MOJOK.CO – Bung Tomo memang begitu. Posisinya selalu beyond. Nggak gampang tertebak. Jadi ikon pertempuran 10 November walau nggak ada di tanggal dan tempat lokasi kejadian, Surabaya.
Ini bukan soal Nota 10 November yang heboh bikinan “Pahlawan Kita” Bung Tomo (Sutomo) pada 1956. Isi nota itu mempersoalkan Kabinet Ali Sastroamidjojo yang “tak bisa dipertahankan lagi” karena kemelut politik-militer mengepung istana di hari yang sama Prabowo Subianto lahir.
Lebih jauh lagi, Nota 10 November itu menggertak Presiden Sukarno dan seperti kata Bung Tomo “akan menyinggung perasaan Bung Karno”.
Esai ini tidak sedang membahas tentang panggung politik baru “Pahlawan Kita” itu yang notabene sebagai anggota parlemen. Juga, esai ini tidak sedang membahas kendaraan politik Bung Tomo yang berlaga di Pemilu 1955: Partai Rakyat Indonesia (PRI). Partai yang didirikan pada 1950 ini yang mengantarkan Bung Tomo, “ikon” Pertempuran 10 November jadi anggota DPR. Maklum, PRI mendapatkan dua kursi.
Ini tentang Bung Tomo
Ini bukan tentang PRI saat para pemimpin Republik kembali ke Jakarta dari Yogyakarta. Sekali lagi, bukan.
Tetapi, yang saya kisahkan kali ini mundur satu tahun dari kalender saat “Pahlawan Kita” ini bikin partai. Tepatnya, bulan-bulan saat para delegasi Indonesia adu ide dan strategi diplomasi di Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.
Ya, saat Panglima Besar Soedirman akhirnya membawa para laskar Republik masuk keluar hutan untuk perang gerilya di separuh akhir tahun 1949, Bung Tomo, sang pahlawan kita tampaknya sedang dilanda hopeless.
Adalah Harian Merdeka milik Burhanuddin Mohammad Diah menurunkan artikel pendek bertarikh 28 Agustus 1949 dengan judul berhuruf kapital yang, menurut saya, “menggetarkan”: “BUNG TOMO MADJUKAN REKES”.
Rekes, seturut KBBI, adalah surat lamaran kerja.
Subjudul dari artikel Bung Tomo itu tak kalah sengitnya: “Minta Pekerdjaan pada dua djawatan tapi ditolak !”
Bung Tomo mencari kerja
Ya, saat Bung Hatta memimpin delegasi diplomasi memeras akal memenangkan kedaulatan Republik dan pengakuan bangsa-bangsa di altar internasional bernama PBB, Bung Tomo sedang menyusun surat lamaran kerja.
Saat Bung Dirman dengan hanya tinggal satu paru berfungsi dan harus ditandu menjaga batas Republik di antero hutan Jawa Tengah dan Jawa Timur, Bung Tomo sedang memilah dan memilih kira-kira surat lamaran kerja itu dikirim ke jawatan mana.
Bung Tomo, di artikel yang dimuat di halaman satu Harian Merdeka itu, nggak muluk-muluk maunya. Dia hanya ingin sudilah ada jawatan menerimanya sebagai pegawai rendahan.
Dulu, badan usaha negara biasanya disebut jawatan. Salah satu badan usaha bernama “djawatan” yang masih beroperasi hingga kini adalah DAMRI. Tahu, kan, DAMRI itu adalah singkatan dari Djawatan Angkoetan Motor Repoeblik Indonesia.
Tapi, saat Bung Tomo menulis surat lamaran kerja itu, jangan bayangkan Indonesia sedang aman sentosa, semua pintu kantor pos yang menjual amplop dan materai terbuka rutin dari pukul 7 pagi sampai 7 malam.
Tidak.
Pengin jadi pegawai BUMN
Tahun 1949, sebelumnya 1948, adalah tahun genting revolusi. Tahun 1948, Republik terkoyak oleh “perang saudara” yang berpusat di Madiun. Lalu, disusul oleh agresi militer Belanda yang kedua dengan kejatuhan ibu kota Yogyakarta. Para pemimpin politik seperti Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, Agus Salim dibuang ke Sumatera, tepatnya di Muntok, Pulau Bangka (rumah Ferdy Sambo).
Republik sangat genting? Absolut, ya.
Ibu kota dikosongkan. Politisinya dibuang, angkatan bersenjatanya tersisih dan meminggir dari hutan satu ke hutan lainnya. Diuber sejadi-jadinya lewat darat dan udara oleh tentara kumpeni.
Dalam situasi Republik seperti ini, tokoh kita yang masyhur dan ikon “Hari Pahlawan 10 November” berpikir bagaimana bekerja sebagai pegawai BUMN. Dia tidak menginginkan jabatan di atas. Yang rendahan juga nggak apa, asal dapat.
Sayang sekali, artikel Merdeka yang berdesakan dengan berita-dalam-kotak dari Nottingham, Inggris ini, “Seekor Tawon Menjebabkan 28 Orang Masuk Rumah Sakit”, tidak menyebut nama dua jawatan yang masih buka dalam situasi revolusi sedang berkobar-kobar di fase penentuan atau fase akhir itu.
Byline artikel itu juga tidak mencantumkan nama terang, melainkan “Koresponden Kita Sendiri”. Dari “Koresponden Kita Sendiri” inilah terkuak Bung Tomo tampil sebagai pemburu lowongan kerja di fase akhir revolusi.
Baca halaman selanjutnya
Ada Keganjilan di sana
Ada keganjilan di sana
Penulis artikel ini menganggap, aksi perburuan loker oleh “Pahlawan Kita” ini menyimpan keganjilan karena “Bung Tomo pernah mengembalikan kedudukannja sebagai Djendral Major, sehingga orang menduga ada udang dibalik permintaan pekerdjaan dari Bung Tomo tsb”.
Nah, dugaan si “Koresponden Kita Sendiri” ini, Bung Tomo mau-maunya menceburkan diri sebagai pegawai, walau rendahan, dicurigai sebagai usaha suci dan heroik dari “Pahlawan Kita” memperbaiki kinerja badan usaha negara, yang sayang sekali tidak disebutkan namanya.
“Tapi keterangan selandjutnja jang kita peroleh mengatakan bahwa permintaan Bung Tomo itu telah ditolak dengan alasan ini dan itu. Ada dugaan, bahwa penolakan itu adalah karena pemimpin2 djawatan jang bersangkutan kuatir terhadap akibat penerimaan Bung Tomo sebagai pegawai dalam kantor dan djawatannja,” tulis “Koresponden Kita Sendiri”.
Apa yang dilakukan Bung Tomo itu, memburu loker di tengah peperangan, khas dan cerminan kita kiwari. Masih ingat “Perang Sarinah” saat polisi melakukan pelumpuhan pelaku teror di pusat perbelanjaan Sarinah, Jakarta Pusat, pada awal tahun 2016 silam?
Berani
Ada dua yang mencolok dan mendapat perhatian. Satu, hestek aneh #kaminaksir mencuat lantaran outfit yang dikenakan polisi-polisi ganteng penyerbu. Polisi yang dipimpin Krishna Murti itu tak ubahnya seperti para bintang film drakor yang sedang berlaga dan menjadi tontonan.
Dua, di tengah dar der dor dan mayat pelaku teror tumbang di jalan, tak jauh dari situ dengan anteng penjual sate sedang “membakar” dagangannya. Dan, ada yang beli. Ramai. “Perang Sarinah” pun tak ubahnya seperti suting film.
Bung Tomo itu, “Pahlawan Kita” ini, ya, seperti penjual sate itu. Mau negara genting, mau Republik di tubir jurang kekalahan perang di meja dan medan tempur, mendapatkan pekerjaan tetap di BUMN menjadi jalan ninja yang mesti didahulukan.
Biarlah perang berkobar asal ketersediaan logistik aman.
Kita kemudian tahu, penolakan atas surat lamaran kerja atau rekes dari Bung Tomo mengantarkannya menjadi politisi. Gagal jadi pegawai rendahan, “Pahlawan Kita” menemukan solusi jitu menepis status jobless: bikin partai dan komentator politik.
Bung Tomo memang begitu. Posisinya selalu beyond. Nggak gampang tertebak. Jadi ikon pertempuran 10 November walau nggak ada di tanggal dan tempat lokasi kejadian, Surabaya.
Saat Republik sedang gawat, dia justru sibuk cari kerja untuk jadi pegawai tetap perusahaan atau jawatan. Pegawai rendahan pun nggak apa asal BUMN.
Tetap semangat wahai pencari kerja
Bagi para pemburu loker, tetap bersemangat. Dengan kobaran Api 10 November, rengkuhlah kerja tetap. Jabatan paling rendah nggak apa, sebagaimana sikap Bung Tomo, yang penting pegawai tetap. Semoga kalian semua, teman-teman saya pemburu kerja yang progresif bisa mendapatkan perusahaan yang pas dan bos yang menyenangkan.
Mengikuti teladan baik dari Bung Tomo, pahlawan sejati adalah mereka yang berusaha keras menulis surat lamaran kerja, bangun paling pagi bawa amplop cokelat ngantre di loket jawatan demi posisi, demi kerja. Janganlah takut gagal. Mereka yang gagal lalu putus asa sama saja
Sebagaimana Bung Tomo, gagal melamar kerja berpotensi sukses jadi anggota DPR. Jarak dari 1949 hingga 1955 itu singkat sekali.
Memang, ente kadang-kadang ente. Allahu akbar. Itu.
BACA JUGA Tak Ada Bung Tomo di Pertempuran 10 November dan fakta menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Muhidin M. Dahlan
Editor: Yamadipati Seno