MOJOK.CO – Jika kamu tahunya gangguan jiwa itu cuma gila. Nggak heran, kalau langsung protes dan menolak ketika ODGJ dikasih Hak Pilih.
Beberapa hari ini saya mengamati komentar-komentar netizen tentang aturan KPU yang memberikan hak pilih pada orang-orang dengan gangguan jiwa. Aturan ini membuat netizen terbelah dalam komposisi yang tidak imbang, banyak yang pro, tapi lebih banyak lagi yang kontra. Setidaknya ada dua narasi yang terus menerus didengungkan oleh kelompok kontra. Pertama, kecurigaan bahwa aturan ini hanyalah akal-akalan petahana untuk mendulang suara. Kedua, gagal paham apa perlunya orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dikasih hak pilih.
“Becanda nih KPU ngasih hak pilih ke ‘orang gila.’ Ngawur banget! Udah tau ‘gila’ kok dikasih hak pilih. Segitunya petahana mau kembali berkuasa, sampai ‘orang gila’ aja boleh milih.”
Begitulah komentar-komentar kontra yang biasanya saya baca.
Tapi, tahukah Anda, Pakbapak dan Buibu yang menolak aturan ini? Ngomong-ngomong, ini bukan sebuah kecerobohan KPU yang membuat aturan. Atau ada kemungkinan niat busuk petahana untuk mendulang suara. Masalah yang sebetulnya adalah pakbapak dan buibu tahunya: yang namanya gangguan jiwa itu, ya cuma gila.
Karena tahunya cuma gila, maka asosiasinya langsung ke penderita gangguan jiwa berat yang terlantar dan menggelandang di jalanan. Padahal, gangguan jiwa tidak cuma sebatas itu, dan ada sangat banyak macamnya.
Jika pakbapak dan buibu suka nyakar-nyakar pasangan dan senang ditabok-tabok sama pasangan saat berhubungan badan, itu juga termasuk gangguan jiwa, lho.
Penggunaan istilah ‘gila’ ini biasanya memang ditujukan pada orang-orang dengan gangguan jiwa berat seperti skizofrenia. Nah, gejala-gejala umum yang dialami oleh penderita skizofrenia biasanya meliputi delusi, halusinasi, dan hilangnya kontak dengan realitas. Dengan ‘kerusakan’ separah ini memang wajar kalau khalayak ramai mempertanyakan aturan KPU.
Namun yang jarang diketahui oleh banyak orang adalah gangguan skizofrenia ini bersifat episodik, bukan menetap. Karena gangguannya bersifat episodik, maka penyintas skizofrenia tak selalu berada dalam kondisi yang disebut “gila” itu. Ada waktu-waktu di mana mereka sadar dan tak ada bedanya dengan kita-kita yang ngakunya sehat jiwa ini. Semakin gangguannya dapat tertangani dengan baik, plus mendapat dukungan yang positif dari lingkungan sekitar, maka semakin minimal gejala-gejala skizofrenia itu muncul.
Sayangnya, stigma yang berkembang di masyarakat, penyintas skizofrenia ini seolah-olah: sekali sakit jiwa, selamanya sakit jiwa.
Selain percaya bahwa orang dengan gangguan jiwa itu terus menerus terganggu kesadarannya, sepertinya banyak juga dari pakbapak dan buibu yang memandang orang dengan gangguan jiwa adalah orang yang tidak bisa apa-apa. Saking nggak ada yang bisa diharapkan dari orang dengan gangguan jiwa, sampai-sampai salat yang jadi tiang agama pun tidak diwajibkan atas mereka. Tak jarang saya menemukan komentar seperti ini,
“Dalam ajaran agama saja ‘orang gila’ itu dibebaskan dari kewajiban menunaikan salat, lah ini kok malah dipercaya memilih pemimpin? Nalarnya itu gimana?”
Dalam pikiran orang-orang yang berkomentar seperti ini, mereka mengira orang dengan gangguan jiwa tidak mampu menunaikan ibadah salat dan selamanya tak dikenai kewajiban menunaikan salat. Namun ada satu fakta yang jarang diketahui oleh Maha Benar Netizen Dengan Segala Eyelan-nya, satu fakta yang juga baru saya ketahui ketika praktik kerja profesi psikolog di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat, Jawa Timur.
Faktanya adalah setiap azan berkumandang—yang menandakan datangnya waktu salat, beberapa pasien di bangsal tempat saya bertugas segera beranjak berwudhu dan melakukan salat berjamaah!
Sungguh ini pemandangan yang mengkoreksi pemikiran saya sebelumnya bahwa orang dengan gangguan jiwa tidak menunaikan salat. Terlepas dari diterima atau tidaknya ibadah salat yang mereka lakukan, tapi dalam kondisi kejiwaan yang stabil dan terkendali, pasien-pasien itu memahami kapan datangnya waktu salat, menyadari kewajibannya untuk menunaikan salat, dan mampu menunaikannya.
Saya pikir, gugurnya kewajiban salat bagi orang dengan gangguan jiwa ini tidak berlaku permanen seumur hidup mereka. Namun hanya berlaku ketika gejala-gejala gangguan jiwa yang mereka alami sedang “on.” Dengan pengalaman ini, bagi saya, masuk akal jika ODGJ dikasih hak pilih oleh KPU dengan syarat surat dari dokter yang menerangkan kondisi kejiwaan mereka.
Alih-alih nyinyir dan curiga, kita sebaiknya mengapresiasi langkah KPU yang memberikan peluang kepada ODGJ untuk menggunakan hak pilihnya. Pakbapak dan buibu boleh membayangkan orang dengan gangguan jiwa itu adalah orang yang sudah terbuang dan berakhir hidupnya. Tapi percayalah, bahwa di luar sana ada banyak penyintas skizofrenia yang berjuang tak kenal lelah untuk merawat diri dan mempertahankan kualitas hidupnya. Sebagian dari mereka menjalani hidup yang tak berbeda dari kita, berkeluarga dan bekerja dengan segala keterbatasannya. Bagi saya, mereka masih warga negara yang harus dijamin hak-haknya, termasuk hak pilih saat pemilu nanti.
Stigma memang membuat kita mempercayai asumsi-asumsi yang salah mengenai orang dengan gangguan jiwa. Kita seolah menjadi yang paling tahu tentang apa yang baik buat mereka, padahal didekati mereka saja kita lari ketakutan—hayo ngaku!
Sebenarnya, jangankan untuk salat dan menggunakan hak pilih, orang dengan gangguan jiwa bisa memenangkan hadiah Nobel saja ada! Hah? Siapa “orang gila” yang bisa memenangkan hadiah Nobel? Halah, nggak usah sok katrok kayak yang nggak pernah nonton film bagus gitu toh~
Gangguan jiwa berat seperti skizofrenia saja nggak seburuk yang pakbapak dan buibu pikirkan. Apalagi gangguan-gangguan yang lebih ringan seperti depresi, kecemasan, obsesif-kompulsif, dll. Yang saya yakin di antara pakbapak dan buibu ada juga yang mengalaminya, tapi nggak ngerasa aja karena gejalanya nggak ‘terlalu mencolok’, jadi nggak tahu kalau perilaku tersebut masuk dalam gangguan kejiwaan.
Nah, sekarang masih aja ngotot menolak ODGJ dikasih hak pilih? Please atuh lah, kita ini nggak kehilangan hak sebagai warga negara hanya karena mengalami gangguan jiwa, kok.