MOJOK.CO – Peringkat mutu pendidikan Indonesia memang ambyar. Bidang “Matematika” dan “Membaca” di peringkat 72 (dari 78 negara), “Sains” di peringkat 70.
Mas Agassi (bukan nama sebenarnya) baru pulang dari Jepang. Dia terkesan dengan pendidikan di Jepang karena tiap sekolah mengajarkan mitigasi bencana kepada anak didiknya.
“Gempa cukup sering, tapi korbannya relatif sedikit karena dilatih tanggap bencana di sekolah. Harusnya sekolah kita juga begitu,” ujarnya.
Mbak Mulan, setelah sebulan tinggal di Finlandia berujar, “Anak-anak sekolah di Finlandia tidak mendapat PR yang memberatkan. Semua materi diselesaikan di sekolah tidak ada yang dibawa pulang.”
Lain lagi dengan Mas Agus yang tinggal lama di Singapura. Katanya anak-anak di Singapura mendapat porsi pelajaran lebih dalam matematika, membaca, dan sains. Karena itu peringkat pendidikannya termasuk terbaik versi ranking Progamme For International Student Assessment (PISA).
Kelompok masyarakat yang pernah merasakan pergaulan global itu pun menuntut agar pendidikan di Indonesia direvolusi. Biar biasa bersaing dengan negara-negara tersebut.
Baik, kita bahas hal di atas dari kacamata guru di Indonesia. Ya maksud saya kacamata saya sendiri sih. Persoalan ada yang terwakilkan atau tidak, kita lihat nanti.
Kita mulai dari mengulik soal PISA.
Saat ini PISA bisa dibilang sebagai studi empirikal terluas di dunia dalam hal pendidikan dan sekolah.
Program ini diselenggarakan oleh Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD) sejak tahun 2000. Lalu diselenggarakan setiap 3 tahun sekali bagi anak usia 15 tahun. Indonesia sendiri sudah ikut selama 7 putaran.
Untuk diketahui, tahun 2018 alias putaran ketujuh adalah asesmen yang paling masif karena melibatkan 600.000 murid dari 79 negara.
Menurut keterangan yang saya himpun, pemilihan sampel sudah proporsional atau kalau dalam istilah survei disebut dengan stratified sampling. Secara rinci, setiap negara terwakili oleh 160 sekolah. Dari masing-masing sekolah dipilih 42 murid secara acak.
Jika digoogling, peringkat PISA kita (yang bisa terlacak baru pada tahun 2018) memang buruk. Dalam bidang “Matematika” di peringkat 72 dari 78 negara, dalam bidang “Membaca” di peringkat 72, dan dalam bidang Sains di peringkat 70.
Ranking PISA buruk apakah berarti kualitas pendidikan kita juga buruk? Ups, nanti dulu.
Pertama kita perlu membuka diri pada kritik atas PISA. Salah satu kritik justru muncul dari murid itu sendiri, yaitu mereka yang tergabung dalam Organising Bureu of European School Students Union (OBESSU), semacam Persatuan Pelajar di Eropa yang berpusat di Brussel, Belgia.
Kritik mereka cukup banyak, mulai dari kerancuan penerjemahan soal, sampel yang tidak representatif, hingga bias kelas sekolah.
Namun menurut saya yang paling tajam dan menukik adalah bagaimana PISA mempengaruhi banyak negara dalam menentukan kebijakan yang pragmatis. Kebijakan dengan tujuan jangka pendek hanya untuk memanjat ranking PISA. Padahal menurut para ahli, perbaikan arah pendidikan nasional perlu waktu lama.
Nah, Indonesia termasuk dalam muatan kritik terakhir itu. Mas Menteri Nadiem sudah memutuskan meniadakan Ujian Nasional dan menggantikannya dengan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM). Tujuannya tiada lain adalah memperbaiki skor PISA.
Malahan kita mengadakan AKM di setiap jenjang pendidikan: Kelas 5 SD, Kelas 8 SMP, dan Kelas 11 SMA. Tidak hanya bagi anak usia 15 tahun seperti dalam PISA yang sesungguhnya.
Padahal sebetulnya kita tidak perlu risau pada ranking PISA apalagi takluk padanya. Mengapa?
Perlu diingat bahwa penyelenggara PISA adalah OECD, institusi yang bergerak di bidang kerja sama ekonomi dan pembangunan. Sudah barang tentu produk yang mereka ciptakan adalah untuk menjawab dua bidang itu. Atau bisa kita singkat: pasar bebar dan globalisasi.
Mereka hendak memetakan (untuk selanjutnya menciptakan) generasi yang efisien dan berfaedah dalam ekonomi. Karena itu yang diukur adalah Matemaika, Membaca, dan Sains. Kita tidak melihat aspek Seni, Sejarah, Ilmu Sosial, Etika, atau (maaf klise) agama.
Yaps, karena aspek ini dianggap tidak menjawab kebutuhan ekonomi versi OECD.
Skill anak dalam (misalnya) budidaya cupang, angon bebek, olah vokal, robotika, menjadi Youtuber, public speaking, make up, olahraga, melukis, musik, penguasaaan bahasa asing; atau tradisi semacam menghafal Al-Quran, sama sekali tidak bisa direkam oleh PISA.
Padahal anak adalah individu hidup dengan keistemewaan masing-masing. Kerancuan terbesar PISA adalah menyeragamkan apa yang disebut sebagai skill global, yaitu tiga hal tadi: Matematika, Membaca, dan Sains.
Sekolah-sekolah kita lebih menganut pada teori kecerdasan majemuk (multiple intelligences) milik Howard Gardner.
Artinya tiga aspek yang diuji PISA tadi hanyalah dua dari delapan kecerdasan yang potensial dimiliki anak. PISA hanya mengukur word smart (kecerdasan linguistik) dan logical smart (kecerdasan logika) saja.
Padahal seorang individu masih mungkin memiliki skill lain, yaitu: nature smart, picture smart, body smart, music smart, people smart, hingga self smart.
Kasarnya, seorang dengan nature smart amat mungkin jeblok dalam sains tapi pandai budidaya Janda Bolong. Seorang individu mungkin saja tidak pandai matematika tapi punya people smart sebagai calon petinggi ormas. Sekolah kita dengan segala keterbatasannya punya begitu banyak jalan untuk akomodir ragam potensi itu.
Nah, mas-mas atau mbak-mbak yang mendorong agar pendidikan kita harus seperti negara ini dan negara itu; saya duga karena yang terbayang di benaknya masih model pendidikan zaman dia kecil yang banyak keterbatasan; lalu sedikit mencicipi keunggulan pendidikan negara lain.
Sebab lain mungkin tidak mengikuti dinamika pendidikan nasional, struktur kurikulum, atau model pembelajaran terkini.
Sekolah-sekolah kita malah punya banyak kearifan lokal. Kelurahan ulang tahun, anak-anak TK bisa bantu ikut kirab budaya. Sekolah sebelah kekurangan murid, dibantu oleh sekolah lain. Sekolah lain sedang lomba sekolah sehat, murid sekolah lain menyumbang tanaman obat. Murid yang tidak mampu ditopang oleh orang tua asuh.
Anak SMA sudah bisa organize konser musik dengan band ternama. Anak SMK sudah piawai demo. Anak pesantren sudah fasih Alfiyah atau kaidah-kaidah bahasa asing. Anak SD sudah jadi Youtuber dengan banyak subscriber. Anak SMP sudah bisa bikin robot selam pencari serpihan pesawat; dan seterusnya.
Hal-hal itulah yang dilakukan oleh mayoritas sekolah kita, negeri maupun swasta, di kota maupun di desa. Ini bukan alasan atas merosotnya ranking PISA, tapi ini adalah alasan untuk bilang bahwa seburuk apapun ranking pendidikan kita, masih banyak kok hal-hal baik yang bisa kita dapat dari sana.
BACA JUGA 5 Keunggulan Bangsa Indonesia yang Tidak Dimiliki Bangsa Lainnya dan tulisan Miftakhur Risal lainnya.