Guru Honorer Sepuh Susah Kencing Berdiri, Kita Malah Tuntut Mereka Kencing Berlari

Di medsos, netizen sok heroik: "Perjuangkan hak-hak guru honorer yang sudah sepuh!" ... padahal kenyataannya?

Guru Honorer Sepuh Susah Kencing Berdiri, Kita Malah Tuntut Mereka Kencing Berlari MOJOK.CO

Guru Honorer Sepuh Susah Kencing Berdiri, Kita Malah Tuntut Mereka Kencing Berlari

MOJOK.CONetizen protes bahwa seleksi PPPK selama ini merupakan bentuk penyingkiran guru honorer yang sudah sepuh.Mana hati nurani negara?” kata Netizen.

Dunia pendidikan tanah air sedang dibanjiri kabar-kabari soal rekrutmen sejuta formasi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) untuk guru. Ini angin segar bagi guru honorer yang sudah bertahun-tahun mengabdi.

Sebab, berbeda dengan CPNS yang membatasi usia pelamar di angka 35 tahun, PPPK memberi kelonggaran hingga satu tahun jelang pensiun, alias 59 tahun. Guru honorer sepuh yang sebelumnya tidak bisa ikut seleksi CPNS, bisa ikut PPPK.  Tidak tanggung-tanggung, lowongannya satu juta formasi.

Sayangnya, negeri ini bukan negeri para idealis. Ini adalah negeri di mana idealisme berbentur dengan realitas. Di hadapan netizen yang budiman, berseliweran foto dengan caption rasa iba pada guru-guru sepuh tersebut. Mereka harus bersaing dengan fresh graduate dan guru-guru muda.

Pada umumnya, seseorang yang baru mentas dari strata pendidikan tinggi, memiliki pengetahuan teoritis dan kemampuan teknis melebihi mereka yang sudah sepuh. Kompetisi ini tidak fair, katanya.

Negara sudah mencoba adil. Guru honorer sepuh memang masih punya peluang melalui nilai afirmasi. Suatu mekanisme yang memang memberi nilai plus pada mereka yang sudah “berusia” dan berpengalaman atau kriteria-kriteria tertentu. Namun, entah kenapa kok banyak kalangan menilai nilai afirmasi itu tak akan cukup menolong.

Maka munculah pernyataan liar: Seleksi PPPK hanyalah untuk menyingkirkan guru-guru senior secara halus!

Perlu dicatat dulu. Tidak semua guru honorer sepuh adalah guru dengan keterbatasan. Banyak di antara beliau yang teramat jago, baik manajerial, sosial kultural, pengoperasian IT, maupun aspek pedagogis (kepengajaran), teoritis maupun praktis.

Saya masih berteman FB dengan guru saya waktu jenjang SMA sederajat dulu, yang berarti sekarang juga sudah sepuh.  Beliau cukup keren dalam edit video pembelajaran, bikin kanal YouTube, tidak gaptek; selain masih piawai mengajar.

Yang seperti beliau tentu banyak tapi tidak mungkin dominan. Secara natural, fungsi-fungsi kecakapan dalam mengajar, khususnya penguasaan IT, akan menurun seiring bertambahnya usia. Padahal negara menuntut itu pada diri guru untuk mencetak anak-anak yang berdaya saing global. Atau yang menurut penyelenggara asesmen PISA disebut dengan: siap masuk dunia kerja.

Benar atau tidak pernyataan di atas, kita kesampingkan dulu. Sebab dilema antara mempertahankan guru honorer sepuh atau menggantinya dengan yang lebih muda; itu ada pada tangan orang tua/wali. Bukan pada negara!

Kok bisa?

Begini. Belakangan ini negara melalui Kemdikbud sedang gencar mendorong paradigma student wellbeing alias kesejahteraan murid. Anak-anak kita dianggap sejahtera kalau tercapai 4 (empat) aspek berikut: mood-nya positif (positivity), mentalnya tangguh (resilence), berjiwa optimis (self optimisation), dan merasa terpuaskan (satisfaction).

Untuk mencapai hal itu, salah satunya sekolah dituntut untuk menjadi penyelenggara pendidikan dengan pelayanan prima. Dengan tidak mengurangi rasa hormat, hal inilah yang umumnya menjadi kendala bagi guru-guru sepuh, khususnya di tingkat dasar dan menengah.

Mengapa demikian?

Orang tua pada umumnya masih banyak terlibat dalam pendidikan anak di sekolah dasar dan menengah. Sehingga student wellbeing tadi kadang ditarik ke lingkup yang lebih besar yaitu parent wellbeing (kesejahteraan orang tua). Orang tua/wali merasa perlu mendapatkan hal yang sama dengan yang didapatkan oleh anak.

Jika orang tua mengirim pesan WhatsApp pada guru, maka itu bernilai sama seperti jika anak bertanya pada guru. Guru memberi pelayanan prima pada anak sekaligus orang tua.

Ini kondisi ideal karena pendidikan memang diselenggarakan oleh sekolah, orang tua, dan masyarakat. Guru tidak bisa mendidik sendirian tanpa bantuan orang tua, pun sebaliknya. Dalam masa pandemi, peran orang tua malah lebih besar dari guru.

Masalahnya, umumnya guru honorer yang sepuh tidak cukup memiliki tenaga untuk memuaskan keduanya: murid dan orang tua. Beberapa dari mereka mungkin baru “nunak-nunuk” pegang mouse, berkenalan dengan Ms. Office, atau tidak punya laptop.

Sementara orang tua (juga negara) menuntut anaknya diajari pendidikan secara holistik dan bermakna. Di mana hal itu menuntut penguasaan ragam kecakapan abad 21.

Kawan saya mengemas pembelajaran sinkron lewat Zoom Meeting. Dua anak tidak ikut Zoom harus mendapat pelayanan yang sama dengan mereka yang ikut. Karena itu, ia mengupload rekaman tersebut di YouTube dan melayani tanya jawab lewat WhatsApp di luar jam kerja.

Kawan saya yang lain mengajar lewat IG TV, agar bisa dinikmati oleh mereka secara realtime bagi yang bisa bergabung; atau ditonton secara tunda bagi mereka yang harus menunggu orang tuanya pulang kerja.

Kawan saya yang lain harus melakukan video call satu per satu, padahal muridnya ada 32 orang. Harus selesai di hari itu karena hari selanjutnya berhadapan dengan kelas yang lain.

Singkatnya, kegiatan belajar mengajar dewasa ini bergerak sangat cepat. Guru dituntut berlari.

Nah, dilema bermula dari sini.

Orang mulai protes bahwa seleksi PPPK layaknya penyingkiran guru honorer sepuh; tapi mereka juga bakal protes kalau anak mereka diajari oleh guru yang tidak sesuai kebutuhan zaman. Yang tidak bisa “berlari”.

Orang mulai protes pada negara yang tidak menghargai jasa guru honorer sepuh dengan segala keterbatasannya; tapi mereka juga tidak mau memaklumi keterbatasan itu saat harus menimpa anak mereka sendiri.

Seluruh rasa iba kita pada guru honorer yang sepuh, berbenturan dengan idealisme kita pada paradigma kesejahteraan murid di atas. Semua simpati kita pada guru honorer yang sepuh ini hilang begitu saja, tepat ketika ada problem soal kecapakan guru yang menimpa anak kita sendiri.

Pertanyaannya; apakah mau anak saudara dididik oleh guru honorer sepuh yang jika kita tanya materi lewat WhatsApp saja, balasnya tiga hari kemudian?

Sudikah anak kita diajari oleh beliau-beliau yang sudah kesulitan menghidupkan suasana kelas dengan ragam ice breaking atau bercandanya sudah tidak nyambung dengan anak-anak?

Kalau kita masih bimbang dengan jawaban itu, jangan-jangan kita itu sebenarnya cuma pengin bilang: “Negara harus mempertahankan guru-guru sepuh tersebut!” agar kelihatan keren di media sosial, tapi ketika di sekolah dan ketemu Kepala Sekolahnya langsung, kita justru bilang, “tapi tolong ya, Pak, kalau bisa mereka jangan sampai mengajar anak saya.”

Gitu kan? Halah, udah, ngaku aja.

BACA JUGA Guru Bisa Dianggap Buruh Nggak Sih? atau tulisan Miftakhur Risal lainnya.

Exit mobile version