Fast and Furious: Semacam Review Religius

Sepertinya, kesuksesan film ini hanya bisa disaingi oleh sinetron Tersanjung: keduanya sama-sama terdiri 7 bagian atau season atau sekuel atau terserah apa sebutannya. Perbedaannya hanya pada jumlah episodenya. Pada Fast and Furious, satu season satu episode, sedangkan Tersanjung, keseluruhannya sampai 360 episode.

Mengapa film itu begitu populer? Sebagai insan beragama yang mendalami ilmu gothakgathuk-entuk atau cocokologi, saya melihat film Fast and Furious sengaja dipopulerkan oleh Tuhan secara misterius sebagai pelajaran simbolik yang ditayangkan Tuhan kepada manusia untuk membaca makna kehidupan pada umumnya, dan kehidupan beragama pada khususnya.

Sejak judulnya saja itu film sudah mencerminkan gaya hidup modern.  Pertama, fast. Kita ini, entah sadar atau tidak, ingin segalanya makin cepat, buru-buru: makan kudu cepat (fast-food, mie instan), kerja harus efektif supaya waktu tak terbuang sia-sia karena time is money, pesan (SMS, BBM, atau segala bentuk komunikasi online) harus segera sampai, dan koneksi Internet juga kudu cepat.

Hasrat akan kecepatan ini melahirkan banyak efek buruk. Salah satunya adalah mengurangi kesabaran untuk mencerna, yang berdampak pada merosotnya daya pikir dan wawasan. Orang membaca berita cuma judulnya, dan kalau dianggap cocok, atau jika judulnya bernada menyerang pihak yang tidak kita sukai, langsung share saja tanpa membaca isinya.

Celakanya, karena media tahu hal ini, mereka kadang bikin judul yang sensasional, bombastis atau bahkan bernada fitnah. Dalam ranah religi, mereka yang dimanjakan teknologi Internet enggan ngaji konvensional yang cenderung relatif lama: maka mereka belajar ke situs-situs agama di Internet, termasuk dengan bertanya kepada “Kyai Google.”

Karena tak sempat lagi berpikir panjang dan mendalam, lantaran dibombardir informasi yang datang dengan cepat silih-berganti, maka keinginan untuk cepat bisa dan masuk surga menciptakan ilusi: dengan membaca situs-situs saja mereka sudah merasa sukses melakukan akselerasi iman. Dengan belajar setahun-dua tahun mereka sudah merasa paling benar pemahamannya, seolah-olah hanya tafsiran mereka sajalah yang sama dan sebangun dengan tafsiran dan pemahaman Nabi dan sudah berhak mendapat kapling surga. Yang tidak sejalan dengan pemahamannya yang instan itu dianggap dianggap sesat dan menyesatkan. Jadilah banyak orang yang “mendadak ustadz.”

Jika keinginan fast sudah menjadi bagian integral dari gaya hidup, dan apabila itu tidak didapatkan, maka timbul muncul gejala kedua, furious. Misalnya, saat koneksi Internet mendadak lambat, timbul jengkel, dan tak jarang diekspresikan via twitter atau facebook dengan memaki atau ngamuk-ngamuk ke operatornya. Atau, saat aktivis pacaran jarak jauh sekali mengirim pesan dan tak segera dibalas maka timbul curiga pasangannya sedang selingkuh. Atau, saat debat panas di twitter dan mendadak salah satu tak segera me-reply, timbul sebal dan langsung menuduh lawannya kabur karena tak bisa menjawab argumen (padahal mungkin dia meninggalkan debat sementara karena kebelet ngising atau koneksinya mendadak bosok).

Ini berbahaya, saudara-saudara. Sebagaimana fast-food yang tidak sehat dan memicu berbagai penyakit degeneratif, fast-faith juga demikian.

Iman yang kesusu menyebabkan distorsi pemahaman, yang pada ujungnya menurunkan level kemuliaan agama menjadi hanya bahan dan alat: bahan untuk debat, pamer, dan sebagai alat untuk menjustifikasi kepentingan yang tidak berkaitan dengan urusan akhirat. Akibatnya agama ditafsirkan sesuai kepentingan. Setiap ada ayat tentang kebaikan, cepat-cepat dinisbahkan ke dirinya atau kelompoknya sendiri, dan setiap ada ayat tentang kutukan dan ancaman atau laknat, langsung dinisbahkan ke kelompok yang tak sepaham atau rival politik. Segala ayat dan dalil menjadi “penthungan” untuk melindungi kepentingan diri dengan menggebuki pihak lain yang dirasa beda dan mengganggu kenyamanan.

Maka teriakan takbir menjadi aba-aba ancaman; yang mendengar akan gemetar, bukan karena takut akan kebesaran Tuhan, melainkan takut digebuki. Jadi kita sekarang menyaksikan merebaknya “fast-faith and furious”: iman yang kesusu dan ngamukan.

Barangkali Tuhan sedang mengajarkan bahwa beragama secara kesusu akan menyebabkan orang cenderung merasa paling benar serta mudah ngamuk. Gampang ngamuk akan menyuburkan nafsu amarah. Lalu agama menjadi alat penghancur dan pemecah belah yang efektif dan efisien untuk merusak berbagai hal. Fitnah bertaburan, dusta dirayakan, kemunafikan dianggap strategi yang sah dan direstui oleh Tuhan.

Saya jadi berpikir lagi saat hendak tidur dengan istri di kamar: hal-hal yang kesusu bukankah tidak enak? Bayangkan, misalnya, seandainya gaya fast and furious ini masuk ke ranjang pengantin. Apa enaknya kelon dengan kesusu?

Lalu berdasarkan ilmu cocokologi, saya merumuskan tesis: barangkali kita perlu belajar lagi kesabaran dalam belajar agama dengan mengingat kesabaran suami-istri saat bersenggama–menikmati setiap prosesnya dengan pelan, dimulai dari bersih-bersih badan, gosok gigi, pake parfum, kasih kode-kode mesum atau kedip-kedip cabul, lalu foreplay, menghayati desahan dan sentuhan, dan tidak buru-buru orgasme. Jadi, kesabaran dalam berproses “menjadi” religius amatlah diperlukan. Ini teori saya.

Tetapi sebagaimana teori pada umumnya, ada kelemahan dalam teori “metode belajar kesabaran berbasis teknik bersetubuh yang halal,” yang belum saya pikirkan solusinya. Metode ini tentu agak sulit diajarkan kepada para jomblo. Padahal merekalah generasi muda yang seharusnya lebih banyak belajar sabar dalam mendalami agama dan kehidupan.

Saya khawatir, jika terlalu banyak populasi jomblo awet, mereka akan keburu keracunan virus gaya hidup fast and furious sehingga menambah panjang daftar keruwetan dalam hidup. Walhasil, timbul pertanyaan lagi: apakah perlu kita menggagas cara untuk membantu jomblo mengambil jodohnya dari tangan Tuhan agar bisa belajar melalui kelon, sehingga generasi selanjutnya tidak terjebak dalam gaya hidup dan gaya religi yang kesusu dan ngamukan?

Saya sebenarnya ingin membahas lagi, tetapi saya ingat, saya belum kelon malam ini, dan supaya tidak dianggap jarkoni (iso ngajar ora iso nglakoni), saya harus mendahulukan pengamalan kelon dengan sabar. Saya pamit dulu.

Exit mobile version