MOJOK.CO – Semua bayangan saya soal film bokep luntur di hadapan PSK itu. Gaya sex aneh dan imajinasi soal ibu datang bersamaan. Sial.
Baca dulu bagian 1 di sini: “Dari Bilik ke Bilik, Ketika Anak SMP Hilang Keperjakaan Bersama PSK di Kota Palu (1994-1996)”.
Telapak tangan perempuan itu terasa hangat menyentuh lengan saya. Dia menatap saya masih dengan tatapan menyudutkan, seakan-akan dia yang akan berkuasa menentukan “pertempuran” malam itu, termasuk gaya sex yang sudah saya imajinasikan. Yah, saya sangat yakin dia tahu saya belum berpengalaman.
Di bawah cahaya lampu neon panjang yang sudah berdebu itu dia bisa melihat jelas wajah saya yang ketakutan, penasaran, ragu, tapi berusaha terlihat tenang. Mengisap sebatang rokok dengan tidak beraturan membuatnya semakin yakin bahwa pelanggannya malam ini tidak akan merepotkan, mudah diatur, dan masih anak kemarin sore.
Percakapan menjelang pengalaman pertama
“Siapa kau pe nama?” Tanyanya, “So pernah apa te pernah kemari?” Sambungnya lagi.
“Sudah pernah kesini, tapi tidak maen, cuma bajalan saja sama teman. Nama saya Aji.”
Aji, adalah nama pertama yang saya pakai sampai sekarang kalau sedang berurusan dengan hal-hal mesum dan lokalisasi seperti di Tondo. Saya punya tiga nama panggilan; satu nama panggilan di rumah, satu nama panggilan di sekolah dan pergaulan, satu lagi nama yang sebenarnya menjadi panggilan saya ketika menginjak fase batita sampai sekitar umur enam sampai tujuh tahun, yaitu Aji.
“Namaku Windi, bukan kita pe nama asli, tapi panggil saja begitu. Kau batanya harga tadi? kenapa, takut te bawa uang cukup kah? Kau merokok apa? saya minta satu e.”
“Ini Sampoerna King Size, biasanya laki-laki yang merokok ini. Memangnya kau merokok? Dari tadi saya liat te ba apa-apa, hanya duduk diam saja di kursi tengah tadi?”
“Iyo, memang te merokok, cuma kadang-kadang saja, ini menemani kau pe grogi dang, supaya sama-sama habis rokoknya kong kita langsung buka baju saja,” balasnya sambil terkekeh.
Perut saya mulai mual, kaki makin terasa kesemutan dengan pikiran yang semakin kacau. Akan seperti apa malam ini? Gaya sex seperti apa yang harus saya terapkan? Bagaimana rasanya? Semuanya bikin saya gelisah.
Saya mengeluarkan uang yang ada di kantong saya dan menunjukkan tiga lembar uang Rp10.000 dan receh kembalian dari warung.
“Saya harus bayar berapa?” Tanya saya.
“Rp10 ribu saja, tapi kalau kau mau kasih lebih tidak apa-apa. Tapi kita pe waktu cuma setengah jam. Kalau lebih dari itu harus bayar lagi.”
Gelisah
Rokok yang masih belum habis diisap saya matikan di asbak kaleng yang ada di meja kecil itu, mengambil air minum, dan menenggak hingga air tersisa setengah.
“Mau sekarang, kah?” Tanya Windi.
Saya terdiam, maksud saya mematikan rokok itu bukan karena sudah siap mau menerapkan gaya sex yang sudah saya pelajari, tapi karena rokok sudah tidak enak rasanya di kondisi itu dan saya memang haus.
“Yasudah, mari jo,” jawab saya agak ragu.
Windi mematikan rokoknya di asbak kaleng yang sudah hitam karena banyaknya bekas bakaran rokok, lalu perlahan naik ke atas tempat tidur dengan kedua lututnya, menyapu-nyapu bantal dan kasur yang dilapisi sprei hijau gelap bermotif bunga dengan sapu lidi pendek yang sepertinya sudah lama sekali karena warnanya yang tidak cerah. Dia lempar sapu lidi itu ke arah lemari, lalu duduk di ujung kepala tempat tidur menghadap saya yang masih berdiri. Saya belum tahu apa langkah selanjutnya yang harus dilakukan.
Sulit sekali fokus
“Te bisa lepas celana sendiri kah kau ini?” tanyanya dari atas tempat tidur.
Saya kemudian perlahan menurunkan ritsleting, membuka kancing celana jeans, lalu melepasnya, naik ke tempat tidur dan masih belum tahu juga akan berbuat apa, harus mulai dari mana. Rekaman di kepala tentang gaya sex di film bokep mendadak hilang, atau kalau pun ingat, saya lupa urutannya bagaimana.
Beberapa saat saya diam dan menatap Windi, tangan saya mulai bergerak tidak menentu, fokus saya mulai terarah ke beberapa bagian tubuh, tapi mendadak Windi berkata. “Kalau celana dalamnya tidak dilepas, bagaimana mau bakeju dang?”
Saya ingat salah satu adegan film bokep di mana sebelum sang aktor dan aktris melakukan hubungan badan mereka bercumbu mesra, antusias, lalu sesekali berhenti saling menatap satu sama lain sebelum memamerkan gaya sex yang megah kepada penonton. Sang perempuan memegang pipi laki-lakinya, lalu sang laki-laki membalas dengan sentuhan ke beberapa bagian tubuh.
Maafkan saya, ibu
Malam itu saya praktik semua gaya sex yang saya dapat dari film. Setidaknya saya berpikir seperti itu.
Tapi, kemudian Windi mendorong saya pelan lalu berkata dengan nada cukup tinggi. “Heh, kau te pernah ciuman kah? sampe basah kita pe idong, jangan juga kau bagigit lidah. Ih, anak kecil sekali kau ini e?”
Tiba-tiba saya membayangkan ibu menatap saya dengan dingin. Sorot matanya sendu, dari kejauhan seperti berair, berkaca-kaca melihat saya, lama-kelamaan kedua tangannya dikepal, lalu digerakkan memegang dada seperti terenyuh atau sedih melihat sesuatu.
Dia memandang melihat anak laki-lakinya yang paling bungsu ada di pelukan perempuan lain dengan bebasnya memegang alat kelaminnya yang sejak kecil dirawat dan dituntun bagaimana caranya bisa buang air kecil seperti umumnya laki-laki. Ibu pula yang dengan penuh kasih sayang memberikan semangat dan meminta saya bersabar ketika menjalani proses penyembuhan setelah sunatan. Saya merasa risih, mual, bersalah, takut, malu, seraya berkata, “Mamah….”
Windi memotong imajinasi saya tentang ibu yang muncul di kepala. Dia memegang pipi saya dengan lembut, memberi isyarat dia yang akan mengarahkan saya bagaimana seharusnya saya memperlakukannya malam itu.
Windi berusaha memegang kendali
Ciuman demi ciuman sambil menutup mata membuat pikiran saya menerawang kembali ke dapur rumah, di mana saya sekarang sudah bisa memasak telur ceplok setengah matang dan tumis kangkung walaupun asin. Ibu yang mengarahkan saya bagaimana memecahkan telur di atas wajan berisi minyak panas, memasukkan bawang sebelum memasukkan kangkung, lalu menambah garam dan Masako setelah kangkung diproses setengah matang.
Windi sudah melepas pakaiannya. Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya tahu bagaimana bentuk tubuh wanita yang sangat berbeda dengan laki-laki, bagaimana visual yang memberikan rangsangan kepada laki-laki membuat saya dan Jimi punya semangat lebih untuk datang ke tempat-tempat seperti ini, dan membuat kami ingin kembali lagi, lagi dan lagi.
Saya atau Jimi mungkin sudah pernah coli dengan konsep, imajinasi akan gaya sex yang menggairahkan, dan situasi masing-masing di keseharian kami. Tapi, semua itu hanya berdasarkan majalah dewasa yang kami pinjam dari orang, ingatan tentang film bokep yang tidak bisa kita nikmati secara bersamaan saat sedang coli.
Di kota Palu, coli itu disebut dengan kata baloco.
Saya dan Windi pun merebahkan diri di tempat tidur, saling memandang, bercumbu dan kami akhirnya melakukan hubungan badan yang diidam-idamkan oleh banyak laki-laki muda yang sedang birahi, berangan-angan bercinta dengan lawan jenis sehingga rela melakukan banyak cara, bahkan dengan cara yang tidak wajar sekalipun. Saya, satu dari sekian banyak laki-laki yang beruntung bisa berhubungan badan tanpa harus melakukan hal di luar nalar.
Konsep gaya sex yang buyar
Untuk sesaat badan saya sudah berada di atas badan Windi. Aneh rasanya, bersentuhan kulit tanpa menggunakan pakaian. Sementara alat kelamin saya di bawah sana sibuk berusaha untuk kembali masuk karena ketidaktahuannya untuk bergerak ke mana. Setelah beberapa saat, saya memilih gaya sex duduk, seperti orang yang duduk bersila, kesemutan lalu kemudian meluruskan kaki, selonjoran dengan bagian selangkangan yang direnggangkan.
Hampir 10 menit lebih saya melakukan gerakan yang membuat raut wajah Windi terheran-heran, lalu seperti menahan tawa. Saya masih terus melakukan hal yang di kemudian hari saya sadari cukup konyol.
Pantat saya memang bergerak maju-mundur, tapi itu posisi dan gerak yang tidak lazim saat itu bagi pasangan yang sedang melakukan hubungan badan. Hanya ada tiga referensi yang menjadi pakem posisi bagi manusia di kota Palu kala itu, yaitu missionary, doggy style, dan woman on top.
“Lampunya mau dimatikan kah? Kenapa macam te bakeju, lagi nonton film kah kau?” Tanya Windi.
Terang saja dia bicara seperti itu, sedari awal hanya dua posisi yang saya peragakan: Missionary yang hanya bertahan kurang dari lima menit, lalu posisi terakhir yang saya sendiri tidak tahu apa sebutannya, walaupun di zaman sekarang posisi itu sudah lazim digunakan di industri film Amerika, Eropa, dan Asia seperti Jepang. Cari saja posisi laki-laki duduk dengan kaki selonjoran dan perempuannya tidur terlentang, mirip seperti itu, tapi kalau versi saya ditambah dengan wajah sang perempuan yang kebingungan.
Berulang kali saya memandang wajah Windi, melihat tembok di belakangnya, melihat Windi lagi, melirik sudut-sudut kamar, lalu pikiran saya dipenuhi pertanyaan, apakah saat klimaks rasa dan sensasinya sama seperti saat baloco? Badan kesemutan lalu lemas seperti habis kesetrum kipas angin? Atau akan lebih dahsyat dari itu?
Terdesak!
Sudah setengah jam, Windi mengingatkan saya sekaligus bertanya apakah saya sudah mau “keluar”. Dengan posisi duduk tadi saya meminta Windi bertahan sebentar lagi, mulai terasa keringat keluar perlahan di bagian punggung, lengan, kepala dan leher saya. Sementara Windi, terlihat seakan-akan sedang menonton televisi di tembok belakang saya, kalau dia bisa sambil ngupil, mungkin itu akan dia lakukan sambil menunggu saya yang tak kunjung selesai.
Suara pintu terbuka dari kamar lain membuyarkan konsentrasi saya. Ada laki-laki berbicara pelan dengan seorang wanita, dan sepertinya itu suara Jimi.
Windi melihat wajah saya dan berbicara pelan, “Itu kau pe teman so selesai, kasi keluar sudah jo. Apa jangan-jangan kau pake obat e?”
Fokus yang hilang
Pikiran saya semakin tidak fokus. Kangkung, telur ceplok, tisu mejik, ciuman pertama, alat kelamin saya yang dipegang oleh orang asing, gaya bercinta yang tidak jelas, suara ranjang kayu, lampu yang tidak dimatikan, dan rasa penasaran saat saya mencapai klimaks akan seperti apa, semuanya datang di saat bersamaan.
Kembali Windi mengingatkan saya beberapa menit setelahnya, bertanya kapan saya selesai. Nada judes bercampur manja terdengar pelan di telinga saya. Saya merengut, tidak marah tapi harus mengambil keputusan. Sebenarnya saya tidak begitu menikmati, dan pertanyaan demi pertanyaan yang muncul membuat mood saya menurun, sementara saya juga tidak tahu apakah seharusnya orang bercinta itu harus mengobrol satu sama lain atau hanya berdiam saja?
Tidak ada suara melenguh seperti di film dewasa yang saya tonton, tidak sesuai kenyataan dan saya mulai merasa bosan.
Ini harus segera diakhiri.
Sekuat tenaga saya berusaha sambil berbicara di pikiran saya:
“Ayo keluar! Keluar! Keluar! Ayolah!”
BACA JUGA Suara Hati Seorang PSK: Siapa Bilang Kerja Saya Gampang? dan pengalaman mendebarkan lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Khoirul Fajri Siregar
Editor: Yamadipati Seno