MOJOK.CO – Tiga babak yang menggambarkan film Disney princess dalam sejarah ini penting untuk diingat, terutama tentang perjuangan akan kesetaraan gender.
Empire milik Walt Disney dibangun di atas imajinasi dan kesadaran akan perjuangan. Patah hati pertama yang Disney rasakan tidak ada hubungannya dengan hubungan asmara. Patah hati itu terjadi ketika Disney kehilangan hak atas figur animasi yang bernama Oswald the Lucky Rabbit. Kekecewaan, yang untungnya tidak meredupkan imajinasi Disney.
Kekecewaannya yang kedua adalah ketika dirugikan seorang produser bernama Patrick Powers. Setelah menciptakan figur animasi fenomenal yang diberi nama Mickey Mouse, Disney kehilangan sebagian besar keuntungan dari film animasi berjudul Steamboat Willie. Powers bahkan “membajak” sahabat Disney, yang membantunya menyempurnakan Mickey Mouse.
Walt Disney dikecewakan oleh manusia, tapi dia tidak pernah dikhianati oleh imajinasinya. Salah satu kekuatan Walt Dinsey, yang saya kagumi, adalah kemampuan untuk move on dari masalah lalu menangkap fenomena zaman. Sebuah kesadaran yang pada akhirnya melahirkan Walt Disney Animation, salah satu perusahaan animasi terbesar di dunia, dengan konsep film Disney princess yang sukses besar.
Konsep cerita tentang sosok puteri eksis di sepanjang sejarah perfilman dunia. Salah satu fenomena zaman yang berhasil ditangkap Walt Disney adalah pandangan masyarakat tentang perempuan dan perjuangan akan kesetaraan gender.
Pandangan masayarakat terhadap perempuan mengalami perubahan yang cukup siginifikan sejak masa klasik sampai saat ini. Misalnya, jauh sebelum Perang Dunia II, kesadaran akan hak atas diri perempuan masih terasa minim. Perempuan digambarkan hanya bisa bergantung kepada pria. Lingkup “kerja” perempuan adalah mengurus rumah dan anak-anaknya. Kini, pandangan akan posisi perempuan sudah berubah. Perjuangan para pahlawan kesetaraan gender, menurut saya, tidak sia-sia.
Nah, film Disney princess sendiri punya kekuatan untuk memberi gambaran tentang keadaan sosial saat itu. Jika dirangkum dalam pembabagan, film Disney princess dapat dibedakan menjadi tiga macam babak, yaitu the classic princesses, rebels era, dan contemporaries. Walt Disney mampu merekam perbedaan sikap, pandangan akan tubuh, dan gaya hidup putri di setiap zamannya, sekaligus menggambarkan peran perempuan saat itu.
Babak pertama, the classic princesses (1937-1959)
Babak ini digambarkan sebagai damsel in distress era yang artinya putri harus menunggu seorang pangeran berkuda putih untuk datang menyelamatkannya. Film Disney princess pada zaman ini menghasilkan tiga kisah putri kerajaan.
Yang pertama dan sukses besar adalah Snow White and the Seven Dwarfs (1937), lalu Cinderella (1950), dan Sleeping Beauty (1959). Kisah dalam babak ini sangat menggambarkan sikap, cara berpikir, kehidupan, dan makna kecantikan bagi para perempuan masa itu.
Film Disney princess dengan judul Snow White and the Seven Dwarfs menggambarkan karakter putri kerajaan dengan tubuh langsing, kulit putih seperti salju, pipi merah merona, baik hati, serta rajin bekerja.
Namun, sosok perempuan di sini terlalu naif karena sangat mudah ditipu. Dia tidak mengindahkan peringatan dan cenderung mudah percaya kepada sesuatu yang asing di kehidupannya. Di akhir cerita, pangeran datang menyelamatkan nyawanya. Cerita ini didasarkan pada keadaan masa itu, di mana para perempuan saat itu harus bekerja di rumah tanpa mendapat pendidikan yang layak sehingga mudah ditipu.
Selanjutnya adalah Cinderella (1950). Film Disney princess merekam sosok perempuan idaman dengan tubuh langsing, rajin bekerja, warna rambut blond, wajah halus tanpa noda, pembawaan diri yang anggun, dan tidak lupa: baik hati.
Cinderella sendiri cenderung lemah karena hanya diam saat diperlakukan tidak adil oleh ibu dan kakak-kakak tirinya. Dia hidup dalam angan-angan kelak bertemu cinta sejatinya. Gambaran yang tidak jauh berbeda bisa kamu temukan di Film Disney princess berjudul Sleeping Beauty.
Ketiga cerita di Film Disney princess ini merepresentasikan karakter perempuan pada masa itu yang lemah dan bersembunyi di balik “kebaikan hati” orang lain, meski sebenarnya merugikan mereka.
Babak kedua, rebels era (1989-1998)
Di babak ini, kesadaran akan kebebasan dan pendidikan bagi perempuan mulai menguat. Mulai 1989, film Disney princess memulai era barunya dengan nama rebels era. Rebel artinya ‘pemberontak’ atau ‘melawan’. Jadi, di babak ini, karakter Disney digambarkan memiliki rasa bebas dan ingin tahu yang tinggi. Mereka bertekad mengejar mimpi. Tema pada babak ini adalah tekad, petualangan, keberanian, dan cinta.
Babak ini diawali Little Mermaid (1989) yang mengisahkan petualangan seorang putri duyung yang penasaran dengan dunia manusia. Dia bertekad mencari tahu lebih banyak tentang dunia manusia walaupun harus melanggar peraturan.
Menariknya, di film ini, tokoh utama perempuan bernama Ariel yang menyelamatkan pangeran dari kematian, bukan sebaliknya. Selanjutnya, Beauty and the Beast (1991). Belle (tokoh utama) memiliki karakter pantang menyerah, suka membaca, memiliki wawasan yang luas, dan tujuan hidupnya bukan sekadar menunggu “pertolongan pangeran”. Belle menolak menikah dengan Gaston yang kaya dan terhormat, tapi sifatnya buruk.
Setelah itu, film Disney princess berlanjut ke Pocahontas (1995), Aladdin (1992), dan Mulan (1998). Walt Disney Animation mengubah “standar cantik” tidak harus berasal dari etnis tertentu, berambut panjang, berkulit putih, berambut pirang, dan selalu anggun.
Ketiga film ini menggambarkan kecantikan dari berbagai belahan dunia, yaitu Indian, Arab, dan Cina. Bukan hanya cantik, mereka menggambarkan bahwa perempuan bisa menjadi apa saja.
Misalnya Pocahontas yang berani menyelamatkan pria yang dicintainya dari serangan sukunya. Putri Jasmine yang tidak mau menikah jika pada akhirnya dia hanya duduk manis dan yang memimpin negara adalah suaminya. Mulan, menggambarkan perempuan tangguh yang mampu mengemban tanggung jawab yang lebih luas. Struggle untuk kesetaraan gender sudah sangat terasa.
Babak ketiga, contemporaries era (2009-sekarang)
Di babak ini, karakter tokoh utama putri digambarkan lebih independen dan kuat. Babak ini diawali oleh kerja keras serta petualangan Tiana, seorang gadis Afrika-Amerika yang ingin mewujudkan impiannya membuka restoran miliknya sendiri dalam The Princess and the Frog (2009).
Selain itu, Film Disney princess ini juga semakin gencar merombak standar kecantikan perempuan. Bahwa perempuan harus segera menemukan cinta sejatinya agar hidup bahagia. Melalui Brave (2012), untuk pertama kalinya, Disney memproduksi film dengan penggambaran karakter tubuh lebih berisi, rambut keriting, gaya bicara tegas, dan putri pertama yang tidak tertarik akan dunia percintaan.
Babak ketiga ini juga diwarnai film dengan jangkauan cerita serta konflik yang beragam. Misalnya Frozen (2013), yang menekankan definisi cinta antar-keluarga. Lalu Moana (2016) menceritakan kisah seorang anak kepala suku yang berusaha menyelamatkan tempat tinggalnya dengan bantuan sahabatnya Maui.
Yang terbaru adalah Raya and the Last Dragon (2021), gadis tangguh yang berbakat menjadi pemimpin dan harus menghadapi tantangan untuk menyelamatkan keluarganya. Selain itu, Raya merupakan film Disney princess pertama yang terinspirasi dari kebudayaan tradisional Asia Tenggara.
Tiga babak yang menggambarkan film Disney princess ini penting untuk menjadi arsip dunia. Berkat cara rekam Walt Disney Animation, kita bisa menyimak sejarah perubahan cara pandang terhadap perempuan. Terutama menjadi sumber tenaga memperjuangkan kesetaraan gender yang terus berlangsung.
Satu hal manis dari catatan ini adalah pesan yang terkandung dalam perubahan di setiap babaknya. Disney seperti sedang berbisik kepada setiap penonton perempuan, terutama anak-anak, untuk menegaskan bahwa “aku adalah sesuatu spesial, berhak menentukan nasib sendiri, dan memperjuangkan hak hidup.”
Terima kasih, Disney.
BACA JUGA Perfect Blue: Film tentang Gelapnya Industri Hiburan yang Wajib Kalian Tonton dan artikel menarik lainnya di rubrik ESAI.