“Udah Ditemenin dari Nol, eh Minta Cerai”: Fenomena Guru PPPK Blitar Menceraikan Suaminya karena Merasa Sudah Naik Kelas

Guru PPPK Ceraikan Suami karena Merasa Sudah Beda Kelas MOJOK.CO

Ilustrasi Guru PPPK Ceraikan Suami karena Merasa Sudah Beda Kelas. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.CODulu nemenin dari belum punya apa-apa, sekarang pas udah mapan malah ditinggal. Ada 20 guru PPPK di Blitar mengajukan cerai.

Kalimat di atas mungkin terdengar dramatis. Namun, kalimat tersebut bisa menggambarkan kondisi yang bikin heboh di Blitar.

Ketika 2025 baru setengah jalan, Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar sudah menerima 20 permohonan cerai dari guru PPPK. Ya, ada 20! Dan yang lebih bikin mikir, jumlah itu sudah melampaui total permohonan sepanjang 2024 yang “cuma” 15 kasus.

Salah satu yang menjadi perhatian saya adalah 75% dari pengajuan cerai itu datang dari guru perempuan. Rata-rata bukan pasangan muda yang baru menikah satu atau dua tahun. 

Mereka adalah pasangan yang sudah bersama selama lebih dari 5 tahun. Artinya, ini bukan hubungan yang asal-asalan. Bukan cinta monyet atau iseng-iseng. Tapi kok bisa? Ada apa sebenarnya?

PPPK: Naik Kelas tapi hubungan ambruk

PPPK adalah Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Ini adalah jenis pegawai dalam lingkup Aparatur Sipil Negara (ASN) yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu.

Oleh sebab itu, mendapatkan “status” ini adalah hal yang patut disyukuri. Setelah bertahun-tahun berstatus honorer dengan gaji pas-pasan, akhirnya kini ada kepastian pendapatan, jaminan sosial, dan sedikit rasa aman buat masa depan. Tapi seperti 2 sisi mata uang, status ini ternyata juga bisa memicu gejolak baru dalam rumah tangga.

Banyak dari guru perempuan dengan status PPPK yang menggugat cerai ternyata punya pasangan yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Bahkan ada yang tidak bekerja formal sama sekali. Di sisi lain, mereka sendiri kini punya penghasilan tetap, diakui negara, dan secara sosial bisa dibilang “naik kelas”.

Dari sinilah persoalan muncul. Ketika status ekonomi berubah karena status PPPK, kadang ekspektasi terhadap pasangan juga ikut berubah. Dulu, mungkin, bisa sabar karena sama-sama susah. Tapi sekarang, setelah merasa lebih mandiri, beberapa orang mulai bertanya: “Masih perlu nggak ya bertahan dalam hubungan ini?”

Saat norma tak lagi mampu menjaga: Sudut pandang sosiologi

Fenomena guru PPPK dan kasus perceraian ini, menurut pandangan sosiologis, bisa disebut sebagai anomie. Ini adalah kondisi ketika nilai dan aturan sosial tidak lagi mampu mengatur perilaku individu. Alasannya adalah situasi baru yang menciptakan ketimpangan antara harapan dan realitas.

Dalam rumah tangga, ketika peran tidak berjalan semestinya, misalnya pasangan tak bisa menjadi penopang ekonomi atau emosional, hubungan perlahan mengalami disfungsi. Dan ketika sistem sosial keluarga tidak lagi memberi rasa aman, individu cenderung mencari jalan keluar yang paling mungkin mereka kendalikan: mengakhiri hubungan.

Naik kelas status PPPK: Antara hati dan hitung-hitungan

Dalam teori tindakan sosial, perceraian dalam bisa terjadi karena dua alasan utama. Pertama, voluntarisme dan yang kedua adalah rasionalisme.

Voluntarisme terjadi ketika seseorang bertindak berdasarkan kehendak atau dorongan hati. Dia merasa tidak lagi nyaman, tertekan, atau ingin hidup lebih bebas, dan perceraian adalah cara untuk mewujudkannya.

Rasionalisme, di sisi lain, muncul dari perhitungan. Ada analisis untung-rugi. Misalnya, “Kalau aku terus bertahan, apa yang kudapatkan? Kalau aku berpisah, apa yang bisa kuperjuangkan?”

Bukan berarti keputusan itu salah atau benar. Tapi yang jelas, manusia itu makhluk reflektif dan aktif. Ketika satu pintu terasa tertutup, mereka akan mencari jalan lain. Bahkan jika jalan itu menyakitkan.

Ketika kesuksesan membuat kita lupa siapa yang menemani

Satu hal yang patut direnungkan. Kenapa banyak yang baru menggugat cerai setelah mereka “naik level”?

Apakah selama ini hubungan mereka baik-baik saja hanya karena sama-sama susah? Apakah ketika satu pihak naik kelas, pihak lain terasa tak lagi seimbang?

Peristiwa guru di Blitar minta cerai setelah naik kelas PPPK bukan cerita baru. Banyak kasus di mana salah satu pasangan yang naik secara ekonomi atau sosial justru merasa hubungan yang selama ini mereka jalani jadi “beban”. Mungkin karena komunikasi tidak terbangun dengan baik atau karena ekspektasi terus berubah tanpa mereka sadari.

Naik kelas itu bukan hal yang salah. Tapi jangan sampai kena “silau sosial”, di mana kita begitu terpukau dengan status baru sampai lupa siapa yang dulu nemenin kita di fase gelap.

Saran untuk mencegah perceraian berkaca dari kasus PPPK

Supaya fenomena ini nggak makin meluas, ada beberapa hal penting yang seharusnya jadi perhatian. Baik bagi guru PPPK maupun siapa saja yang sedang berada dalam fase perubahan hidup:

  1. Membangun komunikasi yang sehat sejak awal. Masalah ekonomi atau peran sosial bisa didiskusikan secara jujur. Jangan memendam sampai jadi bom waktu.
  2. Jangan remehkan kontribusi pasangan, meski tidak berpenghasilan. Banyak pasangan yang meski tidak bekerja formal, tetap jadi support system penting di balik layar.
  3. Tentukan tujuan rumah tangga bersama-sama. Status baru mestinya dibarengi dengan tujuan baru yang disepakati bareng. Jangan jalan sendiri-sendiri.
  4. Kendalikan ekspektasi setelah status berubah. Naik jabatan seperti status PPPK atau punya penghasilan lebih besar bukan berarti pasangan harus berubah jadi “versi ideal” dari bayangan sosial.
  5. Cari bantuan jika hubungan mulai terasa berat. Nggak usah gengsi konsultasi ke konselor keluarga. Justru itu tanda kalau kamu peduli dan ingin memperbaiki, bukan kabur.
  6. Ingat alasan awal memilih pasanganmu. Kadang, kita terlalu fokus ke kekurangan hari ini sampai lupa perjuangan bersama di masa lalu.

Antara cinta, status, dan pilihan

Menjadi PPPK adalah capaian. Tapi, mempertahankan pernikahan juga adalah tanggung jawab yang lebih dalam. Mungkin kita sudah berhasil jadi pegawai yang lebih mapan, tapi bagaimana dengan “pekerjaan emosional” di rumah. Apakah itu juga diperhatikan?

Fenomena cerai di kalangan guru PPPK Blitar ini seharusnya tak sekadar jadi berita heboh. Ia layak jadi cermin besar tentang relasi kita dengan pasangan, ekspektasi sosial, dan arti sejati dari kesuksesan.

Karena sejatinya, sukses itu bukan cuma tentang gaji naik atau status makin tinggi. Sukses juga tentang siapa yang tetap ada di samping kita, meski dunia kita berubah.

Penulis: Hendry Cipta Winandra

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Bacaan Ringan Sebelum Menggugat Cerai Pasangan dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version