MOJOK.CO – Keajaiban “Nina” terletak pada kemampuan Feast mengubah nasihat menjadi reflektif paling magis. Dan akhirnya, bikin saya nangis.
Sungguh, perubahan adalah keniscayaan. Begitu pula yang terjadi dalam lanskap industri musik.
Transformasi artistik menjadi momen paling krusial bagi sebuah musisi atau band. Kemungkinan yang terjadi ada dua. Pertama, bubar karena beda visi. Kedua, mendapatkan kritik pedas dari para penggemar yang sudah terlalu nyaman. Misalnya BMTH dan Linkin Park. Keduanya menjadi bulan-bulanan fans yang tidak bisa menerima peralihan musik.
Tapi, tidak sedikit pula band yang berhasil mengatasi manuver kreativitas musik mereka. Salah satunya Feast dengan album barunya, Membangun dan Menghancurkan. Secara khusus, lagu Nina Feast yang fenomenal.
Transformasi Feast menjadi lebih personal
Baskara, vokalis Feast pernah menyentak penikmat musik Indonesia. Dia bilang kalau lagu “Peradaban” itu jauh lebih keras dari semua musik metal. Kalimat yang paling ngehek adalah lanjutannya, “Geramnya sampai bikin kebas.” Tak ayal kalimat itu ramai-ramai diarak di media sosial.
Ada suatu masa ketika Feast serupa megapon dengan teriakan keras yang membelah kerumunan. Lirik-lirik dalam EP Beberapa Orang Memaafkan seperti selebaran poster demo mahasiswa. Vokal parau dan teriakan Baskara nyaris menggelegar persis “abang-abangan” kampus setelah baca buku-buku kiri.
Tapi begitulah semangat zaman. EP BOM, akronim Beberapa Orang Memaafkan, hadir dari rentetan tragedi pengeboman gereja di Surabaya pada 2018. Bagi saya pribadi yang menikmati karya mereka sejak album Multiverse, merasa paling gagah saat pertama kali mendengar.
Jika menoleh ke belakang, nyata-nyata karya mereka adalah manifesto atau lembaran dokumen kemarahan generasi yang valid. Seakan-akan mencari validitas dengan amarah yang menggebu.
Feast menemukan arti sebuah kemarahan dapat berevolusi menjadi sesuatu yang kompleks. Tahun lalu, mereka berhasil mencapai titik yang lebih personal.
Album Membangun dan Menghancurkan menjadi testamen evolusi yang tidak hanya mengubah pendekatan musikal, tetapi juga meredefinisi apa yang sebenarnya sedang kita risaukan. Alih-alih hidup diselubungi kemarahan terus menerus.
Feast lebih banyak mengorek pengalaman personal. Mengundang pendengarnya berkaca pada diri sendiri tentang semangat zaman yang telah berubah. Mereka menegaskan mereka tetap manusia biasa. Salah satunya lewat lagu Nina Feast.
Album Membangun dan Menghancurkan adalah bentuk paling liar politik dan cinta atas diri sendiri
Feast melahirkan album barunya pada 2024 bertajuk Membangun dan Menghancurkan. Dari namanya saja, kita pasti langsung paham kejengahan mereka untuk marah-marah tiap lagu.
Pertama kali mendengar album ini secara utuh, saya berseloroh di Instastory Instagram saya. “Album ini adalah bentuk paling liar dari cinta dan politik identitas sebagai manusia.” Sudah begitu, saya menambah anotasi kecil seperti ini: “If I can’t dance, I don’t want to be part of your revolution.” Persis perkataan seorang tokoh anarkis, Emma Goldman.
Di tengah dunia yang semua ingin dianggap benar, barang yang paling mahal adalah mengakui kesalahan diri. Menghakimi diri sendiri yang penuh amarah, dan membangun kedewasaan melalui kompleksnya hidup.
Feast tidak meninggalkan jejak amarahnya begitu saja. Mereka tetap ngomongin politik di album paling mutakhir. Namun bukan lagi politik partisan, melainkan politik eksistensial sebagai manusia yang beranjak dewasa dan lebih realistis.
Dalam lagu “Masimarah”, Baskara Putra terdengar cukup muak dengan blundernya di lagu “Peradaban”. Lirik “Benci aku yang dulu / Berisik lantang sok tahu / Mulut si anak baru”. Bukan sekadar lirik, bagi saya ini tamparan yang telak di awal-awal album ini. Dengan unsur musik ala timur tengah, “Masimarah” melenggang menuju tamparan menghakimi jati diri masa muda Feast dan kita semua yang mendengarkan.
Putaran lagu selanjutnya, makin menunjukkan kedewasaan mereka. Mulai dari kegamangan mortalitas orang tua dalam O, Tuan, krisis identitas yang ngepop di lagu Arteri, hingga bentuk cinta paling liar dari seorang bapak dalam lagu Nina Feast.
Dari Kutukan “Sectumsempra” menuju warisan dalam lagu Nina Feast
Lagu Nina Feast, bagi saya, adalah lagu yang jauh lebih magis daripada sihir “Sectumsempra” dari album Multiverse. Feast berevolusi tentang pemahaman lagu yang lebih menyihir dari sekadar mengutip Harry Potter.
Jika “Sectumsempra” adalah manifestasi dari energi penuh penghancuran, lagu Nina Feast adalah bentuk paling sempurna untuk membangun dunia penuh harapan baik.
Nomor yang ditulis Baskara dan Adnan, gitaris, mengambil ruang emosi saya jauh lebih besar dari lagu-lagu lain di album Membangun dan Menghancurkan. Lagu yang diciptakan sebagai warisan untuk putri Adnan beresonansi melampaui narasi personalnya.
Lagu tersebut memberi makna bagi saya yang belum memiliki anak. Saya pernah meneteskan air mata mendengarkan lagu ini. Ingatan saya mengembara menemui adik perempuan saya yang tengah terduduk menyuapi ibu di atas ranjang rumah sakit.
Lagu Nina Feast menjadi metafora soal harapan dan cinta di tengah amarah serta pesimisme hidup. Saat semua berjalan meniti ketidakpastian, “Nina” membawakan semangkuk harapan dan keyakinan masa depan yang bisa kita bentuk dengan diri yang penuh luka.
Lagu Nina Feast menjadi hal paling magis dari brengseknya masa depan yang absurd
Lagu Nina Feast bukan sekadar nilai ekonomis yang mampu dihitung dengan kalkulator. Ia bukan deretan angka dan pundi-pundi kekayaan. “Nina” menembus segala batas dunia yang brengsek.
Saya akan amat kerdil jika hanya menilai “Nina” hanya sebatas nilai rupiah. Keajaiban “Nina” terletak pada kemampuan Feast mengubah nasihat menjadi reflektif paling magis.
Tidak ada cita-cita yang besar. Tidak ada janji untuk mengubah dunia yang gegap gempita. Namun, dari lagu Nina Feast, saya mengambil satu hal sederhana yang jarang kita temui hari ini: sebuah ajakan untuk tetap berharap dan saling mencintai.
Dalam kesatuan album, bagi saya, lagu Nina Feast adalah titik balik dari transformasi ayah dan teman-temannya. Feast tetap mengajak kita untuk menyalurkan emosi. Namun, kali ini, bukan dengan marah dan teriak-teriak ala abang-abangan kampus.
Selalu ada tempat untuk ketulusan dan cinta adalah bentuk paling liar dari bertahan hidup di dunia yang kian brengsek.
Penulis: Deby Hermawan
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Emang Kenapa Kalau Saya Tidak Suka Feast? Selera Saya Rendahan Gitu? Dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.
