MOJOK.CO – Di depan Ariel Noah saat sedang cek sound, dulu saya duga modal vokalis ini bengal saja. Baru ke sini saya sadar, itu salah.
Perlu saya tegaskan dulu, saya bukan penggemar Nazril Irham atau lebih dikenal dengan nama Ariel, baik ketika di Peterpan maupun di Noah. Meski begitu, saya senang mengikuti kiprahnya. Mungkin itu alasan kenapa saya sempatkan waktu untuk membaca buku biografinya, Kisah Lainnya: Catatan 2010-2012.
Sebenarnya buku yang saya baca itu pun bukan biografi tunggal soal Ariel, karena teman-temannya di band Noah juga menulis beberapa bagian. Akan tetapi, sentrum ceritanya memang lebih banyak soal Ariel.
Sebelum membaca buku biografinya, saya cukup sering mendengar lagu-lagunya Ariel Noah, meski tidak terlalu suka. Biasa saja. Mungkin karena saya sering serampangan membandingkan band apa pun dengan Pearl Jam, jadinya hampir tidak ada band yang bagus menurut saya selain Pearl Jam.
Waktu masih bernama Peterpan, saya sempat beberapa kali nonton konsernya secara langsung, dan saya heran kenapa band ini bisa didapuk sebagai salah satu superband Indonesia. Di sebuah mal di Bandung mereka malah dibuatkan cap tangan semacam wall of fame. Belakangan mereka dibikinkan juga patungnya di Museum Nasional.
Suatu ketika, saya pernah berdiri lama di depan panggung saat Ariel sedang cek sound, dan saya rasa modalnya cuma karena dia bengal.
Bengal dan sedikit ganteng adalah modal utama untuk digemari sebagai vokalis band. Kalau soal suara, tidak perlu dihitung. Jadi penyanyi sudah pasti suaranya harus bagus kan? Kecuali kalau kamu cuma mau teriak-teriak, “Kalian semua suci aku penuh busaaa….”
Pandangan saya agak berubah setelah Ariel kena kasus dan band-nya juga kena imbas, bahkan sampai hampir benar-benar terpuruk. Padahal mereka saat itu sedang jaya-jayanya.
Saat itu, saya jadi melihat Ariel sebagai seorang anak laki-laki yang sedang dalam perjalanan menjadi lelaki dewasa. Membuat sebuah kesalahan dan memberinya kesialan besar.
Kesalahan yang membuat “hard disk penuh” dan akhirnya menyeret banyak orang, termasuk seorang model cantik ternama dan presenter acara infotainment terkenal. Hebatnya, mereka semua bisa bangkit kembali setelah keterpurukan itu.
Cemooh datang bertubi-tubi ke Ariel, bahkan usai menjalani hukumannya. Ketika dia akhirnya berani muncul ke publik, banyak yang menyebutnya tidak punya urat malu, meski saya sendiri melihatnya sebagai bentuk resiliensi yang luar biasa dari sosok Ariel Noah.
Resiliensi sendiri, menurut Reivich dan Shatte dalam The Resilience Factor, adalah kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit. Secara sederhana, kita bisa menyebutnya sebagai daya lenting atau kemampuan untuk melambung kembali setelah mengalami tekanan eksternal dan internal.
Ada beberapa bagian di buku biografi tersebut yang menceritakan saat Ariel berada di Rutan Bareskrim hingga Kebon Waru. Termasuk pertemuannya dengan ustaz yang dipidana kasus terorisme.
Suatu ketika Ariel bertemu dengan sang ustaz di selasar blok. Sang ustaz sudah mendengar kesalahan macam apa yang dibikin si vokalis. Saat bertemu itu, sang ustaz cuma tertawa. Mungkin ia tidak pernah membayangkan akan ada orang yang masuk penjara karena kesalahan macam itu.
—000—
Saya ceritakan hal ini kepada River, putra saya, karena dia anak laki-laki dan insya Allah akan jadi pria dewasa. Sebagai lelaki, ada sesuatu yang selalu kita bawa-bawa yang besar sekali potensinya untuk “mencelakakan” diri sendiri dan orang lain bila tidak dijaga baik-baik.
Di kultur kami dibesarkan, para tetua selalu memperingatkan bahwa ujung “sesuatu” itu adalah salah satu dari tiga yang harus dijaga, selain ujung lidah dan ujung badik. Jadi kemuliaan seorang lelaki tergantung bagaimana ia bisa mengontrol tiga ujung itu.
Meski begitu, pada akhirnya, semua orang akan berbuat kesalahan. Tak ada yang maksum. Keberuntungan kita adalah karena ada sejumlah orang yang bersedia “mewakili” kita untuk melakukan kesalahan-kesalahan konyol sehingga kita hanya perlu mengambil pelajaran darinya.
Seperti yang saya pelajari dari pengalaman Ariel itu. Setelah terjatuh begitu rupa, selalu ada pilihan untuk melenting kembali.
Secara kebetulan pula, putra saya sedang begitu senang belajar musik, dan saya pelan-pelan ingin memperkenalkan musisi-musisi bagus kepadanya. Setelah Kang Pidi Baiq dan Om Fadly Padi, saya merasa River harus tahu soal Ariel Noah pula.
Bukan semata-mata soal kapasitas musik, tapi lebih karena apa yang pernah terjadi pada Ariel pada masa lalu. Saya ingin River mencontoh resiliensi Ariel, bukan “daya rusaknya”.
Mungkin keinginan saya itu yang bikin saya semalaman membiarkan lagu Noah berputar kayak gasing di playlist. Lagu lama Noah yang—entah saya ke mana saja sehingga baru saya temukan sekarang—judulnya “Kupeluk Hatimu”.
Saya semakin terpukau ketika tahu bahwa salah satu penulis lirik lagu ini adalah sahabat saya, penyair Aan Mansyur.
Liriknya sangat kuat dan sedikit relevan dengan apa yang terjadi sekarang. Karena sudah terlalu lama bersama, sepasang kekasih sering lupa pada apa yang pernah mereka jaga. Kebersamaan jadi sepi, lalu mereka sepakat menepi sejenak, dan menghadirkan masa seperti ketika pertama kali bertemu dulu.
—000—
Oh iya, The Unicode Consortium, perusahaan pengembang emoji, baru saja mengumumkan akan merilis emoji terbaru mereka. Ada 200 animated figure, salah satunya emoji berbentuk hati yang diperban. Sayangnya, emoji ini baru akan dilepas tahun depan.
Padahal tahun ini, sepertinya sudah banyak sekali kesempatan untuk menggunakannya. Termasuk mungkin untuk menggambarkan daya lenting seorang Ariel Noah yang sempat terluka (dan melukai), namun tetap mempesona.
Mempesona untuk penggemarnya tentunya, bukan untuk saya. Sebab, sekali lagi saya bilang, saya belum menjadi penggemar Ariel Noah.
Mungkin nanti.
BACA JUGA Benarkah Semua Orang Suka Sheila on 7? dan tulisan Fauzan Mukrim lainnya.