Fikih Jalan Raya

HUKUM BERKENDARA ALA MOJOK

HUKUM BERKENDARA ALA MOJOK

Polisi: “Selamat siang. Langsung saja tak pakai basa-basi. Tahu pelanggaran Anda?”

Nidin: “Iya.”

Polisi: “Kok Anda nekat menerabas lampu merah? Lampu segede itu apa tidak kelihatan?”

Nidin: “Lampunya saya lihat, bapaknya yang tidak.”

Saya ngakak membaca status K. Faizi, salah seorang pengasuh Pondok Pesantren An-Nuqayah Guluk-Guluk, Madura, yang kebetulan saya pernah mendengar langsung darinya itu. Ala-ala kiai pesantren tradisional umumnya, beliau memiliki koleksi cerita pengundang tawa. Bahkan beliau adalah tawa itu sendiri. Jika bertamu sendirian ke rumahnya, tak usah heran bila disuguhi empat cangkir kopi sekaligus. Katanya, “Ini kopi beda rasa semua ….”

Ngomong-ngomong, beliau ini sangat ahli untuk urusan “fikih jalan raya”.

Salah satu anekdot ancurnya seputar fikih jalan raya (singkat saja jadi FJR) ialah quote ini: “Tuhan memaafkan orang lupa, polisi tidak.” Jika Anda lupa salat Jumat dengan sebenar-benarnya lupa, tidak ada catatan dosa bagi Anda. Duo Rakib-Atid libur menuliskannya, tanda Tuhan memang sebenar-benarnya mahapemaaf. Lain urusan bila Anda bilang lupa bawa SIM kepada polisi yang menyetop Anda. Pilihannya hanya dua: sidang di kota antah-berantah pada tanggal wallahualam atau kena pasal 75.000. Bhaaa ….

Jika dipikir-pikir dengan selo, dan saya memang orangnya selo, ternyata kaidah-kaidah ushul fiqh (ilmu hukum Islam) bisa dipakai untuk membedah berbagai perkara jalan raya. Semacam bahtsul masail (forum diskusi) lalu lintas. Saya nukilkan beberapa saja.

Pertama, kaidah al-muhafazhatu ‘ala qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah (memelihara hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik). Dalam konteks fikih, kaidah ini misal dipraktikkan pada penggunaan peci untuk menjaga jidat tidak tertutup rambut saat sujud. Peci sebagai hal baru (sebut saja bidah) boleh diambil untuk menggantikan peran serban (hal lama).

Di kalangan penggemar moge sport kelas jelata, nama Ninja 250 sangatlah kondang. Tanpa perlu diotak-atik sedikit pun, tarik kencang gasnya, niscaya badan akan tersentak oleh akselerasinya. Tetapi itu hal lama (qadimis shalih).

Sentuhan baru pun bisa diambil, misal mengganti knalpot pabrikan yang terdengar nging-nging-nging kayak tangis ubur-ubur jomblo di malam Minggu dengan knalpot Yoshimura. Bunyinya langsung bler-bler-bler. Pengin lebih gahar? Cobalah Akrapovio. Bleur-bleur-bleur (ketambahan u). Ninja Anda dengan sentuhan demikian bisa tampil ashlah, lebih baik, secara performa dan raungannya. Itu kalau motor.

Dalam perumpamaan rambu-rambu lalu lintas, lampu kuning yang berarti hati-hati dalam pandangan lama adalah siap-siap berhenti/berjalan. Anda mengambil sikap demikian ya jelas shalih. Tapi, jika buru-buru karena diuber debt collector dan hendak mengambil pendapat yang baru, yakni meneruskan laju, itu juga boleh. Risikonya dibentak emak-emak matic yang menyeberang begitu saja di depan Anda.

Jika di malam Minggu Anda galau karena bingung mau memboncengkan siapa, lalu Anda memutuskan melaju saja di jalanan tanpa tujuan agar mirip sama teman kos yang punya pasangan, pandangan lalu lintas lama hanya mewajibkan Anda mengenakan satu helm. Jika mau ashlah, Anda bisa membawa bekal satu helm lagi, siapa tahu di jalanan ketemu gadis yang bisa Anda ajak membonceng. Urusan kewajiban pakai helm menjadi aman seketika kan. Urusan boncengan takkan terbatalkan hanya gara-gara helm kan. Itu aplikasi ashlah di jalan raya buat para jomblo. Melasi ….

Kalaupun gadis itu lalu bertanya, “Kok sudah siap dua helm, Mas?” jawab saja: “Tadi ada helm jatuh dari atas pohon, mungkin punya Midori.”

Kedua, kaidah ma yusytaratu fihit ta’yinu fal khatha’u fihi mubthil (apa yang disyaratkan di dalamnya kekhususan/ketentuan, maka kesalahan dalam pernyataannya menjadikannya batal). Kaidah ini lazimnya berkaitan dengan niat. Inginnya niat mandi junub sehabis bercinta sama losyen, tapi ngucapinnya niat mandi Jumat, otomatis tak sah.

Dalam beberapa hal, memang niat itu perkara batin, tidak harus lafzhiyyah. Tetapi, dalam urusan jalan raya, kaidah di atas berlaku ketat. Salah sedikit atau tak lengkap, bisa jadi masalah.

Tersebutlah seorang tukang becak disetop oleh polisi lalu lintas gara-gara melintasi jalan protokol yang memajang plang becak dicoret. Dengan tenang tukang becak itu bertanya, “Apa salah saya, Pak? Saya buru-buru mau mengantar kambing-kambing ini.”

Polisi pun makin gemes. “Bapak ini gimana, tidak lihat apa itu plang becak dicoret?”

“Lihat.”

“Kok dilanggar?”

“Tenang dulu, Pak,” sahut tukang becak itu, “mari lihat dengan teliti plang itu.”

“Sudah jelas sekali plang itu becak dilarang masuk, Pak!”

“Lha, Bapak tidak teliti. Coba lihat, plang itu bergambar becak dicoret, kan? Tanpa gambar penumpang. Berarti becak berpenumpang ya tidak termasuk yang dilarang, Pak.”

“Bapak ini ngeyelan!” sergah polisi itu. “Kalau plang itu digambari becak berpenumpang orang dicoret dan sekarang Bapak mengangkut kambing, pasti Bapak akan tetap masuk jalan ini, kan?”

“Ya jelas, Pak, begitu kok gambar plangnya, harus jelas, gimana sampean ini?”

Polisinya pengsan seketika, besoknya mengajukan cuti.

Ketiga, kaidah al-dhararu yuzalu walakin la yuzalu al-dhararu bi al-dharar (marabahaya/keburukan hendaknya dihilangkan tetapi tidak boleh menghilangkannya dengan marabahaya/keburukan baru).

Umpamakan Anda termasuk kelompok muslim yang memandang demokrasi sebagai produk Barat yang kafir sekuler. Itu dharar, pekik Anda, harus dilawan, dihilangkan. Monggo saja Anda berjuang dengan pelbagai cara untuk bikin khilafah islamiyah. Tetapi, berdasarkan kaidah ushul fiqh tersebut, dilarang lo menggunakan cara-cara yang memicu marabahaya/keburukan baru. Misal, fentung-fentungin orang. Itu g-e-n-d-e-n-g namanya, Kakak ….

Terapan kaidah tersebut jelas juga bisa berlaku di jalan raya. Contohnya, pada jalan-jalan yang menikung, lazim diberi marka jalan tak putus. Tanda dilarang menyalip demi keamanan dan keselamatan para pengendara. Kalau di sepanjang jalan Mantingan sampai Saradan, marka tak putus itu punya fungsi plus, yakni lahan kutipan polisi lalu lintas sampai-sampai ada beberapa titik jalan lurus yang diberi marka tak putus juga saking rajinnya mereka memikirkan keselamatan para pengendara. Duh, perhatianmu bikin kami haru, Kak ….

Anggap saja pada suatu momen Anda yang sedang buru-buru mau nengok saudara yang sakit keras terjebak dalam parade truk-truk yang geol-geol di jalanan bermarka tak putus itu. Jangan menyalip, sabar, itu bahaya bagi keselamatan dan isi dompet Anda. Pada suatu tanjakan, truk di depan Anda ngeden nggak keruan sampai pada posisi Anda merasa berbahaya. Mau melambat kok riskan karena di belakang juga rapat truk-truk lain.

Demi menghindari ancaman bahaya dari truk di depan, Anda memutuskan menyalip. Nah, apa yang Anda lakukan ini salah menurut aturan lalu lintas. Mau Anda berargumen terancam bahaya di belakang truk, Anda tetap salah! Polisinya akan menyahut, “Al-dhararu yuzal la yuzalu al-dhararu bi al-dharar ….Modyar. Mau alasan terburu-buru, lebih salah lagi, polisinya akan berkata, “Kok tidak berangkat kemarin minggu saja kalau memang terburu?” Modyar neh.

Pertanyaannya kini adalah apa ya pentingnya tulisan ini? Ya nggak ada. Kan tadi sudah saya bilang, ini hanya karena selo. Salah sendiri ngikutin orang selo.

Kecuali sih kalau Anda berkenan sejenak mikir bahwa pelbagai praktik ayat, hadis, dan kaidah hukum itu sangat lentur lunak macam plastisin. Bisa digeret ke mana saja, sesuka-sukanya, sesuai kepentingannya. Dan itulah sebabnya agama jadi iyig banget, gaduh berjilid-jilid bahkan. Plus alumni-alumian segala malah ….

Gitu kok masih dipercaya.

Exit mobile version