MOJOK.CO – Tidak seperti keributan Pilpres di negara tetangga kayak Indonesia, negeri kami punya masalah fundamental sendiri; yakni konflik beda cara masak mie instan.
Orang dari negeri tetangga kayak Indonesia itu, apa sih yang nggak dijadikan bahan ribut? Bahas Pilpres, ribut. Bahas agama, ribut. Bahas selebriti, ribut. Bahkan bahas bubur ayam diaduk atau tidak saja pun ribut. Sampai kelahi-kelahi pula.
Sudahi sajalah keributan kalian itu. Bukan cuma berisik, tapi juga berpotensi menular ke negeri kami, Indomiesia, yang baru belakangan ini merasakan damai sejenak.
Kalian pikir soal bubur ayam itu adalah perdebatan yang paling esensial dalam kehidupan di dunia ini, heh? Kalian belum tahu saja bahwa di Indomiesia juga sedang rentan isu sektarian yang tak kalah gawat: Apakah mie instan itu harus dimakan pakai nasi atau tidak?
Perlu diketahui, bahwa semua warga Indomiesia adalah pemuja mie instan. Selama ini, kami bisa hidup rukun saling bertoleransi, apapun merek dan rasa mie yang digemari. Sebagaimana falsafah bangsa kami: Berbeda-beda tetapi tetap doyan mie juga.
Tetapi, persoalan menjadi lain ketika dihadapkan pada ihwal apakah memakan mie itu memakai nasi atau tidak.
Ini bukan main-main, karena menyangkut soal keyakinan. Dan bicara soal keyakinan terhadap mie instan ini, sebagian besar rakyat Indomiesia bisa demikian fanatik bahkan beringas. Khususnya yang bersumbu pendek.
Meskipun, jika ditanyai soal hakikat eksistensi mie instan itu juga mereka pasti tidak bisa menjawab: Apakah mie instan itu makanan pokok, lauk, sayuran, atau cemilan?
Karena, mie instan bukan semuanya itu, tetapi juga bisa menjadi semuanya.
Bisa juga menjadi semacam kerupuk jika dimakan mentahan. Bahkan, kuah atau minyak bumbunya bisa diminum! Karena itulah perlu ilmu khusus untuk bisa memahaminya.
Perdebatan soal mie ditambahi nasi atau tidak ini bisa demikian panasnya, sampai-sampai tak jarang memicu keributan. Juga bikin rumit ketika terjadi pernikahan beda keyakinan antara penganut mie ditambahi nasi dengan yang tidak.
Sejauh ini, sih, belum pernah terjadi persekusi satu sama lain. Tetapi, tentu kami tetap harus waspada agar terhindar dari jadi seperti kalian, warga Indonesia yang dulunya damai rukun tetapi belakangan hobi bergaduh itu. Kan begichu.
Apalagi, sebentar lagi kami juga akan melakukan pemilihan umum untuk memilih Presiden Indomiesia. Alangkah riskannya jika kerukunan negeri kami terganggu hanya karena isu apakah beliaunya menganut mie ditambahi nasi atau tidak. Padahal, itu kan soal privat.
Yang terpenting kan kompetensinya dalam memimpin dan merangkul segenap pemuja mie instan secara adil, tanpa pandang merek dan rasa kegemaran, baik pakai nasi ataupun tidak.
Terlebih lagi jika mampu membangunkan infrastruktur warung-warung mie di daerah-daerah terpencil dan pelosok, yang harga sebungkus mienya bisa berkali lipat daripada di kota besar macam Surakoya ini.
Ihwal perbedaan fiqih mengonsumsi mie instan ini, sebenarnya bisa dirunut pada sejarah perbedaan fiqih dari dua kelompok besar di Indomiesia kami ini: Miehamadiyah dan Nahdatul Ulamie.
Miehamadiyah meyakini bahwa mie instan merek apapun cukup dimasak lalu dimakan tanpa perlu ditambahi nasi. Bukankah dalam gambar di bungkusnya saja tak ada nasi?
Dalam petunjuk di bungkus mie instan itu juga tidak disebutkan keharusan memakai nasi. Jangan suka menambah-nambahi amalan yang tak ada dasarnya. Terlebih, ada mitos bahwa memakan mie instan tanpa nasi berisiko tidak sempurna kenyangnya. Itu sudah menjurus takhayul dan khurafat yang harus ditanggulangi.
Sementara itu, Nahdatul Ulamie tidak mempermasalahkan memakan mie instan dengan pakai nasi atau tidak. Memakan mie rasa apapun boleh memakai nasi untuk keafdholan rasa kenyang dan kelengkapan gizi. Makan mie instan pakai nasi itu termasuk bid’ah hasanah. Asal, jangan berlebihan.
Bagi pihak Nahdatul Ulamie, tak perlu kaku memaknai gambar ataupun teks petunjuk cara memasak di bungkus kemasan mi instan. Bukankah di gambarnya itu juga ada telur atau daging ayam namun dalam kenyataannya tak ada?
Makan mie instan itu hendaknya mudah, mempermudah, dan dipermudah. Jangan dipersulit. Namanya aja instan.
Sejatinya perbedaan pandangan dalam memakan mie instan itu tidak pernah jadi isu besar di antara kedua kelompok. Paling cuma saling ngedumel diam-diam. Misalnya, di negeri kami, jika umat Miehamadiyah menghadiri acara dari Nahdatul Ulamie, mereka biasanya menolak secara halus untuk menambahkan nasi dalam suguhan mienya.
Demikian juga jika warga Nahdatul Ulamie berkunjung ke acara yang diadakan warga Miehamadiyah, mereka akan tetap memakan suguhan mie instan tanpa nasi sampai ludes, meskipun mungkin dalam hatinya sambat karena kurang kenyang.
Kerukunan dan silaturahmie antar kelompok juga senantiasa terjaga bahkan ketika terjadi perbedaan tanggal merayakan hari pesta mie.
Tapi, semua mulai berubah sejak gerakan fundamientalis transnamieonal menyerang. Khususnya, kelompok Wahamie. Mereka ini berpandangan ekstrem: Semua mie selain mie telor adalah sesat! Apalagi mie instan! Halal untuk dihabiskan tanpa bayar!
Sebagian di antara kelompok Wahamie ini konon bahkan sudah menjelma kelompok teror di negeri nun jauh di sana: Spaghetti dan bihun sudah banyak jadi korban. Tak terhitung sudah berapa liter kuah yang tumpah sia-sia. Mereka bahkan tega mengorbankan Mie Gemez yang imut dan tidak berdosa.
Ramen, Samyang, dan mie-mie dari negeri asing lainnya tentu cemas, dan meminta tolong pemerintah di negeri kami untuk mengatasi ini semua. Bahkan di antara mereka ikut-ikutan pula Mie Sakura, yang (seharusnya) adalah mie idola para wibu itu: Produk mie instan murah meriah, tetapi namanya kejepang-jepangan.
Menanggulangi itu, pemerintahan negeri kami awalnya cukup kelabakan. Syukur lah, sejauh ini pengaruh negatif oknum Wahamie maupun dua saudara yang enggan diakuinya, yakni Miekhwanul Mieslimin dan Hizbut Tahutek yang berambisi mendirikan khilafah mie dan memformalisasi syari’at memakan mie masih dapat diredam.
Ini berkat kuatnya solidamietas rakyat negeri kami dari segala kelompok. Dalam hal ini, baik Nahdatul Ulamie, Miehamadiyah, dan organisasi lainnya sepakat untuk bahu-membahu melindungi negeri.
Sebagian dari para fundamientalis itu bisa disadarkan, bahwa satu-satunya khalifah yang layak berdiri di Indomiesia ini hanyalah Miea Khalifah: Yang mampu berdiri dan memberdirikan.
Namun bagaimanapun juga tetap harus diwaspadai pandangan-pandangan yang bakal menganggu keutuhan bangsa Indomiesia kami ini, agar tidak mengganggu kerukunan dan kekhusyukan segenap rakyat dalam menikmati mie instan di negeri kami.
Semoga kisah dari negeri Indomiesia ini bisa menginspiramie kalian para warga negara tetangga kami di Indonesia sana agar kembali damai. Tapi pesan saya, jangan terlalu banyak berkembang.
Karena, kembang itu bunga. Dan bunga itu riba. Camkan itu baek-baek.