MOJOK.CO – Galeri Nasional seharusnya menjadi rumah bersama dan melindungi seniman. Bukan menjadi rumah jagal, membreidel karya-karya monumental milik seniman.
Dari Gambir sebelah timur, dari kawasan Pejambon Jakarta Pusat, berita breidel bidang kebudayaan itu meluncur. Galeri Nasional memvonis sebuah pameran tunggal seni rupa karya Yos Suprapto tidak layak diperlihatkan ke publik; tidak pantas di-galeri nasional-kan walau itu dinyatakan di detik-detik jelang pembukaan.
Betapa sangat simboliknya. Pintu galeri terkunci. Pintu dan kunci jelas bertaut dengan kekuasaan. Kunci dan pintu adalah dua elemen tentang kekuasaan. Kunci dan pintu berbicara tentang otoritas.
Pihak Galeri Nasional merasa memiliki otoritas penuh untuk menutup dan mengunci pintu bagi siapa saja yang dalam pertimbangan “otoritasnya” tidak kapabel. Tetapi, sifat otoritatif Galeri Nasional itu tidak berdiri sendiri. Ia ditopang sejumlah pilar. Salah satunya adalah otoritas pihak kurator.
Ketika Galeri Nasional mencoba berlindung di balik tubuh kurator
Sampai di sini, Galeri Nasional tampaknya “sejalan” dengan pandangan kurator pameran. Mereka sama-sama tidak menyukai dan tidak sepaham dengan karya si seniman. Menurut mereka “tidak sejalan dengan tema kuratorial, dan berpotensi merusak fokus terhadap pesan yang sangat kuat dan bagus dari tema pameran”.
Di titik ini, pihak Galeri Nasional mencoba berlindung di balik tubuh kurator. Jika mereka membuka “kunci pintu” Galeri Nasional atas karya-karya Yos Suparto, mereka tidak mau berurusan dengan opini pameran selevel negara macam apa pula tanpa dikurasi dan tanpa mendapatkan otoritas oleh kurator.
Sampai di paragraf ini, lihat, seniman masih berada di level ketiga; posisinya sangat lemah. Mereka bisa menyembul ke atas tergantung pada dua otoritas di atasnya. Tanpa otoritas itu, mereka pekerja kebudayaan di level bawah.
Karena unsur otoritas inilah saya menempatkan pihak kurator dan pihak galeri negara sebagai dua objek yang perlu dibahas secara serentak. Kurator dengan otoritasnya yang sangat penuh itu menjadi titik krusial dalam praktik “pembreidelan” ini, walau pihak Galeri Nasional tidak boleh buang badan.
Omong kosong
Dari 8 poin klarifikasi kurator Suwarno Wisetrotomo, poin kedualah yang menjadi penghambat buatnya untuk tetap melanjutkan proses kuratorial. Penulis dan dosen dari ISI Yogyakarta ini menganggap ada dua karya yang “terdengar seperti makian semata, terlalu vulgar, sehingga kehilangan metafora yang merupakan salah satu kekuatan utama seni dalam menyampaikan perspektifnya”.
Dan, kalian semua sudah bisa melihat karya mana yang tidak disepakati oleh kurator itu di pameran Galeri Nasional yang menurutnya berasal dari “riset yang memadai dan relevan”.
Pertanyaan sederhana saya, membicarakan “tanah”, “kedaulatan pangan” tanpa membicarakan kekuasaan sama dengan omong kosong. Membicarakan tuan tanah, para perampas tanah, dengan mengabaikan semua aktor-aktor besar yang bermain di dalamnya, adalah absurd belaka.
Seniman sudah menjalankan tugasnya dengan baik. Meminjam bahasa Suwarno, telah melakukan “riset yang memadai dan relevan”. Yang tidak baik adalah kurator sendiri justru yang lemah dalam soal riset “hal-hal yang beginian”. Konflik tanah di Republik ini selalu sampai pada mereka yang tinggal dalam pelukan kuasa Koningsplein.
Jadi, tepat pada karya yang membicarakan “aktor besar” yang bermain dalam “sengketa tanah” dan “tanah untuk kedaulatan pangan” itu Kurator Suwarno menunjukkan bahwa ternyata ini bukan soal estetika murni. Ini perihal keberpihakan dan soal sejarah posisi berdiri.
Rasa takut sebagai bagian dari endapan masa lalu
Tatkala sampai pada pembicaraan di mana kaki berdiri, di situ semuanya dipertaruhkan. Terutama, “rasa takut” yang disumbang oleh “belakang kepala”. Rasa takut itu membuka pintu kerangkeng. Lalu, hantu pun bergentayangan.
Barangkali, tak ada pihak yang merepresi langsung sang kurator. Tidak ada todongan senapan saat sang kurator sendirian di kamar melihat dan menimbang foto-foto karya Yos Suprapto untuk di-display di dinding-dinding Galeri Nasional.
Tetapi, rasa waswas itu, rasa takut itu bagian dari proses endapan yang lama dan hidup. Apalagi, Suwarno tak memiliki lembar profil signifikan sebagai kurator yang membela “karya seniman”. Terutama saat karya itu direpresi.
Padahal, hal itu menyumbang sangat besar “rasa takut” itu kemudian membesar dan melahirkan keputusan. Lebih baik menyensor diri sendiri ketimbang susah nasib dan sedih karier di keesokan harinya.
Selama ini, Suwarno adalah kurator berkategori “bermain aman”. Afirmatif. Pilihan diksinya pun “aman” alias tidak meledak-ledak. Bukalah semua lembaran koran dan majalah yang terdapat tulisan Suwarno, pastilah merasakan warna tulisan bernuansa demikian, tulisan yang “tidak berpretensi untuk ngapa-ngapain”.
Karena itu, ada keanehan dari saya, mengapa dia mau mengurasi tema besar dari Yos, yang tidak hanya keras dari soal tema, tetapi juga “vulgar” secara estetika. Estetika yang mengajak berkelahi kekuasaan yang sama sekali tak berpihak pada “tanah untuk kedaulatan pangan” alias politik anti petani.
Artinya, garis dan kenampakan objek yang diperlihatkan perupa macam Yos tidak pas digarap kurator berkategori “pemain aman” seperti Suwarno.
Sampai di sini, kita belum mendapatkan penjelasan siapa yang menunjuk Suwarno menjadi kurator pameran ini. Apakah permintaan dari seniman atau dia ditunjuk pihak Galeri Nasional.
Seniman tidak boleh beropini atas kekuasaan di Galeri Nasional?
Jika benar dari Galeri Nasional, berarti mereka tidak mempertimbangkan profil dan pengalaman Suwarno. Terutama tema yang cocok untuk kurator, sehingga tidak terjadi hal seperti ini. Khususnya saat kurator dengan gagah ngomong: “Dan bagi saya, sebagai seorang kurator, pendapat saya penting untuk dipertimbangkan oleh seniman.”
Fakta inilah yang terjadi. Seniman memilih TIDAK MAU mendengarkan pendapat kurator. Terutama pendapat yang fasistis: “Jangan pamerkan yang ini.”
Tak ada penjelasan memadai, kenapa dua atau lima lukisan yang TIDAK BOLEH DIPAMERKAN karena “opini seniman tentang praktik kekuasaan”. Suwarno seperti ingin mengatakan, dia mundur karena seniman beropini tentang kekuasaan yang menurutnya tak boleh dilakukan. Seniman tidak boleh beropini atas kekuasaan.
Sampai di sini, saya mengiyakan salah satu celetukan yang saya anggap sebagai lelangut panjang dari seorang seniman Jogja. Setiap bertemu, lelangut yang sudah saya dengar puluhan tahun lalu itu tetap ia nyatakan dalam cakapan nonformal.
Bunyinya: “Kenapa, sih, kurator itu jarang betul mau mendengarkan seniman. Mereka sibuk dengan idenya sendiri. Kutipan-kutipan tulisan pengantar kuratorialnya ke mana, apa yang dipikirkan seniman ke mana.”
Peristiwa pembreidelan pameran seniman Yos Suprapto di Galeri Nasional ini paling tidak membuka kembali cerita lama. Khususnya tentang dunia pengurasian yang umumnya menempatkan seniman berada di level terbawah dalam susunan otoritas dunia seni rupa.
Sialnya, kejadian ini langsung terkait dengan pihak Galeri Nasional. Dan, opini liar pun tak bisa disumbat. Knop praktik pemberangusan kreativitas dimulai oleh seorang pemimpin negara yang berasal dari Angkatan Darat. Kisah lama dimulai. Ritus #siksaorba dimulai.
Suwarno dan Galeri Nasional tentu saja tidak menduga ke arah sana mengalirnya asumsi publik. Pihak Galeri Nasional bisa jadi khilaf dan lupa dengan sejarah mereka sendiri bagaimana kehadiran ide galeri negara ini terbit dan dianyam.
Munculnya Galeri Nasional
Sebagai tukang kliping, saya meyakini bahwa gagasan memiliki Galeri Nasional ini tidak muncul begitu saja. Sejauh operasi penglipingan yang saya kerjakan, bersitan ide itu sudah menggaung sejak 1961. Saat itu, negara sedang sibuk mempersiapkan infrastruktur Asian Games, saat seniman diutus untuk “berpakansi” ke negara-negara Eropa.
Salah satu perupa itu, seusai melakukan muhibah kebudayaan, menuliskan saripati gagasannya. Antara lain, Indonesia membutuhkan semacam art-gallery untuk menyongsong menjadi sebuah negara besar dan kiblat bagi negara Asia dan Afrika.
Nama seniman dan sekaligus jurnalis tangguh itu adalah A. Sibarani. Ide art-gallery (baca: Galeri Nasional) itu saya gunting dari catatannya bertajuk “Suatu negara jang mendjunjung tinggi kebudajaan, mempunjai art-gallery” di Bintang Timur bertitimangsa 16 April 1961.
Itulah latar gagasan art-gallery dalam catatan Sibarani saat mengunjungi Moskow. Selain itu, dia juga mengunjungi Leningrad, Berlin, dan Dresden.
Di Uni Soviet, dia memasuki Gosudarstvennyi Muzei. Sementara saat di Jerman, dia berjumpa dengan takjub atas kemegahan Gemaldegalerie.
Lebih kurang, Sibarani melakukan soliloquy seperti ini. Suatu negara yang menghargai kebudayaannya dan para senimannya tentulah mempunyai Galeri Nasional.
Jadi, art-gallery itu bukan sekadar menyeleksi siapa berpameran atau tidak dengan mengikuti selera estetika kurator ini dan kurator itu. Ini bukan galeri individual, galeri dagang. Ini art-gallery, ini Galeri Nasional milik negara.
Art-gallery atawa Galeri Nasional itu mengambil tugas utama museum. Yaitu, “menjimpan harta perbendaharaan hasil2 karja putra-putrinja jang selama hidupnja mengabdikan dirinja pada kesenian dan kebudajaan dalam perdjuangan bangsanja … mendjadi suatu gedung dokumentasi jang abadi, jang terbuka untuk untuk masjarakat dan dapat dinikmati dan dihargai oleh tiap manusia pengundjung, jang sendirinja pula akan makin tambah pengertiannja tentang perkembangan seni ini.”
Selain soliloquy dan pengharapan Sibarani seperti itu, gagasan Galeri Nasional itu mestilah hadir karena dipicu oleh peristiwa ini.
Galeri Nasional seharusnya melindungi
Pada suatu hari, demikian Sibarani berkisah, seorang pelukis Rusia datang ke Indonesia. Si pelukis menyatakan keinginannya untuk melihat-lihat hasil dari pelukis-pelukis Indonesia. Si seniman dari negeri beruang merah itu berkata ingin sekali berkunjung ke art-gallery atau museum lukisan.
Apa lacur, Galeri Nasional yang dimaksudkan seniman beruang merah itu tidak ada. Pelukis Indonesia yang ditanya pun hanya bisa masygul. Menurut pelukis Rusia itu, “tentulah paling sedikit ada suatu museum ketjil di Djakarta jang memuat hasil2 karja seniman2 pelukis Indonesia mengingat madju pesatnja perkembangan seni ini di Indonesia. Sebab, Indonesia mempunjai sedjarah revolusi jang sedjarah revolusi jang membawa suatu revolusi pula dalam senilukis Indonesia …”
Saya cukupkan sampai di situ saja Sibarani. Dia membabar ada 11 poin mengapa art-gallery atau Galeri Nasional itu mesti ada. Semuanya bersemangat satu: rumah besar seni rupa itu menjadi kebanggaan seniman dan atap-atap dan pilar-pilarnya yang kokoh bisa melindungi karya-karya utama seniman selama berabad-abad lamanya.
Garis bawahi kata “melindungi”. Galeri ini diimpikan sebagai rumah besar pelindung. Atap bersama seni rupa Indonesia.
Sibarani menyebut nama Raden Saleh dan kita bertanya di mana lukisan Raden Saleh setelah Galeri Nasional benar-benar ada?
Sibarani di tahun 61 itu menyebut nama Affandi sebagai perupa revolusi. Tetapi, di mana karya Affandi setelah Galeri Nasional benar-benar ada.
Sibarani di tahun 61 itu menyebut nama Hendra Gunawan. Tetapi, di mana karya Hendra setelah Galeri Nasional itu benar-benar ada.
Bukan rumah jagal
Pembayangan awal Galeri Nasional itu adalah rumah besar yang “melindungi”, yang menjadi “dokumentasi sedjarah” dari garis panjang seni rupa Indonesia. Bukan rumah jagal yang mempersekusi karya seni, bukan sebagai lembaga penolak, lembaga pengusir.
Sedari awal, perupa-perupa kiri dan revolusioner seperti Sibarani membayangkan museum yang dibikin negaranya menjadi kebanggaan seluruh perupa Indonesia yang jika pencinta seni rupa dari seluruh dunia datang, dengan mudah karya mereka ditemui di Galeri Nasional.
“Kiranja para pembatja tentulah dapat sefaham dengan penulis artikel ini, bahwa pendirian sebuah gedung art-gallery yang megah dan besar tidaklah kalah pentingnja dari pendirian stadion, hotel jang amat besar, masjid2, dan tugu2 nasional,” tulis Sibarani.
Saya bisa memahami keinginan perupa progresif Sibarani itu. Sebab, saat dia membicarakan art-gallery yang mestinya setara dengan “pendirian stadion, hotel jang amat besar, masjid2, dan tugu2 nasional”, dalam waktu bersamaan tengah dibangun Stadion Gelora Bung Karno, Hotel Indonesia, Masjid Istiqlal, dan Tugu Monumen Nasional.
Saya berharap, kurator yang sedang memperlihatkan praktik swasensor karena bayangan “hantu” bergentayangan di belakang kepala sendiri di altar Galeri Nasional bisa membaca kembali dokumen-dokumen tua bagaimana embrio pendirian galeri negara ini diedarkan mula-mula.
Oh, ya, hampir lupa, Pak Kurator, nama Sibarani yang saya kutipkan dalam esai ini adalah perupa yang dibuang dan diperbudak Angkatan Darat sekian tahun di Pulau Buru. Betapa ngilunya. Betapa pilunya. Itu.
Penulis: Muhidin M. Dahlan
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Jerat Warisan Bahasa Orde Baru dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.