MOJOK.CO – Film biopic tentang Neil Armstrong berjudul ‘First Man’, bagi Kaum Bumi Datar nggak bakal jauh-jauh dari teori konspirasi para elite global.
Film Biopik Neil Armstrong berjudul First Man telah mendarat di bioskop. Ryan Gosling memegang peranan penting sebagai astronaut yang punya kesamaan dengan ibu hamil: sama-sama nuju bulan.
Namun, film berdasarkan kisah nyata astronaut kebanggaan Amerika ini, haya dianggap seperti film propaganda oleh Kaum Bumi Datar. Seperti halnya orang-orang kiri berpendapat demikian dengan film Penumpasan Penghianatan G30S/PKI. Sebab bagi Flat Earth Society, masih belum ada teknologi yang bisa menembus kubah langit.
Coba bayangkan bagaimana perasaan Neil Armstrong yang bertaruh nyawa demi menjadi manusia pertama yang mendarat di Bulan, tapi malah dicap pembohong. Astronaut yang benar-benar mendarat di Bulan tersebut, cuma dianggap syuting di studio film Hollywood. Betapa menyakitkannya.
Sebelum berhasil mendarat di Bulan, Neil Armstrong dan para koleganya di NASA sebenarnya sudah sering didemo oleh warga sipil. Di filmnya, ditampilkan lelaki kulit hitam yang menyanyikan lagu rap nge-diss NASA.
“Kami kelaparan, tapi orang kulit putih pergi ke Bulan. Harga BBM naik, tapi orang kulit putih pergi ke Bulan. Kami tidak bisa beli kuota internet Telkomsel, tapi orang kulit putih pergi ke Bulan.”
Proyek pergi ke Bulan ini memang memakan biaya yang luar biasa boros. Pembuatan satu roket saja bisa menghabiskan biaya yang setara dengan pembangunan gedung Empire State di Amerika: mahalnya ya ampun, Sultan!
Lain Amerika, lain Indonesia. Di saat negara maju bikin roket, Indonesia bikin jalan tol di Papua aja, dinyinyirin sama salah seorang Ketua BEM sebuah PTN. Padahal jalan tol manfaatnya sudah jelas: semula jalanan di Papua tidak ada yang rusak, karena memang jalanannya saja tidak ada.
Berbeda dengan bikin roket yang cuma buat gegayaan politik semata: biar Amerika bbisa pamer kedigdayaan ke Uni Soviet.
Setelah nonton film First Man, saya jadi tahu kalau Neil Armstrong mendarat di Bulan dengan Slamet (orang Jawa) itu hoaks. Wong, temennya orang Amerika juga. Namanya Buzz Aldrin. Namun, Buzz Aldrin masih kalah pamor ketimbang Neil Armstrong. Daripada Buzz Aldrin, anak-anak malah lebih kenal Buzz Lightyear: menuju tak terbatas dan melampauinya!
Neil Armstrong telah mengajarkan kita untuk jadi yang pertama. Sebab orang-orang tidak peduli dengan orang kedua, ketiga, dan seterusnya. Namun, menurut orang bijak, jika tidak bisa menjadi yang pertama, jadilah yang terbaik. Jika tidak bisa jadi yang terbaik, jadilah yang berbeda.
Nah, Flat Earth Society telah memilih jalan ninja: menjadi yang berbeda. Di saat orang kebanyakan memandang Bumi ini bulat, mereka malah menganggap tahu itu bulat, sedangkan Bumi itu datar. Orang-orang seperti ini akan selalu ada untuk menihilkan kesuksesan dari perjuangan orang lain.
Di mata Kaum Bumi Datar, apa yang dilakukan NASA dan para astronautnya memang tidak jauh-jauh dari teori konspirasi dan hoaks. Menurut mereka, Bumi bulat hanyalah kebohongan elite global untuk bisnis satelit bernilai miliaran dolar. Ujung-ujungnya bakal nyambung ke Iluminati, New World Order, dan Konspirasi Yahudi. Lalu menyalahkan hidup mereka yang serba keterbatasan karena kendali elite global yang kejam.
Ada juga jenis orang yang tetap percaya bumi itu Bulat dan mengamini pendaratan Neil Armstrong ke Bulan itu nyata adanya, Namun tetap saja bisa termakan hoaks. Ya, hoaks semacam ini, mengiringi pendaratan ke Bulan yang menjadi ‘One Small Step For A Man, One Giant Leap For Mankind’ itu, ada kabar burung yang lumayan populer pada masanya: ketika mendarat di Bulan, Neil Armstrong mendengar suara azan yang berasal dari Bumi.
Setelah tahu bahwa apa yang didengarnya adalah panggilan salat untuk umat Islam, ia pun menjadi mualaf. Mungkin kalau mendaratnya baru-baru ini, selain azan, juga bakal terdengar shalawatan Nissa Sabyan sealbum.
Tapi ya gitu, di ending filmnya, Neil Armstrong tidak jadi mualaf. Ya iyalah, emangnya ini sinetron religi Indosiar?
Ngomong-ngomong sinetron religi, saya jadi kepikiran jenazah yang kena azab. Ketika dikubur, kalau jenazahnya ditolak Bumi, kenapa nggak coba dikubur di Bulan aja? Bumi boleh saja menolak, tapi siapa tahu kalau Bulan justru mau terima.
Film First Man memang harus dibuat untuk menjadikan Kaum Bumi Datar lebih berempati lagi. Betapa perjuangan mencapai Bulan bukanlah pekerjaan mudah. Hal ini sudah diimpikan oleh Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy yang kemudian mati tertembak sebelum melihat impiannya terwujud.
Percobaan penerbangan roket pun sempat memakan korban jiwa. Hal ini tentu bikin Neil Armstrong stres berat. Ya gimana, kalau teman astronautnya aja bisa tewas, ia pun bisa mengalami nasib serupa. Istrinya bakal menjadi janda dan anaknya otomatis jadi yatim. Namun, demi kemajuan sains, ia pun berani berkorban.
Di film ini, dipaparkan juga bagaimana perasaan istri Neil Armstrong yang ditinggalkan suaminya pergi ke bulan: kalut parah. Jarang-jarang kan suami pamit kerja ke Bulan. Kalau terjadi di Indonesia, percakapannya pun bakalan nggak biasa seperti ini:
Suami: “Papah pamit dinas ke Bulan dulu ya.”
Istri: “Iya, Pah. Hati-hati di jalan. Jangan lupa kabarin Mamah, kirim WhatsApp kalau udah nyampe.”
Suami: “Siap. Nanti Papah bawain oleh-oleh Kembang Bulan.”
Istri: “Lah, emang Mamah darah kotor dibeliin Bersih Darah Kembang Bulan?”
Ya, akhirnya, Amerika Serikat telah berhasil menancapkan benderanya di Bulan. Ke depannya, Indonesia pasti bisa menyusul. Nanti, di permukaan Bulan, di samping bendera Amerika, bakalan ada bendera Slank dan OI.