MOJOK.CO – Kuliah S3 adalah negosiasi tanpa akhir, dengan supervisor, reviewer, dan kadang dengan diri sendiri yang ingin menyerah tapi gengsi.
Dulu, saya kira S3 itu perjalanan intelektual yang megah. Bangun pagi, menulis teori besar, bisa minum kopi dengan harga Rp125 ribu, lalu di sore harinya membaca jurnal sambil mengangguk bijak seakan telah memahami isi dunia.
Ternyata, S3 lebih mirip proyek panjang yang spesifikasinya berubah setiap rapat, anggarannya seret, dan panitianya tidak pernah benar-benar setuju satu sama lain. Di brosur beasiswa, S3 tampak seperti jalan sunyi menuju pencerahan. Di realitas kampus, S3 adalah negosiasi tanpa akhir, dengan supervisor, reviewer, dan kadang dengan diri sendiri yang ingin menyerah tapi gengsi.
Label “elit intelektual” tidak selalu sejalan dengan kondisi material. Banyak dari kami adalah kelas menengah akademik yang terjepit. Kesempatan kerja sering tak sejalan dengan kualifikasi, pendapatan tidak stabil, biaya hidup terus naik, sementara target publikasi terus menumpuk. Di grup keluarga, kami dipanggil “calon doktor” dengan nada bangga. Tapi di rekening bank, kami disebut “Maaf, saldo Anda tidak mencukupi.”
Akademia sebagai mesin: Pengetahuan menjadi produk
Dalam imajinasi romantik, kampus adalah taman pengetahuan. Di kenyataan kapitalisme pengetahuan, kampus beroperasi seperti korporasi. Ada target output (publikasi), indikator kinerja (indeks sitasi, H-index, Sinta/Scopus), segmentasi pasar (Q1-Q4), dan audit mutu (akreditasi).
Di brosur, kata-kata yang dipakai seperti “inovasi”, “kolaborasi”, “impact”. Di meja mahasiswa S3, kata-kata sehari-hari: “deadline”, “reject”, “turnitin 15%”.
Ilmu pengetahuan berubah jadi komoditas yang diukur, dipasarkan, dan diproduksi massal. Tugasmu sebagai mahasiswa S3 adalah memasok pabrik jurnal dengan artikel yang rapi, punya kebaruan, dan patuh format.
Keren kalau terbit di Q1, lumayan Q2, masih bisa Q3, dan mohon introspeksi kalau Q4. Idealisme boleh tinggal, tapi format harus rapi semata karena, sebagaimana dalam pabrik, cacat ukuran 1 milimeter bisa bikin produk ditolak manajer mutu yang bernama Reviewer 2.
Kita semua tahu ini absurd. Mahasiswa S3 membaca untuk mengerti dunia, tapi sistem menilai dari berapa kali orang lain mengutip kita. Riset, untuk menjawab masalah sosial, tapi yang menentukan nasib adalah impact factor yang bahkan tak menjamin solusi.
Di titik ini, Marx terasa sangat relevan. Relasi produksi pengetahuan menghasilkan fetisisme komoditas akademik—artikel, metrik, indeks—seolah angka-angka itulah kebenaran, bukan realitas yang ingin kita ubah.
Baca halaman selanjutnya: Bikin gila, tapi harus terus lanjut.
Supervisor S3, reviewer, dan Tuhan
Di hidup mahasiswa S3, ada tiga entitas yang nyaris selalu benar. Mereka adalah supervisor, reviewer, dan Tuhan. Bedanya, Tuhan memberi rahmat tanpa track changes.
Supervisor adalah nabi kecil yang menafsirkan kitab metodologi kita. Kalimat pembuka favoritnya berbunyi, “Menarik, tapi…” Setelah itu diikuti hutan revisi.
Dia bisa menanyakan kenapa pakai teori A, bukan B; kenapa sampling 200, bukan 400; dan kenapa literature review terasa seperti thread curhat, bukan peta wacana. Kita sering keluar dari ruang bimbingan S3 dengan file yang sama, tapi judul foldernya berubah dari “final.docx” jadi “insyaallah ini sudah final fix fix fix.docx”.
Reviewer adalah malaikat pencatat dosa konseptual mahasiswa S3. Dia muncul dalam bentuk PDF penuh komentar bernomor dan highlight kuning. Kata clarity of argument dan theoretical contribution muncul lebih sering daripada kata “terima kasih.”
Kadang dia meminta sesuatu yang secara konseptual mustahil tanpa revolusi paradigma. “Coba kembangkan kerangka teori baru yang menjembatani semua perspektif yang tampak kontradiktif.”
Kita membalas, “Terima kasih atas sarannya yang sangat berharga,” sambil menatap layar kosong dan secangkir kopi yang sudah dingin.
Tuhan? Di fase S3, Tuhan adalah tempat menyimpan file yang tak terselamatkan. Kita berdoa bukan hanya untuk kelulusan, tapi juga supaya hard disk tidak meledak, plagiarism checker bertobat dari angka 39%, dan SPSS tidak crash di menit 59 detik sebelum autosave.
Alienasi akademik kuliah S3: Ketika ilmu kehilangan makna sosial
Marx menyebut alienasi: keterasingan manusia dari kerja, produk, sesama, dan dirinya sendiri. Di S3, alienasi hadir dalam versi akademik.
Kita menulis bukan karena ingin, tapi karena KPI. Membaca, bukan karena haus pengetahuan, tapi demi mengisi subbab 2.3.3. Meneliti masalah sosial, tetapi tersandera template dan style guide. Lama-lama, yang kita rawat bukan realitas sosial, melainkan estetika metodologis.
Lebih getir lagi, alienasi itu terasa bahkan saat riset kita “sukses”. Artikel terbit, angka sitasi naik. Tapi, apakah ada yang berubah di lapangan? Kebijakan menoleh? Orang yang kita wawancarai hidupnya membaik? Sering tidak. Ilmu berhenti di paywall; pengetahuan jadi arsitektur indah yang jarang ditinggali.
Metodologi berubah menjadi semacam agama. Validitas jadi ayat suci, robustness check jadi doa harian; dan theoretical framework menjadi kitab tafsir selama S2. Kita menaruh keyakinan pada model dan software terbaru, seolah algoritma mampu menebus data yang tak sempurna. Lalu Reviewer 2 menulis, “Coba gunakan pendekatan teoritik lain.” Iman pun goyah. Maksudnya apa?
Kelas menengah akademik: Antara gengsi dan genset
Mahasiswa S3 disebut “calon doktor” tapi listrik kamar sering padam. Kita diminta produktif, tapi beasiswa cairnya seperti hujan bulan kemarau. Kita disuruh menulis cepat, tapi akses data butuh surat yang stempelnya entah siapa yang pegang.
Kelas menengah akademik itu, apalagi yang mengambil S3, adalah spesies yang lucu. Sore mengajar demi tambahan, malam coding regresi, subuh bales email supervisor di zona waktu berbeda. Pagi briefing asisten riset, siang ngurus komite etik, sore diskusi teori, malam revisi tabel.
Di sela-selanya, ada ritus agar tetap waras. Misal, jogging sambil rehearse defense, nonton video statistik YouTube yang menyelamatkan banyak jiwa, atau menangis elegan di toilet perpustakaan (akustiknya bagus).
Kita bukan “menikmati” sistem ini. Kita bertahan. Karena di luar sana, pasar kerja menilai kita dengan logika yang mirip: angka, sertifikat, indeks. Menolak sistem bukan heroik, seringnya bunuh diri karier. Di dunia ini, bahkan ruang sunyi pun berbayar: co-working, kafe, atau kamar kos yang makin mahal.
Mengapa kita masih di sini?
Pertanyaan yang jujur: kalau begitu getir, kenapa tetap jalan S3? Jawaban sederhana: karena pengetahuan masih berarti. Di balik KPI dan metrik, masih ada momen-momen kecil yang tulus. Obrolan dengan informan yang membuka mata, data yang tiba-tiba “bicara”, mahasiswa bimbingan yang bilang, “Terima kasih, Pak, artikelnya membantu saya paham.”
Selain itu, kita tetap di sini karena struktur, bukan semata pilihan personal. Sistem sosial mengarahkan yang punya modal pendidikan untuk bertahan di jalur akademik meskipun pendapatan tak seindah mitos.
Kita bukan orang-orang munafik yang mengkritik kapitalisme sambil memanfaatkannya. Kita dipaksa menjalankan kritik di dalam sistem, karena di luar sistem pintunya lebih rapat. Bahkan perlawanan pun membutuhkan Wi-Fi.
Perlawanan kecil yang masuk akal
Tidak semua perlawanan harus berupa manifestasi besar. Di akademia, perlawanan yang mungkin adalah yang kecil, konsisten, dan merawat sesama:
- Membuka akses dengan unggah preprint, berbagi dataset yang aman, bikin ringkasan riset berbahasa publik.
- Mengajar dengan empati dengan membantu mahasiswa membaca secara kritis, bukan sekadar mengejar nilai.
- Kolaborasi egaliter dengan kredit layak untuk asisten riset; nama penulis urut sesuai kontribusi, bukan hierarki.
- Merawat komunitas dengan bangun ruang diskusi rendah biaya; peer support untuk kesehatan mental; berbagi template dan script tanpa pelit.
Perlawanan seperti ini tidak tercatat di H-index, tapi tercatat di ingatan orang-orang yang kelak akan membuat akademia sedikit lebih manusiawi.
Disertasi S3: Bukan mahakarya, tapi jejak perjalanan
Kita sering dipaksa melihat disertasi S3 sebagai mahakarya yang harus sempurna. Padahal disertasi itu jejak perjalanan. Sebuah bukti bahwa kita pernah bersusah payah memahami sesuatu secara serius. Ia bukan Al-Qur’an metodologi tapi laporan kemajuan yang satu hari nanti akan dikoreksi lagi oleh diri kita yang lebih matang.
Pada hari sidang, mungkin tidak ada pelangi. Yang ada slide agak pecah, pewarta yang kelelahan, dan penguji yang meminta: “Tambahan dua halaman diskusi implikasi”.
Tapi, ada yang lebih besar daripada itu semua, yaitu kita selamat. Kita tidak sekadar melewati ujian. Kita bertahan di dalam sistem sambil menjaga agar keberpihakan pada yang tertindas tidak pernah padam.
Derita ini milik bersama
Tulisan ini bukan keluhan personal. Ia adalah diagnosis struktural. Mahasiswa S3 bukan cendekia yang hidup di menara gading. Kami buruh pengetahuan yang berusaha hidup bermartabat di pabrik akademik.
Mahasiswa S3 tidak memilih logika metrik, tapi dikurung di dalamnya. Kami tidak menikmati tekanan publikasi tapi bertahan supaya pintu kerja tidak menutup.
Kalau suatu hari Anda melihat mahasiswa S3 tertawa di koridor, jangan buru-buru menyimpulkan dia bahagia. Bisa jadi dia baru saja ditolak jurnal untuk kelima kalinya, lalu memilih menertawakan dunia sebelum dunia menertawakannya lebih dulu.
Dan bila satu saat Anda membaca disertasi yang masih kikuk tapi jujur, ketahuilah, di baliknya ada manusia yang dengan sisa tenaga mencoba memastikan pengetahuan tetap punya hati dan jiwa bukan sekadar angka.
Mungkin revolusi tidak akan dimulai di jalanan. Mungkin ia akan dimulai di ruang bimbingan, saat seorang mahasiswa S3 menyadari bahwa disertasinya memang ditulis di bawah bayang kapital, tetapi hatinya tetap berpihak pada mereka yang tak punya akses ke pengetahuan. Dan karena itu, ilmu yang dia tulis tidak akan berhenti di paywall.
Penulis: Muhammad Ifan Fadillah
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Kuliah S3 Memang Bergengsi, tapi Menyimpan Sisi Kelam yang Jarang Diketahui Orang dan catatan menyedihkan di rubrik ESAI.
