Waktu ramai-ramai #KangenOrba dan sejumlah so-called ulama bikin Haul Soeharto, Bapak saya menelepon. Setelah ngobrol ngalor-ngidul tentang keluarga dan desa kami, Bapak bertanya ada berita apa?
Saya ceritakanlah tentang kerinduan orang-orang akan Orde Baru, bahwa zaman Pak Harto lebih enak segala macam. Di luar dugaan saya Bapak menjawab, “Ya iyalah, jauh lebih enak pas Orde Baru.”
“Kok bisa?”
“Zaman itu gigiku masih utuh. Makan apa saja enak sekali rasanya.”
Semalam Bapak menelepon lagi. Bapak bicara tentang pekerjaannya, melembur sampai malam karena banyak pesanan pintu dan jendela. Juga tentang adik yang baru lima tahun dan mulai coba-coba berpuasa. Lalu seperti biasa, Bapak bertanya ada berita apa.
Segerombolan pria dewasa yang merasa jagoan mengerumuni seorang bocah usia 15. Karena menang jumlah, mereka merasa berhak memaksakan kehendak, menampol si bocah sesuka hati kalau tiba-tiba kzl atau gmz. Dengan begitu mereka mengklaim mereka sudah berbuat baik, karena junjungan mereka yang diolok-olok si bocah di media sosial itu milik jutaan umat, bukan milik mereka sendiri, organisasi mereka Front Pembela Islam (FPI) hanya wadah, dan jutaan orang itu bisa mengamuk kapan saja kalau mereka tidak berbuat sesuatu, lebih tepatnya: memaksa si bocah menandatangani dan membacakan di depan kamera sebuah surat yang di dalamnya tertulis “tanpa paksaan”.
Sudah lama saya gmz dan kzl dengan FPI, tapi tak pernah sekali pun saya berniat menyikat miring muka anggotanya kalau kebetulan berpapasan dengan mereka di jalanan Jakarta. Walapun muka dan prejengan dan kelakuan mereka masuk kategori layak tampol. Saya tak pernah merasa berhak menggebuki mereka betapapun mengesalkannya polah mereka. Bahkan saat beberapa kelompok menuntut pembubaran organisasi yang dipimpin oleh Habib Rizieq itu, saya tak pernah setuju.
Kalau mereka mempromosikan intoleransi, ya kritik saja; tak perlu menuntut pemerintah membubarkan. Kalau ada anggota mereka suka main hakim sendiri, laporkan saja, biarkan aparat menindak dengan tegas.
Saat Pilkada Jakarta, saya tak setuju sikap mereka terhadap omongan Ahok di Pulau Seribu. Saya muak dengan provokasi-provokasi mereka di televisi. Toh, itu tidak membuat saya menyinyiri aksi-aksi dan demonstrasi yang mereka bikin. Saya pernah demonstrasi dan tahu rasanya berdemonstrasi dan tahu betapa tidak enaknya sudah panas-panasan memperjuangkan sesuatu, eh, malah dicaci-maki. Saya menghargai hak mereka sepenuhnya.
Ketika calon gubernur yang mereka dukung akhirnya menang Pilkada, saya ikut senang dan bersyukur; sambil berharap mereka mulai menyuarakan aspirasi keislaman dengan cara-cara yang baik, melalui jalur perundang-undangan, berhenti melakukan tindak-tindak kekerasan dan pengrusakan.
Harapan itu terbukti naif. Entah sebab perkembangan politik yang memaksa Imam Besar mereka mengungsi sementara itu membuat mereka gerah, atau memang dasarnya mereka tak bisa berubah, mereka kambuh lagi, main asal geruduk lagi di berbagai tempat. Mulai dari Dokter Fiera Lovita di Solok hingga si bocah 15 tahun Putra Mario Alfian di Cipinang Muara.
Di titik ini, saya sudah tidak mengerti lagi apa mau FPI. Stres saya, Kak Emma.
“Alah, pengecut semua itu,” kata Bapak. “Kalau ditantang kelahi satu lawan satu, potong kupingku kalau mereka berani.”
Waduh, waduh, nada Bapak mulai meninggi. Saya mencoba mengajaknya bicara hal lain, Mojok yang baru hidup lagi, berpuasa di Yogyakarta, Bapak mendengarkan, sesekali menanggapi, sesekali tertawa.
“Tempo hari Mang S datang ke rumah,” kata Bapak, setelah saya kehabisan bahan cerita.
“Dia ngoceh tentang Ahok yang menistakan agama, menghina Islam, melecehkan ulama, aku diam saja. Selesai dia ngoceh, kutanya: ‘Kau ini umat Muhammad yang nabi itu atau umat Muhammad yang preman Pasar Ulu?’
“Mang S menjawab Muhammad yang nabi.
“‘Muhammad yang Nabi itu dilempar tahi saja masih senyum. Perbuatan sekeji itu saja dianggapnya angin lalu. Apalagi cuma omongan, sepele sekali. Lain cerita kalau kau umat Muhammad Pasar Ulu, dia itu duit Rp.100 saja bisa dijadikannya gara-gara’. Mang S diam, terus pamit.”