Debat Perubahan Iklim di Meja Makan untuk Siti Nurbaya

Siti Nurbaya, Menteri LHK, berkata benar kok soal perubahan iklim. Toh, jarang sekali kita mendapati menteri yang berani membeberkan kebenaran yang pahit.

MOJOK.COGampang banget langsung tak setuju dengan pernyataan Menteri Siti Nurbaya soal isu perubahan iklim. Padahal kalau mau dipikir-pikir lagi….

Fungsi pernikahan bukan hanya agar bisa berkimochi secara halal dan legal, bukan pula hanya untuk mereguk sebanyak-banyaknya amal kebaikan demi berangkat ke surga kelak. Fungsi pernikahan—setidaknya bagi saya—juga agar kita bisa memperoleh lawan debat tanpa perlu keluar rumah.

Saya dan Mas Bojo sudah enam tahun menikah, dan selama itu pula kami kerap memperdebatkan banyak hal.

Pada hari kerja, kami biasanya berdebat tentang isu-isu terkini, sedangkan giliran siapa yang membuang sampah kami perdebatkan di akhir pekan. Sekalipun begitu, hasil akhirnya selalu sama: perempuan tak pernah salah.

Isu terbaru yang menjadi topik perdebatan kami pekan lalu adalah pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya, yang rada unik soal perubahan iklim.

Jadi, Ibu Siti Nurbaya mengatakan bahwa pembangunan tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau deforestasi. Sebagai pecinta lingkungan yang menganggap tindakan membuang sampah di sungai sebagai kejahatan serius, Mas Bojo berang bukan main.

Mas Bojo segera menggeruduk akun Twitter Bu Menteri demi menjelaskan ini dan itu, lalu melemparkan topik perubahan iklim tersebut di meja makan untuk kami santap bersama.

“Menteri Lingkungan Hidup kok nggak pro sama lingkungan hidup,” ujar Mas Bojo, meringkas dengan sangat apik hujatan semua orang kepada Bu Siti Nurbaya tersebut.

“Menteri Siti Nurbaya itu perlu diganti,” kata Mas Bojo seolah dirinya adalah Pak Luhut Pak Jokowi.

Di situ saya tahu bahwa momen perdebatan kami telah tiba. Bu Menteri Siti Nurbaya tidak pantas diganti hanya karena ia berkata benar, dan lagipula jarang sekali kita mendapati menteri yang berani mengatakan kebenaran.

Mas Bojo menatap ke arah saya seolah ada seekor bebek yang mengajarinya kalkulus. Sebelum ia sempat membuka mulut, saya katakan bahwa pernyataan Bu Siti Nurbaya mengandung dua kebenaran.

Pertama, deforestasi bukan solusi radikal atas perubahan iklim. Kedua, pemerintah yang diwakili Bu Siti Nurbaya ini menganut asas developmentalisme, sebagaimana pemerintah negara ketiga mana pun.

Perubahan iklim sebenarnya adalah peristiwa yang mudah dijelaskan dan dicari sumber masalahnya, kata saya kepada Mas Bojo. Ada terlalu banyak karbon dan unsur-unsur lain yang mengangkasa, yang membuat panas matahari tak bisa terpantul keluar sehingga memanaskan bumi dan mengubah pola iklim di mana-mana.

Perubahan pola iklim ini lalu memunculkan berbagai bencana yang dulunya eksis di dalam kitab suci atau film fantasi Indosiar: sungai dan danau mengering, muka laut meninggi, kota-kota tenggelam, kekeringan ekstrem, dan badai super di mana-mana.

Dan… yang jadi problem sejak dulu adalah cara mengatasinya.

Orang-orang riuh berdebat mengenai jawaban paling tepat atas pertanyaan berikut ini: apa yang semestinya kita lakukan menghadapi perubahan iklim?

Sebagian orang percaya bahwa kita perlu menanam pohon lebih banyak. Sebagian yang lain yakin bahwa pembangkit listrik berbasis batubara dan kendaraan bermotor mesti dienyahkan dari muka bumi. Sebagian sisanya yang tak meyakini apa pun, dan cukup puas dengan mengganti bahan sedotan di gelas es teh mereka.

Tak ada jawaban tunggal yang disepakati. Namun, dari sebagian besar jawaban yang disodorkan, terdapat satu benang merah: kita hanya terfokus pada pengurangan dampak di sektor hilir. Hulu masalahnya sama sekali tak tersentuh.

“Industrialisasi?” tanya Mas Bojo, dengan intonasi yang biasa dipakai bocah SD ketika disuruh menyebutkan nama presiden Pantai Gading.

Salah satunya adalah itu—jawab saya ke Mas Bojo—dan dua lainnya ada di dalam kepala setiap orang: konsumerisme dan pertumbuhan.

Mudah banget untuk menimpakan kesalahan kepada industrialisasi karena keberadaannya bisa langsung dideteksi oleh pancaindra. Kita mengendus aroma limbah pabrik, mendengar deru mesin, dan tak bisa melihat apa pun selain kabut asap. Tapi, dua yang lain kerap luput dari pembahasan.

Konsumerisme, biar gampang dipahami, adalah paham yang mendorong orang-orang untuk mengkonsumsi produk hasil industri.

Ayat suci konsumerisme, seperti yang dibilang Yuval Noah Harari, adalah “beli”, meskipun saya pribadi lebih suka kalau bunyi ayatnya adalah: “Masukkan semua produk berfaedah ini ke setiap lubang tubuhmu dan ulangilah hal tersebut!”

Konsumerisme adalah penopang hidup industrialisme. Hebatnya, karena ia bersemayam di dalam kepala, ia saat ini menjadi norma.

Kita perlu menghibur diri dengan coklat dan secangkir teh saat sedih. Kita diharap mentraktir orang-orang terkasih saat gembira. Ketika sendirian dan hari hujan, rasanya kurang afdal bila tak memutar Spotify.

Bahkan orang-orang saleh yang sering menuding kapitalisme sebagai ciptaan iblis masih merasa perlu untuk membeli aneka camilan menjelang berbuka puasa, dan membeli lebih banyak lagi penganan demi menyambut hari raya.

“Tapi, kan, apa kata tetangga kalau kita nggak menyediakan jajan di ruang tamu pas Idul Fitri?” sergah Mas Bojo.

“Nah,” cetus saya, “Sekarang kamu tahu kenapa konsumerisme menjadi norma.”

Satu yang tersisa dari trio malapetaka tersebut adalah pertumbuhan (growth), dan tampaknya ialah yang paling tak tersentuh. Pada sektor ekonomi, pertumbuhan adalah kredo, kalau enggan menyebutnya kewajiban.

Kaitan antara pertumbuhan dengan industri dan konsumsi kira-kira sebagai berikut: agar bisa bertahan hidup, industri butuh konsumen yang membeli produknya. Semakin banyak konsumen, maka semakin bagus.

Tapi, konsumsi yang bertambah akan melahirkan inflasi, yang membuat nilai uang tergerus. Ini bahaya—tentu saja—kecuali bila pertumbuhan ekonomi suatu negara melampaui besaran inflasinya.

Pertumbuhan ekonomi yang sesuai harapan berpotensi membesarkan sektor industri, yang membutuhkan semakin banyak konsumsi agar ia bertahan hidup. Dan konsumsi menyebabkan inflasi. Dan inflasi hanya bisa diatasi dengan pertumbuhan. Terus begitu hingga Malaikat Israfil cek sound terompetnya.

Siklus sialan itu bukannya tidak disadari oleh Pemerintah, tapi, alih-alih menganggapnya sebagai potensi bahaya, Pemerintah negara mana pun akan menganggap hal itu sebagai kenormalan, bahkan sesuatu yang wajib ada.

Pemerintah akan lebih ketar-ketir bila pertumbuhan ekonomi negaranya melambat, meski emisi karbon di negaranya benar-benar menurun. Pemerintah akan peduli lebih dulu soal angka pengangguran, ketimbang dampak perubahan iklim yang mengancam.

“Aku jadi teringat kisah Sisifus,” ujar Mas Bojo. “Dia harus terjun ke dalam siklus yang menyiksa cuma agar terus bertahan hidup.”

Saya mengangguk, meskipun gambaran yang muncul di kepala saya adalah orang yang disuruh memompa balon hingga entah kapan. Balon tentu saja bisa meletus, tapi balon yang ini tak diketahui kapan meletusnya dan semasif apa dampaknya.

“Jadi, semua usaha kita untuk mengurangi tas plastik itu percuma, dong!” seru Mas Bojo, tampak sekecewa Tong Sam Cong ketika mendapati kitab yang dijanjikan Sang Buddha berisi lembaran kertas kosong belaka.

Saya ingin sekali berkata bahwa upaya-upaya sporadis yang kita lakukan demi menyelamatkan bumi dari perubahan iklim itu bukanlah sesuatu yang percuma. Tapi, pabrik sedotan plastik mungkin bakal tutup untuk digantikan dengan pabrik sedotan kertas.

Ya. Gerakan veganisme yang bertujuan luhur itu dengan cepat bakal ditunggangi konsumerisme ketika industri vegetarian telah matang.

Lalu, industri “ramah lingkungan” akan tetap destruktif dan eksploitatif karena paradigma pertumbuhan yang kita semua amini.

Sistem ekonomi yang manusia pakai tak memungkinkan kita untuk keluar dari arena dengan dalih apa pun. Kita dipaksa untuk menggerakkan mesin besar yang akan seketika macet dan mematikan bila gerakannya melambat sedikit saja.

“Adinda, kamu pesimis sekali. Pasti ada solusi praktis untuk masalah perubahan iklim ini. Teknologi baru, penanaman sejuta pohon, apa pun.”

Saya menggeleng tak percaya dan membereskan piring bekas makanan. Mas Bojo hanya mempercayai apa yang ingin ia percayai, dan memang betul; menanam pohon memang lebih mudah dilakukan ketimbang mengubah isi kepala banyak orang.

BACA JUGA Kita Diminta Waspadai Cuaca Ekstrem, tapi Tidak Diberi Tahu Caranya Gimana dan tulisan Mita Idhatul Khumaidah lainnya.

 

Exit mobile version