MOJOK.CO – Mulanya, Deddy Corbuzier undang Young Lex ngomongin teori konspirasi. Lanjut ke Dr. Tirta, Bossman Sontoloyo, dan yang teranyar Siti Fadilah. Lah, jadi serius?
Membaca kronologi yang diungkap pihak Kemenkumham perihal wawancara Siti Fadilah oleh Deddy Corbuzier—yang tak mengantungi izin—dalam satu tarikan nafas kita bisa menarik dua simpulan.
Pertama, para petugas Rutan Pondok Bambu yang diberi mandat untuk mengawasi Siti Fadilah kurang cermat dan loyo. Kedua, Deddy Corbuzier tampak begitu menggebu-gebu untuk menunjukkan bahwa COVID-19 memang lekat kaitannya dengan konspirasi elite global, sehingga Deddy abai pada aturan administratif sampai rela menerjang pelbagai halang rintang secara ilegal.
Untuk urusan ngotot perihal teori konspirasi, Deddy belakangan terlihat sangat konsisten, saya cukup salut. Upayanya dalam mendulang viewers harus diacungi jempol enam biji.
Seandainya juara pertama kompetisi Benteng Takeshi—yang legendaris dan ikonik itu—diberi hadiah dokumen “fakta mencengangkan para elite global”, saya khawatir Deddy Corbuzier akan turun mendaftar. Yha, bagus sekali yang mulia~
Mulanya, Deddy Corbuzier mengundang Young Lex untuk hadir di podcast-nya. Bukan untuk menjelaskan bagaimana teknik rap atau semacamnya—sebagaimana kualifikasi Young Lex—tapi untuk ngobrolin teori konspirasi.
Itu hampir sama seperti mengundang Lionel Messi untuk membahas tutorial ternak lele bagi mahasiswa jurusan filsafat. Orang-orang jelas akan tertarik untuk menonton, meski tak ada informasi valid yang bisa diraih.
Berlanjut dengan narasumber Deddy Corbuzier yang lain; dari Dr. Tirta, Bossman Sontoloyo, sampai yang teranyar Siti Fadilah.
Sedikit banyak isi podcast di atas tadi menyinggung soal kemungkinan ulah elite global di balik wabah bgst ini. Pokoknya, Deddy Corbuzier adalah satu pihak yang cukup tekun menghadirkan wacana itu ke tengah publik. Hanya kalah dikit sama Pak JRX, musisi favorit saya, eh kita.
Tak butuh waktu lama, podcast dengan Siti Fadilah turut menyulut polemik. Seorang yang terbukti koruptor tiba-tiba dikultuskan oleh pengikut Deddy Corbuzier sebagai “pahlawan” dalam urusan wabah.
Bahkan, Deddy Corbuzier sempat ngetwit membandingkan program asimilasi yang diberikan pada Habib Bahar bin Smith. Menurutnya, Siti Fadilah lebih layak menerima program tersebut, karena sudah berumur lanjut. Hm.
Padahal, saat program diskon masa tahanan untuk para napi ini pertama kali beredar, Deddy Corbuzier adalah orang yang koar-koar menolak sepenuhnya. Terlebih jika diskon waktu hukuman itu diberikan pada koruptor.
Nih ya saya kutip ungkapan ketua umum Smart Pipel;
“Anyway Koruptor udah dibebasin? Bingung, ngapain dibebasin. Kan selama ini juga enggak pernah dipenjara. Lebih dikos-kosin… ????”
Hm. Apa blio sudah lupa pada pendapatnya sendiri? Atau, pernyataan tersebut sebatas upaya mempertahankan bangunan konten konspirasi yang sedang Deddy tekuni? Bisa jadi. Bukan tidak mungkin.
Dengan berkelakar, Deddy Corbuzier juga mengajukan saran pada para pengikutnya untuk iuran rupiah sebanyak 6,5 miliar, untuk menutupi jumlah korupsi Siti Fadilah. Uang sebanyak itu, kalau dibelikan masker—yang jelas lebih penting—bisa dibagikan ke berapa kecamatan, ya?
Kita bisa berdiskusi panjang, apakah Siti Fadilah memang layak mendapat predikat “pahlawan”, dengan hitungan kinerjanya semasa menanggulangi virus flu burung pada masa lalu usai diwawancarai Deddy Corbuzier. Tetapi, kenyataan bahwa Siti Fadilah terlibat kasus korupsi, itu sudah fakta valid di mata hukum.
Satu-satunya cara yang paling masuk akal untuk membantah fakta getir itu, tak lain menjalankan prosedur hukum yang telah ditetapkan. Tetapi, seingat saya, mulanya Siti Fadilah tak mengajukan banding, lalu setahun setelah ditetapkan sebagai pelaku baru mengajukan PK ke Mahkamah Agung. Dan ditolak.
Tapi, yang berbahaya dari pengkultusan Siti Fadilah adalah, blio melulu dianggap korban atas segala kenyataan getir, hanya karena Siti Fadilah pernah bersitegang dengan WHO. Fakta bahwa Siti Fadilah koruptor tiba-tiba disangkut-pautkan dengan ulah elite global.
Belum dengan kenyataan bahwa Deddy Corbuzier tak mengantungi izin wawancara Siti Fadilah, sampai kesimpulan beberapa penonton wawancara ini yang menduga teguran dari Kemenkumham adalah ekspresi “kepanikan rezim”.
Seandainya Deddy Corbuzier atau Siti Fadilah digigit semut, atau salah membedakan lengkuas dengan daging saat santap lebaran, saya ngeri para pengikutnya menyimpulkan bahwa itu—sekali lagi—ulah elite global.
Memang, perangai itu adalah satu sisi buruk penganut teori konspirasi, punya kecenderungan selalu bermental korban bahkan untuk hal-hal yang mudah ditangkap akal.
Misalnya teman saya, yang percaya bahwa bentuk bumi itu datar, mengajukan tuduhan keji pada NASA saat ia menerima rapor merah. Katanya, sistem pendidikan kita yang telah ‘diatur’ oleh para penganut Bumi Bulat tak menyisakan ruang sedikit pun untuknya. Padahal, malam hari sebelum ujian, ia menghabiskan waktu bermain game, alih-alih belajar. Betapa keji konspirasi ini.
Akhir kata, saya menghormati Siti Fadilah, sebagaimana saya menghormati semua manusia di muka bumi. Menurut saya, blio tetap punya hak untuk menyuarakan pendapatnya—tentu saja dengan tunduk pada prosedur, mengingat statusnya sebagai narapidana.
Saya juga menghormati Deddy Corbuzier. Bagaimana pun dia adalah idola saya semasa kecil, dengan trik-trik sulapnya. Saya selalu takjub ketika Deddy Corbuzier berhasil membengkokkan sendok, sama takjubnya seperti penduduk Macondo saat melihat keajaiban yang dibawa para Gipsi dalam One Hundred Years of Solitude.
Dan, jika kronologi yang diungkap Kemenkumham benar, saya bisa memahami tindakan serampangan Deddy Corbuzier. Sebab, meminta maaf memang lebih mudah ketimbang meminta izin. Sebuwah tips dari bapak-bapak saat menyalahi aturan rumah tangga, lantas baru minta maaf ke istri.
Apalagi bagi Deddy Corbuzier, yang seorang Influencer, membuat video klarifikasi dan permohonan maaf jelas lebih mudah ketimbang meminta izin. Iya kan, Ded?
BACA JUGA Surat Terbuka Untuk Deddy Corbuzier soal Lucu-lucuan Konspirasi Korona atau tulisan Nanda Fauzan lainnya.