[MOJOK.CO] “Setelah Hikayat Sayuri, reviewer Otomojok ini mengangkat tokoh baru yang masih orang Madura juga: Kiai Faizi.”
Ke mana-mana selalu sarungan dan pecisan. Bahkan ke Jerman dan Singapura. Penyair, esais, dan paling pokok adalah seorang kiai. Itulah Kiai Faizi, yang dulunya menggunakan tambahan nama “L Kaelan”. Itu sama sekali bukan nama keren apalagi sakral. Dalam bahasa Madura “L Kaelan” (baca: elkaelan) artinya ngunyah-ngunyah. Iya, ngemilan. Kiai macam apa coba yang kerjaannya bukannya zikiran, malah ngemil mulu?
Semenjak ditinggal ayahandanya, otomatis pesantren di pelosok barat Sumenep itu berada di pangkuannya. Di sarungnya. Kiai tradisional di Madura kegiatannya bukan hanya ngajar dan mimpin salat, tapi juga mimpin tahlilan, ijab kabul, yasinan, hingga mencarikan jodoh dan mendamaikan keributan rumah tangga orang. Untuk urusan sosial ini, jelas modal sosial yang bersumber dari silaturahim sangatlah mutlak diperlukan.
Kiai Faizi sudah sedemikian fasihnya untuk babakan silaturrahim ini, bahkan jauh saat masih kuliah di IAIN (kini UIN) Jogja. Bersarang di kos Rumah Hantu, di masa 1995—2000 itu, kos beliau jadi “mabes” begitu banyak orang. Bukan hanya mahasiswa Madura macam saya, tapi semua etnis dan aliran. Dari aliran Al-Jami’ah yang relijiyes hingga Kemped yang demoan dan para musisi yang beragam rupa.
Tentu saja namanya anak kos, perkara nonton bokep menjadi salah satu kisahnya.
Begini jelasnya.
Setahu saya sejak kumpul sama beliau dari 1995, tak sekali pun saya mendengar apalagi melihat beliau nonton bokep. Tapi, ada testimoni Kiai Faizi perihal kegiatan nonton bokep ini yang rasanya patut dinobatkan sebagai “falsafah nasional”, yakni: “Jika di depan kamar kos banyak sendal tetapi tidak ada suara apa pun, itu tandanya di dalam kamar sedang nonton bokep. Dan jika ada siapa pun yang dengan alasan pipis atau lapar keluar kamar di tengah kegiatan nonton bokep, niscaya ia ngeloco.”
Sahih sekali, bukan?
Sebagai anak kiai besar (gus, lora), beliau tak memperlihatkan sedikit pun “kesan angker” itu. Selalu bersahaja. Apa adanya. Bahkan, sebutlah lugu. Tak perlu saya gunjingkan tentang keahliannya dalam jagat spiritualitas, toh itu sudah niscaya. Jadi, simak saja kisah tentang “keganjilannya” dalam hal-hal yang tak ada hubungannya dengan semesta kekiaian.
Ia punya mobil andalan. Namanya Titos Du Polo. Bingung ya ini jenis mobil apaan? Kata Kiai Faizi, mobil besutan Mitsubishi yang sudah tak dicetak lagi ini adalah produk yang membuat Mitsubishi menyesal seumur hidup karena pernah memproduksinya. Kenapa? Karena bandelnya masyaallah, ndak rusak-rusak. Kalaupun ada gangguan, cara menanganinya sangat sederhana. Timing belt putus di tengah jalan, bisa diganti robekan kaos singlet. Oli bocor di tengah jalan, bisa diganti minyak goreng campur air.
Ya, itulah Colt T120! Uniknya, T120 Kiai Faizi dipasangi toa di bawah bemper, terhubung dengan speaker pas di bagian sopir. Jika sedang melaju dan ada orang yang dikenalnya, ia akan menguluk salam kepada orang tersebut dari dalam mobil: “Assalamualaikum, Nidin….” Nidin pun sudah hafal, spontan nyahut dari tepi jalan: “Waalaikum salam, Kiai….”
Suatu hari ia melintas di antara cegatan sumbangan amal pembangunan masjid. Speaker pencegat berkoar: “Pelan-pelan, mari sumbangannya, dilempar saja…..”
Dari balik kemudi Kiai Faizi menimpali. Suaranya melantang dari toa: “Kosongan….”
Kata speaker pencegat amal: “Oh, amal juga….”
Selain perihal mobil antiknya yang kabarnya pernah ditawari untuk barter sama Alkampret dan ditolaknya, beliau sangat juara dalam hal perbisan. Ya, bis! Tepatnya, Bismania. Beliau inilah tokoh Bismania sekaligus kiainya.
Banyak kru bis yang sowan kepadanya saat mendapatkan unit baru dari perusahaannya. Suatu malam, pukul dua dini hari, sebuah bis baru dari Kudus dengan trayek Sumenep—Jakarta parkir melintang di depan pondoknya. Turunlah dua orang saja dari pintu bis itu. Iya, satu bis memuat dua orang. Sopir dan keneknya. Keduanya sowan minta doa kiai Faizi agar bis barunya diberi keberkahan.
Suatu hari lain saat masih kuliah di IAIN, kala mudik berjamaah, beliau berhasil mendatangkan bis ke kompleks IAIN untuk mengangkuti anak-anak Madura mudik bareng. Itu satu-satunya kejadian bis umum masuk kampus IAIN. Bis penuh dan melaju. Sejam dua jam, mulai banyak teman yang tertidur. Kiai Faizi lalu membangunkan kawan-kawan yang tidur. Katanya,
“Jangan tidur, bayar bis mahal-mahal kok tidur, emannn….”
Kali lain beliau yang sangat nyah-nyoh diminta bantuan seorang teman mengantar ke terminal. Dengan motor Astrea Star, berangkatlah mereka pukul 19.00. Tapi, sampai besoknya beliau tak balik-balik ke rumah. Semua orang bingung. Dua hari kemudian dia nongol. Katanya dengan datar,
“Kemarin pas nganter ke terminal itu aku ikut naik, bayar ke Solo. Pengin aja naik bis. Sampe Solo, masih pengin, ya tambah sampe Jombang. Pengin lagi, ya sudah sampe Surabaya, ehhh keterusan sampe Madura.”
Di kisah lain, ia “terbawa” malah sampai ke Singapura.
“Pak Kiai, ayolah ke Singapura ya,” kata seorang kawan fesbuknya suatu hari.
“Lho, ngapain? Saya nggak punya uang lho….”
Semua tiket disiapkan oleh orang asing itu. Urusannya apa, tak diberi tahu. Berangkatlah Kiai Faizi ke Singapura. Ternyata diminta memimpin tahlilan. Kata pengundang, “Kangen tahlilan Pak Kiai, di sini ndak ada…..”
Hikayat kejunilan dan kenyelenehan Kiai Faizi jelas masih berjibun. Termasuk ihwal musik yang amat dikuasainya dengan luar biasa.
Di atas itu semua, sebagai kiai tradisional, beliau memang memiliki modal sosial berbasis silaturahim itu dengan sangat menakjubkan sejak dulu kala. Makanya, simpel saja baginya kini bila dengan uang 30 ribu saja beliau bisa nyampe Jogja dari Madura. Banyak teman dan orang asing bahkan yang rela hati menyediakan apa pun yang tak pernah dipintanya.
“Aku mau ke Klaten, ketemu teman,” katanya di rumah saya di Jogja suatu hari.
“Oh, pake saja mobilku, nganggur kok….”
Ia pun naik ke mobil yang saya sediakan, “Eh, ini jarum bensinnya mati ya?”
“Ah, nggaklah.”
“Ini di bawah lho….”
Saya ngakak. Lalu menyerahkan sejumlah uang. “Ini beliin bensinnya.” Mobil dinyalakan, ia telepon Bang Hendrik.
“Bang, masih jualan lontong Medan ya?”
“Masihlah. Kau di mana? Jogja?”
“Iya, Bang.”
“Sinilah, main….”
“Siap, Bang.”
Gratislah itu urusan mobil dan makan siang. Di Klaten, ia disuguhi makan besar, dan masih dibawain sekarung telo, kelapa, dan sayur-mayur.
Belakangan ini, dari Madura, beliau lagi rajin banget nulis esai. Rajin pake banget! Di fesbuknya, saya bilang: “Kurangi makan krotonya, Kiai, kok nulisnya kenceng banget….”