Erick Thohir, Kementerian BUMN Bubarin Aja, Jokowi Pasti Ngertiin Kamu

Ketimbang Kementerian BUMN jadi "bancakan", lebih baik bubarin aja, Mas Erick Thohir.

Erick Thohir, Kementerian BUMN Bubarin Aja, Jokowi Pasti Ngertiin Kamu MOJOK.CO

Erick Thohir, Kementerian BUMN Bubarin Aja, Jokowi Pasti Ngertiin Kamu MOJOK.CO

MOJOK.CO – Jika Jokowi dan Erick Thohir ingin mereformasi BUMN, sebaiknya, Kementerian BUMN dieliminasi saja alias dibubarin.

Beberapa waktu lalu, di hadapan para direksi BUMN, Jokowi mengeluhkan tendensi perilaku BUMN. Badan Usaha Milik Negara ini kurang berhasil dalam melakukan adaptasi bisnis di satu sisi dan sering kali berharap mendapatkan suntikan modal dari pemerintah untuk keberlanjutan bisnisnya di sisi lain.

Keluhan Jokowi tersebut justru disampaikan beberapa hari setelah pemerintah mengeluarkan peraturan baru yang memberi jaminan suntikan modal negara kepada gabungan BUMN. Mereka adalah penyelenggara kerja sama investasi kereta cepat Jakarta-Bandung dengan beberapa BUMN Cina.

Boleh jadi, keluhan Jokowi bukan saja kepada inefisiensi dan “gagal adaptasi bisnis” yang dialami oleh banyak BUMN secara umum, tapi juga langsung mengarah kepada keputusan pemerintah untuk menjamin ketersediaan modal pada proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Langkah tersebut sebenarnya kurang disukai Jokowi.

Dan karena satu dan lain hal, sebagaimana dugaan saya, Jokowi akhirnya tak kuasa menolak permintaan jaminan ketersediaan tambahan modal dari negara tersebut. Satu dan lain hal yang saya maksud, boleh jadi beberapa di antaranya adalah karena lemahnya daya tawar pemerintah atau karena sangat kuat dan banyaknya kepentingan yang termaktub di dalamnya, yang (lagi-lagi) boleh jadi berkemampuan menggoyang eksistensi pemerintahan Jokowi jika tidak diikuti.

Mungkin, bisa jadi ada kepentingan jejaring oligarki yang berkolaborasi dengan petinggi BUMN. Bisa juga karena tekanan geopolitik yang berpadu dengan kepentinngan para oligarki di dalam bisnis kolaborasi beberapa BUMN tersebut. Faktor lain? Hanya Tuhan dan Lord Jokowi yang mengetahuinya, sebagaimana juga Tuhan mengetahui yang sebenarnya terjadi di dalam Perusahaan Penerbangan Nasional sekelas Garuda Indonesia.

Perusahaan yang menguasai pasar premium dan selalu jadi mitra strategis perjalanan dinas para pejabat, mulai dari daerah sampai pusat, justru terkapar dililit utang yang menggurita. Yenny Wahid, beberapa waktu lalu, sempat memberikan sinyal. Katanya, terlalu besar kepentingan yang berlindung di balik bisnis Garuda. Situasi yang bikin perusahaan penerbangan tersebut gagal bertransformasi, tanpa berani mengatakan kepentingan siapa atau kelompok mana.

Mas Erick Thohir, Kementerian BUMN sebatas outsourching kader partai

Pemerintahan Indonesia pascaOrde Baru, sebagaimana ditulis Jefrey Winter, memang mengalami transisi model oligarki dari sultanic oligarch yang berhasil dijinakan Soeharto ke model ruling oligarch yang berkeliaran sesuka hati di dalam sistem ekonomi politik nasional. Udah kayak preman pasar berkeliaran di pasar.

Transisi tersebut sebenarnya sangat membahayakan proses demokratisasi di Indonesia. Alasannya, sebagaimana ditulis Jefrey Winter, justru menceburkan Indonesia ke dalam criminal democracy, alias bukan transisi menuju demokrasi sebagaimana yang dipahami di negara-negara demokrasi liberal-elektoral di barat.

Jefrey Winter menuliskan pandangannya di dalam buku Oligarch yang terbit di tahun 2011. Patokannya adalah perkembangan ekonomi politik Indonesia dari Soeharto, Gusdur, Habibie, Megawati, dan SBY.

Namun, pada 2018, ketika menerbitkan buku Asian Century on the Knife Edge, John West justru melihat perkembangan oligarki di Indonesia semakin menjadi-jadi. Kini, kata John West, demokrasi Indonesia hanya tersisa sebagai “demokrasi dari beberapa, untuk beberapa, dan oleh beberapa, bukan dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat, sebagaimana adigium demokrasi pada umumnya.

Visi reformasi via holdingisasi BUMN ala Jokowi terjebak di dalam konstelasi ekonomi politik yang demikian. Jalan satu-satunya bagi Jokowi untuk memulai reformasi BUMN adalah memutus rantai penghubung kepentingan oligarki ke dunia BUMN.

Dengan kata lain, langkah reformasi BUMN di Indonesia akan sangat sulit terjadi selama BUMN-BUMN berada di bawah Kementerian BUMN, meskipun strategi holdongisasi diterapkan dengan teknik-teknik managemen supermodern sekalipun. Kementerian BUMN adalah perkara utama yang akan menjegal semua upaya reformasi BUMN hari ini dan ke depan, karena menjadi proksi politik bagi siapa pun atau koalisi politik mana pun yang berkuasa. Hanya di Indonesia, BUMN-BUMN disubodinasikan di bawah sebuah Kementerian BUMN, yang notabene kental dengan preferensi dan tendensi politik.

Sebut saja Erick Thohir, menteri BUMN hari ini, atau Rini Soemarsono, menteri BUMN pendahulunya. Meski bukan politisi aktif, tapi keduanya sama-sama bermain dan menebar pengaruh di dalam ranah politik nasional. Laju reformasi BUMN menjadi bergantung kepada kepentingan-kepentingan politik yang lebih besar, yang acapkali tidak sesuai dengan platform reformasi BUMN versi pemerintah.

Terbukti pada akhirnya, Kementerian BUMN hanya menjadi institusi outsourching bagi kader partai atau sukarelawan politik untuk duduk di jajaran komisaris, bahkan direksi BUMN-BUMN. Tak sedikit di antaranya justru tak berkaitan dengan bidang yang diemban oleh BUMN dan kurang sinkron dengan platform reformasi BUMN yang diinginkan istana.

Bahkan negara dengan puluhan ribu BUMN, seperti Cina, tidak membuatkan pos Kementerian BUMN untuk mereformasi perusahaan-perusahaan negaranya. Di bawah semangat reformis Zhu Rongji, tahun 2003, perusahaan-perusahaan negara (bidang industri, perdagangan, konstruksi, telekomunikasi, transportasi, selain perbankan) yang tidak diprivatisasi penuh dan yang tidak dilikuidasi, disatukan di bawah sebuah otoritas non politis, the State-Owned Assets Supervision and Administration Commission (SASAC, yang sekarang berbagi peran dengan CIC).

Jadi secara institusional, pemilik saham perusahaan-perusahaan negara di Cina adalah SASAC. Badan ini menjadi perwakilan Kementerian Keuangan China (MOF) dan membawahi BUMN-BUMN Cina yang telah ter-holdingisasi, atau Wholly State-owned Limited Liability Company (WSOLLC).

Dan khusus untuk Cina pula, perusahaan negara berkategori perbankan berada di bawah otoritas lainya, yakni Central Huijin Investment. Badan ini berada di bawah koordinasi Kementerian Keuangan dan People Bank of China (PBOC). Memang, SASAC yang serupa dengan Khazana di Malaysia, berkiblat kepada strukturisasi BUMN ala Singapura, berkat kesuksean Temasek selama ini, yang langsung berkoordinasi dan menerima instruksi dari kementerian keuangan Singapura.

Baik SASAC, maupun Huijin, memang sangat dipengaruhi oleh partai dan pemerintah. Tentu mengingat sistem politik Cina yang berbeda dengan Singapura atau Indonesia. Tapi, upaya Cina mengonsolidasikan kepemilikan saham negara di dalam perusahaan-perusahaan negara adalah upaya yang jauh lebih baik ketimbang Indonesia yang langsung menyajikan BUMN di hadapan kepentingan politik partai-partai dan sukarelawan-sukarelawan penguasa via Kementerian BUMN.

Contoh lain, misalnya, Prancis. Negara Napoleon Bonaparte tersebut juga memilih langkah yang mirip dengan Singapura dan Cina. Prancis mendirikan Government Shareholding Agency (Agence de participation de l’´Etat atau APE) untuk mengurus saham negara di dalam perusahaan-perusahaan berkategori BUMN atau perusahaan yang sebagian kecil sahamnya dimiliki oleh pemerintahan Perancis.

Pendirian APE, sebagaimana Temasek, adalah sebagai pembatas yang membedakan antara pemerintah sebagai regulator, pemerintah sebagai pemegang saham, dan BUMN sebagai pelaku usaha. APE langsung terasosiasi dengan Kementerian Ekonomi (Ministry of Economy) Prancis.

Jepang, setelah gelombang privatisasi tahun 1980 dan awal tahun 2000an, memosisikan BUMN-BUMN langsung di bawah Kementerian Keuangan. Mereka membentuk satu institusi bernama Fiscal Investment and Loan Program (FILP). Institusi ini yang akan menerima keuntungan usaha BUMN Jepang atau sebaliknya, menambahkan modal untuk BUMN.

Sementara di Norwagia, BUMN-BUMN terkait secara sektoral dengan kementerian yang ada. Misalnya Telenor terkait dengan Kementerian Komunikasi atau perusahaan negara minyak dan gas terkait dengan Kementerian Petrolium. Namun, semuanya di bawah lembaga audit tersendiri yang mensubmisikan hasil auditnya kepada kementerian sekaligus ke parlemen Norwegia, yakni The Office of the Auditor General of Norway

Hanya Brasil yang sedikit memiliki kesamaan dengan Indonesia. Pada 1979, Brasil mendirikan the Secretariat of Control of State-Owned Enterprises (Secretaria de Controle de Empresas Estatais atau SEST), tapi bukan berbentuk lembaga kementerian murni.

Pada 1999, SEST berubah menjadi Department of Coordination and Control of State-Owned Enterprises (Departamento de Coordenacaoe Controle das Empresas Estatais (DEST). Pada 2007, Brasil mendirikan the Interministerial Commission of Corporate Governance and Administration of the Federal Government’s Shareholdings (Comissao Comissao Interministerial de Governanca Corporativae de Administracao de Participacoes Societarias da Uniao (CGPAR) untuk mengoordinasikan implementasi GCG di dalam BUMN Brasil.

Sayangnya, Brasil tak berhasil mereformasi BUMN-nya, layaknya Indonesia. Alasannya, pertama dan utama, sebelum melakukan reformasi BUMN, adalah memisahkan antara pemerintah sebagai regulator, pemerintah sebagai pemegang saham, dengan BUMN sebagai pelaku usaha melalui sebuah lembaga perantara yang biasanya berada di bawah Kementerian Keuangan atau Kementerian Ekonomi.

Bubarin Kementerian BUMN

Saat ini, pemerintah sebagai pemegang saham dan sebagai regulator berada di bawah satu institusi yang langsung mensubordinasi BUMN. Sementara itu, di dalam pemerintahan sendiri terdapat bejibun kepentingan ekonomi politik yang bisa langsung lompat pagar menuju halaman BUMN via Kementerian BUMN.

Jadi, jika Jokowi dan Erick Thohir memang ingin mereformasi BUMN, Erick Thohir harus berani mengusulkan kepada istana agar Kementerian BUMN dieliminasi. Setelah itu, siapkan sebuah otoritas khusus yang akan berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan sebagai otoritas non-politis yang mewakili negara dalam kepemilikan saham-saham BUMN.

Erick Thohir tinggal bilang pada Jokowi begini:

“Mas Jokowi, saya ya capek jadi Kementerian BUMN, jadi sasaran titipan komisaris melulu. Bagaimana kalau kita ikuti negara lain saja. Kita jadikan Kementerian BUMN sebagai otoritas yang lebih profesional yang mewakili kepemilikan negara di dalam BUMN seperti Temasek di Singapura atau SASAC di China, yang urusanya langsung kepada Kementerian Keuangan yang cukup jauh dari dunia politik. Dengan begitu, saya bisa fokus ngurusin perbolaan nasional, menyiapkan agar beberapa klub bisa segera go public atau IPO di Bursa Efek. Pinter toh ide saya!”

Insyaallah Mas Jokowi akan mengerti.

BACA JUGA Apakah Garuda Indonesia Bisa Diselamatkan? Bisa Terbang Nyaman Saja Sudah Bagus dan ulasan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version