Haruskah Mojok Juga Bersikap Adil terhadap Gafatar?

Haruskah Mojok Juga Bersikap Adil terhadap Gafatar?

Haruskah Mojok Juga Bersikap Adil terhadap Gafatar?

Aneh juga, awak Mojok, yang biasanya cekatan mengolah isu kekinian dalam tulisan sok sarkastik, dalam pekan-pekan di awal tahun melewatkan isu sefenominil Gafatar: Gerakan Fajar Nusantara. Mojok malah lebih suka membahas efek ledakan Thamrin yang dirasa lebih seksyeh, seperti soal tagar pray-pray-an, polisi ganteng, dan tulisan soal ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) yang dengan serampangan tidak memilah beda antara terorisme, perang, revolusi, pemberontakan, serta anarkisme. Begitu soal bom mulai tampak hambar, mulai lagi, deh, Mojok menggoreng ideologi asli mereka yang sebenarnya sudah jadi seperti debat telur-atau-ayam: rokok.

Padahal ribut-ribut Gafatar ini mulai mencuat kembali setelah seorang pria di Jogja melaporkan istri dan anaknya “hilang” sejak Desember 2015. Lalu disusul oleh laporan seorang ibu ke Polda DIY perihal suami dan putranya yang juga “hilang”, bahkan, sejak November 2015. Ssssttt! Menariknya, kalian tahu, markas Gafatar di Jogja itu jaraknya dengan markas Mojok itu kurang dari 10 KM. Dengan Polda apalagi: cuma 2 KM!

Kenapa kata hilang harus dikasih tanda kutip? Karena ternyata (bisa jadi) bukan hilang beneran, bisa diculik penjahat yang minta tebusan, dilarikan selingkuhan yang lebih mengerti atau memuaskan, atau diculik alien, atau mungkin saja moksa. Mereka sendiri menyatakan sukarela ikut eksodus ke Gafatar. Tapi para anggota yang tak rela ditinggal, ditambah aparat dan masyarakat, plus media yang ikut-ikutan heboh, menganggap mereka sudah dicuci otaknya. Seperti halnya sarkasme yang katanya tak perlu digamblangkan, begitu pula cara kerja teori konspirasi, ‘kan? Fakta tak perlu dipaparkan secara utuh, cukup sepotong-sepotong saja. Kalian rangkaikan sendirilah. Bisa mulai dari Agus Mulyadi yang… ya begitu ‘deh.

Gafatar, organisasi kemasyarakatan yang sekilas berbunyi kearab-araban dan gahar-cetar itu, dengan luar biasa berhasil membuat aparat negara, intelijen, sekaligus para orang kudus di Majelis Ulama Indonesia (MUI) masih gundah untuk memutuskan apakah mereka layak dianggap sebagai organisasi terlarang cum sesat. Soal bagaimana prosesnya, apa sebenarnya yang terjadi dalam organisasi itu, termasuk apa motif mereka sehingga organisasi yang dideklarasikan pada 2012 tersebut bisa jadi lumayan besar pengikutnya, tak ada media yang secara gamblang dan jernih menyediakan informasi yang investigatif.

Adanya cuma: katanya, katanya, katanya. Jatuh ke dalam desas-desus konspirasi. Ditambah penyakit akut media yang pilih-pilih angle dan bergenit-genit ria, barulah publik heboh ketika ada berita: Dokter Cantik Hilang! Naluri seksis “para Hanuman-media” pun serentak bangkit untuk segera menyelamatkan Sinta dari sekapan Rahwana. Tapi bagaimana kalau sebenarnya Sinta lebih “terbebaskan” bersama Rahwana?

Kalian tahu, ‘kan, dalam kisah Ramayana, Rahwana yang meskipun amat-sangat menghasrati Sinta (hingga melarikan istri orang seperti Paris membawa kabur Helen dalam legenda Yunani, yang sama-sama melahirkan tragedi kehancuran satu bangsa) tapi tak pernah sekalipun menyentuhnya? Karena itu, konon, Sinta juga respek sama Rahwana, sehingga cerita Ramayana belum berakhir happy ending manakala Sinta sudah balikan dengan Rama. Meskipun Sinta sudah lolos ujian kesucian cinta–dan raga tentunya, kalau nggak gitu dalihnya nanti bisa: “Itu kan cuma seks, Mas Rama!”–tapi Rama masih tak percaya hingga membuangnya ke hutan. Soal apakah kemudian di sana dia teriak “Ku lari ke pantai dan mecahin gelas sampai gaduh”, entahlah saya tak tahu.

Dengan tamsil di atas, apa yang ingin saya katakan adalah, seandainya benar bahwa Gafatar adalah Rahwana/antagonis yang harus diperangi, tapi fakta bahwa mereka berhasil punya pengikut militan yang bersedia terlibat kaffah jiwa-raga-harta-spiritual segala, tentu tak bisa dianggap remeh. Pasti ada hal dari sana yang berhasil menyentuh dasar jiwa para pengikutnya, yang katanya justru dari kalangan terpelajar dan profesional. Persis orang-orang yang ikut ISIS atau organisasi teroris atau Syiah atau yang lainnya itulah. Seolah di organisasi-organisasi tersebut, mereka menemukan jawaban dan harapan atas kekecewaan, kegalauan, dan kehampaan yang dialami selama ini. Satu hal, yang pasti butuh usaha ekstra keras dan cerdas dari pihak-pihak yang ingin mengembalikan mereka ke “jalan yang benar”.

Pertanyaannya: menurut ngana, apakah para penyulih kebenaran itu benar-benar cerdas? Apakah mereka sudah berusaha ekstra keras selama ini?

Keras banget! Terlebih jika melihat bagaimana jalan brutal dan nir-otak yang ditempuh gerakan yang mengaku anti Gafatar dan menyebut mereka sebagai aliran sesat. Itulah yang terjadi pada Selasa (19/01/2016): pembakaran pemukiman–disebut kamp oleh media–yang didiami pengikut Gafatar di Mempawah, Kalimantan Barat. Sore itu, ribuan massa, tentu saja dengan “pengawalan” khusus dari aparat keamanan, mengusir paksa seluruh warga yang mayoritas merupakan eks anggota Gafatar dari kawasan tersebut.

Ya, lagi-lagi monster bernama “massa” itu menunjukkan kuasanya. Tak tersentuh hukum. Dalam peristiwa bom Thamrin pun mereka menunjukkan kesaktiannya: berkerumun tanpa pelindung selagi para polisi sendiri bersembunyi di balik mobil. Padahal, ‘sih, kalau polisi betul berniat membuat mampus para teroris, saat itu mereka cuma tinggal meneriakkan kata-kata sakti untuk menggerakkan massa: Maling! Copet! Efek dimassa mungkin akan setara dengan kena ledakan bom low-explosive: tubuh, terutama muka, jadi FUBAR (Fucked Up Beyond Recognition). Atau dalam Bahasa Jawa: dedel duwel.

Setelah insiden pembakaran itu, saya sebetulnya sempat mengira Mojok akan mulai menampilkan kembali tulisan dari pembela Syiah, PKI (atau yang dianggap kuminis), penyembah pohon, dan sejenisnya. Tapi ternyata tidak. Nah, sekarang minoritas yang harus dibela tambah lagi, ‘nih: Gafatar!

Sebab, seperti kata Chairil Anwar: “Semua harus dicatat, semua dapat tempat.”

 

Exit mobile version