MOJOK.CO – Munculnya dua jenis mudik bagi orang Madura ini bisa jadi karena perbedaan tipe pekerjaan atau model mata pencaharian di tanah rantau.
Ada dua jenis mudik yang dikenal oleh orang Madura.
Oh bukan, ini bukan dua jenis arus perjalanan pulang seperti pernah diributkan oleh publik, karena disampaikan dengan penjelasan yang kurang tuntas oleh Presiden Jokowi, yakni “pulang kampung” dan “mudik.” Ini benar-benar “mudik” dalam kategori Jokowian itu, yakni orang yang sedang merantau di tempat lain, dan pulang selama beberapa waktu untuk berhari-raya. Yang seperti ini ada dua jenis di Madura, yakni mudik saat Iedul Fitri dan mudik saat Iedul Adha.
Sebelum kita bahas dua jenis mudik itu, mari diskusikan sekilas tentang karakter masyarakat Madura.
Ada tiga kelompok umum orang Madura: (1) orang yang tinggal di Pulau Madura (2) orang yang tinggal di kepulauan terutama di timur Pulau Madura, dan (3) orang Madura yang tinggal di kawasan timur-utara Pulau Jawa, yakni Probolingggo dan Situbondo, juga agak ke tengah seperti Bondowoso, Jember dan Lumajang.
Mari kita bahas dari yang paling belakang.
Orang Madura kategori ketiga kerap disebut Madura pendalungan, yakni masyarakat Madura yang telah menyerap dua kultur dan bahasa, tapi cenderung tetap menjaga kemurnian genealogis.
Penting dicatat bahwa pendalungan beda dari peranakan. Madura peranakan cuma punya jejak genetis saja sebagai Madura, tapi kultur dan bahasanya sudah bukan. Isyana Saraswati itu contoh Madura peranakan. Anang Hermansyah itu Madura pendalungan. Orang Madura pendalungan kerap secara bercanda menyebut dirinya “Madura swasta.”
Orang Madura kategori kedua menghuni kawasan kepulauan yang sangat luas di sisi timur Madura, mulai dari pulau dekat seperti Gili Iyang yang terkenal karena oksigennya, atau yang jauh seperti Kangean (dekat Bali) dan Masalembu (dekat Kalimantan).
Sebagian dari mereka adalah keturunan suku Wajo dari Sulawesi, yang sudah ratusan tahun berasimilasi dengan kultur Madura. Bahasa Madura kepulauan agak sedikit berbeda dibandingkan bahasa Madura mainland dan pendalungan.
Di kategori pertama adalah orang Madura yang menghuni Pulau Madura, yang merupakan area inti kultur dan bahasa Madura. Di pulau ini, ada setidaknya dua sub-kultur dan dialek bahasa, yakni Madura barat (Bangkalan dan Sampang) serta Madura timur (Pamekasan dan Sumenep). Bahkan dalam setiap sub-kultur itu masih ada nuansa-nuansa lingua-kultural yang berbeda.
Terkait dengan mudik lebaran, saya akan mengatakan ini dengan sangat hati-hati: secara umum, ada kecenderungan bahwa sebagian orang Madura timur mudik saat Iedul Fitri, sementara sebagian orang Madura barat mudik saat Idul Adha.
Banyak orang luar yang mengira, dan sering bertanya pada saya, bahwa semua orang Madura mudik saat Idul Adha. Hal itu tidak benar. Bahkan soal barat dan timur di kalimat pertama paragraf ini pun harus disampaikan dengan disclaimer, bahwa itu cuma kecenderungan geografis. Tapi dapat dikatakan bahwa memang orang Madura tak serentak mudik di salah satu hari raya saja.
Seingat saya ketika masih tinggal di Madura, Iedul Fitri (yang dalam bahasa Madura disebut sebagai tellasan) terasa jauh lebih ramai dengan kehadiran pemudik, dibandingkan dengan Iedul Adha (yang dalam bahasa Madura disebut sebagai tellasan ajji, lebaran haji).
Tapi dari mendengar cara orang luar Madura melihatnya, ketidakhadiran orang Madura di daerah perantauan lebih terasa saat Iedul Adha. Itulah yang menyebabkan banyak orang mengira bahwa semua orang Madura mudik saat lebaran haji.
Saya duga, kategori yang lebih masuk akal untuk mengelompokkan pemudik lebaran dan pemudik lebaran haji adalah berdasarkan pekerjaan dan mata pencaharian. Untuk mudahnya, orang Madura di perantauan dapat kita bagi ke dalam dua kelompok pekerjaan: sektor formal dan sektor non-formal.
Di sektor formal ada orang-orang Madura yang bekerja di perantauan sebagai PNS, pegawai swasta, anggota TNI/Polri, dosen, guru dan semacamnya. Mereka memperoleh gaji tetap dan terikat pada jam serta hari kerja.
Di sektor non-formal, ada orang-orang Madura yang bekerja di perantauan sebagai usahawan di berbagai skala, seperti pedagang makanan (sate, soto, bubur kacang ijo, dan semacamnya) atau, yang oleh orang luar banyak diasosiasikan sebagai pekerjaan khas orang Madura, pedagang besi tua.
Yang saya sebut terakhir ini adalah bisnis yang sangat lukratif. Banyak orang Madura yang menjadi miliuner dengan melakukan bisnis itu.
Mereka yang bekerja di sektor formal sangat terikat pada hari libur dan cuti bersama untuk mudik. Karena itu, mereka hanya bisa mudik saat Iedul Fitri, itupun dengan waktu yang terbatas.
Urusan mudik ini, saya mengalami belenggu sejak lulus kuliah dan mulai bekerja sebagai dosen. Saya hanya bisa mudik dua-tiga hari menjelang lebaran, dan kembali ke Jogja dua-tiga hari setelahnya.
Padahal, ada momen penting seminggu setelah lebaran, yakni tellasan topa’ atau lebaran ketupat. Lebaran biasanya diisi dengan acara salat ied, lalu silaturahmi ke kerabat dekat selama dua-tiga hari, kemudian secara sosial orang menyepi kembali untuk puasa Syawal.
Baru di hari kedelapan Syawal, tepat seminggu setelah lebaran, ada keramaian sosial yang sesungguhnya. Orang memasak ketupat, mengadakan keramaian di pantai, dan semacamnya. Ini tak lagi bisa dinikmati oleh orang-orang yang terikat oleh jadwal masuk kerja dan harus segera kembali ke perantauan.
Mereka yang bekerja di sektor non-formal tak terikat pada hari kerja, sehingga bisa memilih untuk mudik saat lebaran atau lebaran haji. Jika kalangan ini lebih memilih mudik saat lebaran haji, boleh jadi ada dua alasan yang menyebabkannya.
Pertama, bisnis mereka di perantauan justru booming saat Iedul Fitri, sehingga tak bijak secara ekonomi untuk mudik saat itu. Bayangkan, mungkin warung sate justru dicari orang saat lebaran.
Kedua, setelah lebaran haji ada orang-tua, saudara atau kerabat yang pulang dari tanah suci. Ini momen penting bagi orang Madura. Jadi mereka yang bekerja di sektor non-formal bisa sekalian tinggal agak lama di kampung halaman, berlebaran haji sekaligus menunggu yang akan pulang dari Mekkah.
Bagi orang non-Madura, mungkin yang terasa adalah: orang-orang Madura yang berdagang makanan di sekitar mereka lama tak kelihatan saat Iedul Adha. Karena itulah mereka mengira bahwa semua orang Madura mudik di lebaran haji.
Memang ada kecenderungan bahwa sektor non-formal banyak diisi oleh orang Madura barat, sementara orang Madura timur lebih banyak berada di sektor formal. Itu sebabnya ada kesan bahwa orang Madura barat mudik saat lebaran haji, dan orang Madura timur mudik saat lebaran Syawal.
Tapi gara-gara pandemi Covid-19, saya yakin akan kian banyak orang Madura yang mudik saat lebaran haji, bukan lebaran Syawal. Dan saya termasuk di antaranya.
BACA JUGA Madura Swasta vs Madura Ori atau tulisan soal MADURA lainnya.