Dikira Menulis Puisi Nggak Pakai Makan Nasi?

Orang-orang tidak melihat proses panjang belajar si penulis. Ada yang lima tahun menulis, 10 tahun belajar, 30 tahun berkarya.

Dikira Menulis Puisi Nggak Pakai Makan Nasi? MOJOK.CO

Ilustrasi penyair. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.CORoyalti penyair itu sangat terbatas. Mereka belum tentu bisa hidup sepenuhnya dari menulis puisi.

Saya sempat menulis tentang bagaimana semestinya kita menghargai penulis. Seorang penulis copy iklan atau caption media sosial, bisa mengerjakan tugas hanya dalam hitungan menit. Ini tentu bukan karena pekerjaan itu mudah, tapi karena sebagai penulis, dia telah melalui proses belajar yang panjang. Seperti bertemu editor galak yang mengajari soal ejaan, menghafal kata dan artinya, logika kalimat, dan struktur kata yang membuat orang terpukau.

Beberapa orang akan melihat durasi pengerjaan sebagai tolok ukur kemudahan. Makin cepat makin mudah. Mereka tidak tahu, seorang penulis yang bisa membuat kalimat dalam rentang waktu 15 sampai 30 menit, harus melalui proses berpikir, memahami audiens, menerjemahkan brief, hingga kemudian melahirkan caption yang ciamik.

Orang-orang mungkin tidak melihat proses panjang belajar si penulis. Ada yang sudah lima tahun menulis, 10 tahun belajar, 30 tahun berkarya. Tidak instan, keras, dan mungkin membikin frustrasi. Untuk bisa menulis, orang itu harus banyak membaca, banyak membeli buku, mungkin juga berlangganan situs berbayar untuk meningkatkan kualitas dan itu tidak murah.

Sebagai penulis, saya cukup percaya diri untuk menulis esai. Sebuah esai mestinya lahir dari pengamatan yang serius, menguji sumber, dan ditulis dengan sikap keberpihakan yang jelas. Esai harus benar, ia tak perlu masuk akal.

Lho kok bisa? Bisa dong. Buat saya, seorang pemimpin yang berkomitmen pada Hak Asasi Manusia mustahil merekrut pelanggar HAM untuk jadi menteri, tapi ya ada tuh yang demikian. Ini mengapa bagi saya, menulis puisi adalah pekerjaan yang sulit. Seorang penyair mesti bekerja dengan metafor, pilihan diksi, dan seperangkat muslihat kata untuk membuatnya indah atau punya nilai.

Saya sangat bisa salah. Mungkin puisi yang baik adalah puisi yang bicara soal tulang belikat tukang becak yang kelaparan. Mungkin puisi yang baik adalah yang bicara soal angin, rintik hujan, atau minum kopi jelang senja. Sangat mungkin juga puisi adalah tentang anak Jaksel, yang literaly trying so hard buat nggak burn out di tengah coffee shop sembari teriak anti kapitalisma dari kartu kredit bapaknya yang pengusaha batu bara. Siapa tahu?

Saya setuju kok jika keterampilan menulis itu barang mahal. Puisi punya marwah istimewa, karena ia menerjemahkan kata-kata untuk tak hanya sekadar dibaca, tapi juga diresapi, dimaknai serius, dan jika kita cukup mujur, bisa menjadi semangat zaman. Ini mengapa, penyair punya tempat terhormat di hati saya, tentu ini dengan pengecualian kanda Taufiq Ismail.

Bagi banyak orang, menulis puisi adalah pekerjaan penuh. Mereka yang berusaha mencari padan kata untuk menerjemahkan perasaan, peristiwa, atau perubahan suasana. Penyair yang menulis puisi semestinya dibayar dengan layak. Mereka yang dengan rela mengambil pekerjaan untuk merawat kata-kata dan membuat pembacanya bisa mengambil jeda, lalu berteriak, “Oalah jancok,” atau “Ya juga ya.”

Penyair yang baik butuh banyak membaca, butuh banyak menulis, butuh banyak menghafal kata, butuh banyak menonton/mencari inspirasi, hal-hal yang bisa dilakukan dengan baik jika tak sibuk cari uang. Tapi tentu sampai hari ini, seperti juga profesi buruh migran dan guru, penyair dilekatkan dengan label gawat yang suci.

Penyair harus bekerja untuk sastra, jangan ngarep honor, apalagi ingin dibayar layak. Ini kan berak. Penyair juga butuh makan. Butuh baca buku supaya puisinya jitu, butuh nonton film agar puisinya kalem, butuh dengar musik agar puisinya asik, dan jika perlu penyair butuh liburan agar puisinya membawa kegembiraan.

Saya dulu pernah menulis jika harga buku di Indonesia sangat mahal, untuk menonton film juga bukan hal yang murah. Jika kamu bukan orang kaya, baca buku adalah kemewahan yang tak bisa dipenuhi. Banyak kasus di mana penyair itu hidup dalam kemiskinan meski sudah menulis puluhan buku.

Royalti penyair ini sangat terbatas. Mereka belum tentu bisa hidup sepenuhnya dari menulis puisi. Puisi adalah genre sastra yang susah laku, kecuali tentu saja jika puisimu dibacakan Nicholas Saputra. Ada penyair yang harus bekerja serabutan, yang tak ada kaitan dengan kerja menulis supaya bisa makan.

Nasibnya akan lebih blangsak dan lebih ancur jika buku puisinya dibajak atau karyanya diplagiat. Jadi kalau ada temanmu yang jadi penyair, beli karyanya. Paling dari penerbit, dia cuma dapat Rp6.000 per buku. Jangan minta gratisan! Apalagi berharap dia menuliskan puisi secara gratis.

Tentu kita berharap penyair tidak hanya menulis puisi atau malah menghamba pada bandar puisi esai. Kita berharap para penyair ini bisa menulis sajak yang bermutu, yang baik, yang mengetuk perasaan, dan bisa dinikmati siapa saja. Untuk bisa mencapai ini, mereka butuh lebih banyak membaca karya berkualitas, butuh lebih banyak latihan menulis, dan butuh lebih sering melakukan kurasi atau mengedit kata dan kalimat.

Jadi, jika ada temanmu yang berprofesi sebagai penulis, entah copywriter atau melabeli diri penyair/sastrawan, hargai dia sebagai manusia yang berproses panjang. Jika dia menulis puisi dan berharap mendapatkan upah dari kerja-kerja kepenyairan yang dia lakukan, bayarlah kerjanya itu. Semoga kelak, penyair bisa dibayar sama mahalnya seperti buzzer, tapi tentu dengan martabat pekerjaan yang lebih baik.

BACA JUGA Kenapa Penyair itu Kere? dan artikel menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Arman Dhani

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version