MOJOK.CO – Program Keluarga Berencana (KB), memunculkan kredo; “banyak anak bikin susah.” Iya kalau di daerah padat di mana tanah dan rumah tak banyak tersedia. Lha kalau di daerah saya orang Timur?
Saya ini seorang Mojok lovers dari Timur. Membaca Mojok terkadang bikin saya punya lidah keseleo. Bukan karena soal lucu-lucunya, melainkan karena sering ada bahasa tulisan suguhan Mojok berada di luar kewajaran bahasa Indonesia normal keseharian kami di sini, orang-orang Timur.
Oh iya, Mojok di sini sangat populer di kalangan mahasiswa kampus saya. Apa lagi saat Mojok muat tulisan tentang seorang mahasiswa di kampus saya yang nembak pujaan hatinya pakai megaphone. Wah, populer sekali itu tulisan di tempat saya. Populer karena kelewat bodoh tentu saja.
Sejarah takhluknya my heart ke Mojok, diawali karena saya kesasar mengikuti sebuah acara dialog kepenulisan atas ajakan kawan. Di tengah-tengah pemateri bicara, tiba-tiba berucap, “Kalau suka tulisan yang nyeleneh silakan baca Mojok.”
Sontak sa tanya ke teman. “Hei kawan ko tau tidak nyeleneh pu arti apa?”
“Adoh bhela, ko tanya lagi saya pa, sa tidak tau juga kasihan, coba kotanya Gogel sana,” jawab kawan.
Maka bisa dibayangkan bagaimana gegar bahasanya kami dengan tulisan-tulisan di Mojok itu untuk kali pertama. Bahasa tulisan di Mojok—awalnya—hampir sebagian besar tak bisa saya pahami. Ya begitulah sebagian besar nasib kami di sini saat baca dan menikmati tulisan-tulisan di Mojok.
Beranjak dari dialog kepenulisan yang saya ikuti, saya lalu mulai gogeling Mojok. Tulisan demi tulisan yang dimuat di sana saya baca satu per satu. Kata-kata yang tidak saya mengerti, saya tanyakan ke Gogel. Kalau masih kata-kata biasa, saya masih bisa tanya ke kawan. Tapi kalau sudah sulit macam kata remuk bakule slondok sampai dengkulmu mlocot, saya sampai bingung karena Gogel pun kadang tak bisa kasih pengertian yang sesuai untuk saya.
Meski begitu, justru yang aneh-aneh inilah Mojok jadi terasa beda dengan media-media pada umumnya. Sangat unik. Saya beranggapan, kayaknya seru saja jika masalah-masalah di Indonesia Timur disajikan pakai cara Mojok.
Demi menyelesaikan tulisan ini, harga diri ke-Timur-an saya coba saya lepas sedikit-sedikit, coba memaksa diri saya bertutur ala ke-Mojok-Mojok-an. Itulah kenapa sebagian besar dalam tulisan ini saya mencoba tak memakai bahasa keseharian saya seperti di Timur. Saya cuma khawatir pembaca sekalian akan kesulitan dan harus tanya Gogel juga seperti ketika saya pertama kali baca Mojok.
Jika masih ada satu dua sa keceplosan pakai logat-logat Timur, sa mohon maaf, karena sa tak pu maksud begitu, itu murni tidak sengaja seperti kalimat barusan. Jadi perkenankan sa serukan suara minor dari sa pu kampung di Tenggara Sulawesi.
Langsung saja, saya seorang mahasiswa yang kuliah di sebuah kampus ibu kota provinsi. Musim libur saya manfaatkan untuk pulang kampung. Nah, kebetulan kepulangan saya saat itu bertepatan dengan hari penerimaan siswa baru di sekolah-sekolah sekitar kampung.
“Berapa jumlah murid kelas satu di ko pu sekolah Ghane?” sa tanya ke salah seorang sepupu yang masih duduk kelas 4 SD.
“Ada lima, Kakak,” jawabnya biasa saja.
“Lima?” Sa terkejut. Itu jumlah murid apa jumlah orang main futsal kah?
Kemudian ibu dari sepupu saya alias bibi saya ini menambahkan “Umbe kaasi, kandai murihi naini. Gara-garano KB maitu kune fenaiku.”
Bingung kan? Nah, sekali lagi, begitulah nasib kami sebagai orang Timur saat baca tulisan di Mojok yang tulisannya hampir selalu terselip javanese language.
Jangan khawatir, sa tak sekejam itu, akan saya terjemahkan: “Iya, murid-murid di sini memang sedikit. Gara-gara ada program KB,” timpal My Bibi sub-indo lebah ganteng.
KB? Keluarga Berencana yang itu? Program pemerintah untuk menekan angka kelahiran penduduk itu kah? Loh, loh, apa urusannya KB jadi tersangka dan dituduh jadi aktor intelektual dari terkikisnya jumlah murid-murid di sekolah sa punya sepupu?
Saya pun kembeli dikejutkan ketika cek kondisi murid-murid kelas satu di SD-SD tetangga kampung. Hasilnya ternyata tak juga jauh beda. Rata-Rata murid kelas satunya tak sampai ada 10 orang. Sa jadi bingung, perasaan waktu saya SD dulu, jumlah pendaftar tiap tahun konsisten pada kisaran 30-an.
Sontak saya beranggapan, mungkin sa punya bibi ada benarnya juga. Jumlah pendaftar SD berkurang dikarenakan program KB. Jumlah anak dibatasi direncanakan, jumlah murid pun terbatas. Anak yang masuk sekolah pun jadi dikit sekali. Program sejak zaman dulu itu pengaruhnya ternyata baru dirasakan sekarang.
Saya lalu coba pikir-pikir lagi, coba-coba pakai alasan rasional untuk memahami tuduhan sa punya bibi pada program KB.
“Kalau dipikir-pikir Sulawesi memang beda dengan Jawa. Penduduk Sulawesi tak sepadat Jawa. Di Sulawesi masih banyak lahan tidur. Di Jawa sesak, banyak manusia lahir dimungkinkan nanti bisa hidup tanpa punya tanah maupun rumah. Pemerintah, oh, pemerintah, daerah sepi begini kok masih juga harus pakai program KB?” guman saya dalam hati.
Sa pun punya pendapat yang sama dengan Bibi. Pemerintah mencanangkan program KB selain demi menekan angka kelahiran, di sisi lain juga untuk mengurangi angka kemiskinan. Hebatnya, mengurangi angka kemiskinan ternyata tidak hanya bisa pakai cara dengan menaikkan taraf ekonomi, tapi mengurangi jumlah orang miskin. Brilian.
Apalagi masyarakat di sa punya kampung rata-rata punya tanah luas dan mayoritas berprofesi sebagai petani. Mau nikah dan punya anak nggak akan buat pusing. Ada tanah buat rumah. Ada tanah buat bertani.
Di sini, sebenarnya kecil kemungkinan ada sebuah keluarga mati kelaparan. Tak ada beras, masyarakat kampung bisa makan singkong, keladi, jagung, ubi jalar atau kolope (kolope: umbi hutan beracun, agar dapat dikonsumsi harus diolah pake cara khusus. Selain itu, daunnya biasa juga dipakai untuk bahan bikin mainan layang-layang).
“Banyak anak banyak rezeki” seolah-olah jadi kredo yang sudah kuno jika ditandingkan dengan Program KB, yang kini tiba-tiba berubah jadi; “Banyak anak bikin susah.” Memang betul jika banyak anak menjadi masalah jika di daerahnya tanah dan rumah tak banyak tersedia.
Ya jelas beda halnya dengan sa punya kampung. Di kampung, banyak anak justru betul-betul datangkan rezeki. Sebab lahan kosong yang luas butuh tenaga banyak untuk dikelola bisa dikelola anak sendiri. Semakin luas lahan yang digarap, semakin banyak pula hasil panen yang diraup. Tak perlu pusing bayar buruh lagi.
Ketimbang soal lahan yang butuh digarap oleh banyak orang, yang lebih mengkhawatirkan sebenarnya potensi Program Keluarga Berencana yang bisa jadi ancaman terencana buat SD-SD di kampung saya. Keberadaan pendidikan dasar itu belakangan jadi kembang-kempis karena jumlah muridnya semakin sedikit dari tahun ke tahun. Ya tentu saja bukan cuma KB saja sebabnya, tapi tak bisa dipungkiri program ini jadi salah satu biangnya.
Meski begitu, sa bukan benar-benar anti dengan Program KB. Untuk sekarang sa memang belum sepakat jika program itu digalakkan di daerah saya. Sebab jika ibu-ibu di sa punya kampung pakai program KB semua karena tergiur dengan imbauan pemerintah bahwa anak sedikit lebih mudah, bisa-bisa makin sedikit lagi orang-orang di kampung saya. Tanpa ada program KB saja, sudah sepi begini, apalagi kalau tiap keluarga cuma punya dua anak?
Tidak menutup kemungkinan saya bisa saja sepakat dengan program ini di daerah saya ke depannya. Saya akan sepakat jika daerah saya sudah mulai padat penduduknya. Orang-orang dari penjuru Indonesia datang karena kemajuan di daerah saya. Kemajuan merata sampai di daerah saya, infrastuktur ada semua, lalu kampus-kampus keren nomor wahid bermunculan di sini. Mahasiswa-mahasiswa kreatif dan cerdas pun berbondong-bondong datang ke sini.
Nah, kemudian ketika semua orang di daerah saya jadi kreatif karena daerah saya sudah maju. Terus di sini kami jadi bisa bikin media kayak Mojok. Tentu saja isi medianya bakal penuh dengan tulisan dengan selentingan-selentingan khas orang-orang Timur. Dan orang dari daerah lain gantian yang akan bertanya-tanya ke Gogel untuk tahu logat-logat kami. Tentu saja kami bakalan punya Kepala Suku juga seperti Mojok. Sebab, tanpa mau bikin media kayak Mojok pun, untuk sementara ini cuma itu modal yang kami punya.