MOJOK.CO –Mau film horor, sinetron azab Indosiar, sampai acara Roy Kiyoshi semuanya punya pola sama; syirik dulu karena menyekutukan Tuhan lalu setor skrip naskah.
Mengabsen judul film horor Indonesia tahun 2018 sudah seperti netizen ekstremis yang menghina orang yang berseberangan paham di media sosial. Satu kata dan terasa menohok, “Sesat. Syirik. Kafir.” Ternyata kesamaan tidak hanya dalam pemilihan judul, cerita pun hampir setema. Duh, duh, mau serem aja kompak.
Sejak Pengabdi Setan menjadi fenomena, film horor Indonesia naik kelas. Film keenam Joko Anwar tersebut jadi percontohan film horor bagus yang laris. Tahun ini setidaknya ada dua film yang digadang-gadang kualitasnya memenuhi standar yang sama dengan Pengabdi Setan, yakni Kafir: Bersekutu dengan Setan dan Sebelum Iblis Menjemput (SIM).
Ketiga film horor—yang kata kritikus film medsos—berkualitas ini mengambil tema yang sama, yakni menyekutukan Tuhan. Bahkan premisnya pun identik: orang tua yang syirik, lantas akibatnya merembet ke keluarga dan anak-anaknya. Perbedaannya hanya pada alasan tokoh utama menjadi musyrik, yaitu keturunan, percintaan, dan keuangan. Latar waktu dari film ke film loncat satu dekade. Pengabdi Setan terjadi pada tahun 1980-an, Kafir tahun 1990-an, dan SIM era milenial.
SIM terasa lebih segar karena jadi panggung duet maut artis cantik kebanggaan Indonesia; Chelsea Islan dan Pevita Pearce. Yang mana kalau salah satu dari mereka menikah, berpotensi bikin satu negara patah hati. Di sini saya jadi curiga kalau Joko Anwar pasca kesuksesan Pengabdi Setan, diam-diam bikin kelas menulis skenario dengan kuota terbatas. Salah dua pesertanya, penulis skrip film Kafir dan SIM.
“Jadi, teman-teman, saya akan membocorkan formula menulis naskah film horor yang berkualitas. Pertama, munculkan karakter yang pergi ke dukun atau ikut sekte sesat. Pokoknya, harus musyrik. Puluhan tahun kemudian, dia mendapat balasan dari transaksi gaib yang dilakukan pada masa silam. Nah, anak-anak dan keluarganya juga ikut kena imbasnya. Sampai akhirnya, anak-anaknya menemukan rahasia kesesatan orang tuanya dan mencari jalan keluar sendiri. Tamat.”
Peserta kelas menulis kompak menganggukkan kepala, lalu mencatat poinnya.
“Saya nggak perlu kasih PR lah ya. Langsung aja praktik bikin naskah filmnya. Deadline tahun 2018 tayang. Nanti saya periksa di bioskop.”
Lama-lama film horor Indonesia jadi kayak sinetron azab Indosiar. Temanya itu-itu mulu. Indosiar lebih gila lagi; dari pagi sampai malam, kuat nayangin sinetron bertemakan azab. Kalau di semesta FTV segala pekerjaan bisa jadi kisah cinta, di semesta Sinema Indosiar semua profesi kena azab. Atau memang pemirsa televisi Indonesia senang melihat orang lain hidupnya tersiksa dan matinya susah? Indosiar harus bertanggung jawab kalau sampai membentuk mindset masyarakat: gampang menghakimi cobaan yang menimpa saudara sendiri sebagai azab.
Sejak kecil, saya sudah kenyang disuguhi tontonan sarat azab melalui sinetron TPI berjudul Rahasia Ilahi yang diangkat dari majalah Hidayah. Di post-credit scene, muncul Ustaz Arifin Ilham yang makin “nakut-nakutin” penonton dengan dalil-dalil. Yah, tidak semua episode berisi azab sih. Ada juga yang tokoh utamanya pas ending naik haji atau meninggal dunia saat jadi imam salat.
Sekarang, siklus industri telivisi kembali ke satu dekade yang lalu; hidup kena karma, mati kena azab. Cerita orang-orang sosiopat bin psikopat dengan akhir hayat; jenazah ditolak bumi, kuburan banjir elixir, mayat dirubungi Inferno Dragon. Padahal, lebih relate dengan generasi kekinian kalau di ending tokoh antagonisnya jadi viral dan di-bully netizen sampai foto profil Instagram-nya item polos.
Sisi positifnya, baik film horor Indonesia maupun sinetron azab Indosiar, sama-sama memberikan pesan yang repetitif. Bahwa kalau jadi orang jahat itu nggak cuma merugikan diri sendiri, tapi orang lain, terutama keluarga dan tetangga juga ikutan kena getahnya. Sementara nangkanya udah abis dimakan sendiri.
Berbuat syirik dan maksiat lainnya itu sama kayak kita pinjam uang di aplikasi fintech e-rentenir atawa lintah daring (lintah darat online). Dengan segala kecanggihan, aplikasi tersebut bisa mengakses daleman gadget kita, contohnya memindai kontak. Kalau telat bayar, para kerabat dan handai taulan di kontak hape kita bakalan dihubungi debt collector buat bantuin nagih utang ke kita.
Persis token listrik yang bunyi kalau udah mau abis; selain bikin kita malu sama tetangga, secara halus juga menyuruh tetangga buat ingetin isi pulsa. Biar nggak berisik lagi dan semua yang punya kuping bisa kembali tenang.
Kalau dipikir-pikir, aplikasi fintech ini mirip sama kayak Roy Kiyoshi. Tentunya Roy lebih jago lagi. Sebagai anak indigo, dia kelewat sakti mandraguna. Padahal Mandra juga nggak sakti-sakti amat.
Di suatu episode, Robby Purba menyuruh Roy untuk melihat isi kamar peserta acara Karma. Ajaibnya, Roy bisa melihat dan mendeskripsikan secara detail isi kamar yang diminta. Ini kan serem banget. Itu artinya Roy juga bisa melihat kamar kita semua. Privasi kita tidak aman selama mata Roy masih bisa jelalatan begitu. Terus saya mau buang air di mana lagi kalau di WC sendiri pun Roy masih bisa ngintip dari Studio AnTV?
Sayang sekali, kini Robby dikabarkan telah meninggalkan sahabatnya, Roy dan acara Karma. Padahal kalau nggak slek, Robby bisa bertanya kepada Roy terkait alasannya memutuskan operasi plastik. Dengan pertanyaan ala judging people seperti biasanya, Robby bisa mendesak Roy.
“Roy, kamu kenapa jadi begini? Kalau saya bilang, kamu malah mirip kartu sekop terbalik. Padahal dulu kamu udah ganteng lho. Nggak malu sama peserta Karma? Mereka pakai susuk, kita sama-sama hakimi, suruh lepas, dan segera tobat. Eh, kamu sendiri malah operasi plastik. Yang mana sama-sama mengubah ciptaan Tuhan. Logika kamu di mana, Roy?”
Sambil terpejam, Roy memegang kening sesaat. Lalu Roy mengendus-endus dan mulai bicara, “Robby, di masa depan saya melihat bahwa muka model begini jadi tren. Jadi sebelum keduluan orang lain, saya ubah wajah saya untuk jadi yang pertama.”