percaya atau tidak. Tetapi jika memberikan efek buruk di masa yang akan datang, sebaiknya tidak usah dipercaya. Semuanya kembali ke diri sendiri.

Setiap Idul Fitri tiba, rumah saya selalu ramai dengan tetangga dan juga sanak saudara. Yah, sama seperti keluarga pada umumnya. Setiap tahun, keluarga dari ibu atau ayah pasti datang bersilaturahmi ke rumah. Selain itu, saya sebagai anak yang paling muda juga gantian berkunjung ke rumah mereka.

Tetapi, setiap bertemu dengan saudara-saudara tersebut, selalu saja pikiran saya bertanya “Orang ini keluarga dari siapa, keluarga dari jalur apa?” 

Menjadi tidak akrab dengan saudara

Kalau masalah wajah dan nama pasti ingat karena setiap tahun juga bertemu. Tapi, kalau masalah jalur hubungan keluarga, saya orangnya pelupa banget. Jadi, setiap ada saudara yang datang silaturahmi ke rumah, saya selalu tanya ke ibu “Si itu apa hubungannya dengan ibu atau bapak?” Semuanya karena masalah weton yang akan saya ceritakan di bawah.

Saya sendiri juga merasa tidak terlalu akrab dengan saudara-saudara dari keluarga ayah atau ibu karena saya anak paling akhir. Apalagi berkumpul dengan saudara-saudara di rumah kakek dan nenek karena mereka meninggal sebelum saya lahir. Kondisinya adalah saya hampir tidak kenal dengan simbah; sifat mereka, kebiasaan, suara, weton, kesukaan, dan lain sebagainya.

Teringat waktu TK dulu setelah liburan, teman-teman sekelas banyak bercerita tentang liburan ke rumah kakek dan nenek. Juga tiap kali ada siswa yang tidak masuk, alasannya adalah “Dolan nyang omah e mbah e”. 

Saya, sebagai seorang anak kecil yang belum paham konsep simbah dan merasa belum pernah diajak liburan ke rumah simbah akhirnya bertanya ke ibu “Buk, aku kok gak tau dijak dolan nyang mae mbah e koyok cah-cah?” Ibu menjawab, “Ayo tak jak dolan po piye nek omahe mbahmu nek kuburan kae.”

Akhirnya saya berani curhat kepada ibu tentang rasa tidak terlalu akrab dan canggung saat bertemu saudara-saudara lain. Lalu ibu mulai bercerita tentang kepahitan yang dia rasakan karena kesamaan weton dengan simbah.

Akibat kesamaan weton, saya diasuh orang lain

Ibu merupakan anak ke-7 dari delapan bersaudara. Dari delapan anak tersebut, hanya ibu saya saja yang “diberikan” ke orang lain untuk diasuh. Hal tersebut dilakukan karena ibu saya memiliki weton yang sama dengan nenek. Menurut mitos, seorang anak yang memiliki weton sama dengan ibunya, maka ibunya akan mendapat marabahaya, bahkan cepat meninggal.

Untuk mengantisipasi hal itu, anak yang baru dilahirkan tadi harus “dibuang” atau diberikan kepada orang lain. Sebenarnya hal itu bisa diakali dengan pura-pura membuangnya, kemudian menyuruh kerabat lain untuk mengambil bayi tersebut. Namun, orang tua bayi tersebut harus menebusnya dengan harta atau nanggap pertunjukan wayang. Kalau tidak mempunyai biaya untuk menebus, jalan satu-satunya ya diadopsikan ke orang lain. Semua hanya karena kesamaan weton.

Hal ini yang terjadi kepada ibu saya. Saat masih bayi, ibu sudah diadopsi oleh orang lain yang masih tetangganya sendiri. Kebenaran bahwa ibu merupakan anak adopsi, sangat dirahasiakan oleh keluarga yang mengasuh ibu. Jadi, sejak kecil, ibu memang sangat dibatasi untuk bertemu saudara-saudara dan orang tua kandungnya yang masih tetangga. Bahkan saat itu ibu tidak tahu kalau itu saudaranya dan orang tua kandungnya.

Saat pernikahan ibu tiba, barulah soal weton itu terbongkar. Karena mau tidak mau, yang menjadi wali nikah ibu harus orang tua asli. Mulai saat itu, ibu baru tahu kalau orang tua yang merawatnya selama ini bukanlah orang tua asli.

Akibat terlalu mempercayai weton

Saat mendengar cerita tadi, timbul rasa kesal kepada orang tua ibu yang memberikan ibu kepada orang lain. Apalagi dengan alasan weton, bahwa orang tuanya akan cepat meninggal kalau tidak diberikan. Ini sungguh tidak masuk akal karena bagaimanapun pasti akan meninggal juga. Benar saja, kedua orang tua ibu meninggal bahkan sebelum saya lahir.

Kerugian akibat terlalu mempercayai weton ini adalah ibu menjadi terlihat memiliki jarak dengan saudara-saudaranya yang lain karena sejak kecil memang tidak tinggal bersama. Saya dengan para saudara sepupu juga tidak terlalu akrab karena tidak pernah bertemu dalam waktu yang lama. 

Apalagi simbah entah dari ibu atau bapak sudah meninggal semua sebelum saya lahir. Akibatnya saya tidak pernah merasakan kumpul-kumpulan dengan saudara dan sepupu dalam satu rumah mbah.

Kerugian karena weton lainnya lain adalah ibu diberikan warisan jauh lebih sedikit dari pada saudara-saudaranya yang lain. Akibatnya, tanah warisan yang menjadi bagian ibu itu dijual karena begitu sedikitnya tanah hingga tidak bisa diapa-apakan.

Hikmah

Sebagai orang yang lahir, besar, dan tinggal di Jawa, sudah sepantasnya untuk mengikuti tradisi dan adat istiadat leluhur seperti weton. Namun, semua itu diniatkan untuk melestarikan adat saja, tidak perlu sampai merasuk kepada kepercayaan dan malah mengganggu kehidupan.

Jika adat tersebut dinilai bisa merugikan generasi yang akan datang, sebaiknya ditinggal saja. Itu kalau saya, ya. Jika adat tersebut baik, ya silakan diikuti. Namun menurut saya, adat “membuang” bayi yang memiliki weton sama dengan ibunya merupakan adat yang buruk dan tidak dianjurkan untuk diikuti.

Penulis: Nurhadi Mubarok

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Weton Jadi Kambing Hitam Orang yang Ketemu Hari Sial dan kisah mengharukan lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version