Data Scientist: Pekerjaan dengan Gaji Tinggi, tapi Tanggung Jawab Moralnya Ekstra

Pekerjaan dengan gaji tinggi yang bakal jadi dambaan emak mertuamu: data scientist!

Data Scientist: Pekerjaan dengan Gaji Tinggi, Tanggung Jawab Moralnya Ekstra MOJOK.CO

Data Scientist: Pekerjaan dengan Gaji Tinggi, Tanggung Jawab Moralnya Ekstra MOJOK.CO

MOJOK.COSalah satu pekerjaan dengan gaji tinggi dan sangat diminati adalah data scientist. Gajinya memang tinggi, setinggi tanggung jawab moralnya.

Satu dekade lalu, seorang pria datang dan marah-marah kepada manajer toserba Target di Minneapolis, Amerika Serikat. Pria itu tidak terima kalau putrinya yang masih SMA dikirimi penawaran promosi berupa kupon untuk berbelanja perlengkapan bayi di toserba itu.

Dia menuduh toserba tersebut mendorong putrinya itu untuk hamil. Sang manajer Target bingung, nggak paham sama omongan pria itu. Namun demikian, dia tetap meminta maaf.

Beberapa hari kemudian, dia menelepon pria itu untuk sekali lagi meminta maaf. Tapi tak disangka, pria itu menjawab bahwa setelah berbicara dengan putrinya, ternyata putrinya memang hamil. Dengan kata lain, dari riwayat belanja sang putri, Target telah secara akurat memprediksi bahwa dia memang sedang hamil.

Mekanisme predictive analytics memang digunakan Target untuk menyasar pelanggan baru dan mempertahankan pelanggan lama dengan lebih efektif. Apa itu predictive analytics? Itu tuh, contohnya seperti rekomendasi barang belanjaan di aplikasi marketplace atau online shopping (e-commerce) kalian.

Predictive analytics adalah pemanfaatan Big Data yang memadukan paling tidak dua bidang keilmuan, yaitu psikologi untuk menganalisis perilaku pelanggan dan data analysis untuk menganalisis data transaksi pelanggan.

Profesinya dikenal sebagai data analyst, atau yang levelnya lebih kompleks lagi, data scientist, salah satu pekerjaan dengan gaji tinggi yang lagi banyak dicari.

Dalam konteks online shopping, bermodalkan data transaksi pelanggan yang sudah ada, perpaduan dua ilmu tadi menghasilkan serangkaian fitur yang diprediksi akan mendorong pelanggan untuk berbelanja lebih banyak (membeli barang yang direkomendasikan). Semakin besar volume data yang digunakan, semakin akurat prediksinya.

Data scientist, pekerjaan dengan gaji tinggi, peminat minim

Dilansir dari kompas.com, untuk menjadi data scientist, seseorang antara lain harus memiiki keahlian di bidang statistik dan matematika, lalu menguasai teknik data mining dan machine learning (modyar!). Dengan menjamurnya start-up dan revolusi industri 4.0, profesi ini termasuk profesi yang paling dicari. Paling tidak hingga beberapa tahun ke depan.

Syarat jadi data scientist jempolan memang nggak mudah. Paragraf di atas sudah sangat menggambarkan pusingnya menekui karier ini. Namun, kalau dari sisi pendapatan, profesi data scientist cukup menarik. Profesi ini jadi salah satu pekerjaan dengan gaji tinggi. Selain itu, ke depannya, bakal makin dibutuhkan.

Berdasarkan data dari Bureau Labor Statistics (BLS), kesempatan profesi data scientist diproyeksikan mengalami pertumbuhan sebesar 14 persen di 2028. Terus, soal gaji gimana? Katanya jadi pekerjaan dengan gaji tinggi?

Untuk level entry-level, seorang data scientist bisa membawa pulang Rp90 juta per tahun atau Rp7,5 juta per bulan. Fokusnya pada latihan dan pembelajaran.

Nah, untuk level senior atau “level ahli”, seorang data scientist bisa mengantongi gaji sampai Rp340 juta per tahun, belum termasuk bonus dan tunjangan setiap periode tertentu. Makanya, profesi data scientist bisa jadi salah satu rekomendasi karier untuk masa depan. Maklum, sebagai pekerjaan dengan gaji tinggi, peminatnya terbilang masih cukup kecil.

Seiring pesatnya perkembangan e-commerce di dunia, kebutuhan akan data scientist bakal terus meningkat. Mumpung masih baru akan menanjak, tidak ada salahnya kamu menjadikan pekerjaan dengan gaji tinggi ini sebagai pilihan karier.

Beratnya tanggung jawab moral data scientist 

Selain e-commerce, industri yang identik dengan predictive analytics dan data scientist adalah, tentu saja, media sosial. Instagram, TikTok, Facebook, dan sekian platform medsos lainnya berlomba-lomba untuk memprediksi konten-konten yang akan mendapatkan perhatian kalian (yang kapasitasnya terbatas).

Ini dilakukan karena prediksi yang paling akurat akan berpotensi mendatangkan jumlah pengiklan (atau konten bayaran) paling banyak. Makin banyak pengiklan, tentunya makin banyak cuan.

Nggak peduli kalian kecanduan konten atau tidak dan nggak peduli apakah konten tersebut bermanfaat atau sampah, fakta atau hoax. Inilah yang dinamakan attention economy. Jadi, meski jadi pekerjaan dengan gaji tinggi, beratnya tanggung jawab moral yang dibawa udah terasa, kan?

Attention economy dan dampak negatif medsos pernah ditekankan di film The Social Dilemma yang dirilis tahun lalu di Netflix. Lewat film tersebut, kita mengerti bahwa selain predictive analytics, algoritma medsos khususnya Facebook memang dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk misi tertentu yang berdampak semakin mudahnya masyarakat untuk terpecah.

Contoh nyata yang bikin geger dunia ya saat terkuaknya skandal Cambridge Analytica (CA) berkat data scientist yang berani speak up pada 2018 lalu. Cambridge Analytica, bermodalkan puluhan juta data pengguna Facebook yang diperoleh secara ilegal, berperan cukup signifikan dalam mengarahkan opini massa di AS untuk mendukung Donald Trump.

Cambridge Analytica juga diduga terlibat menggiring Inggris untuk memilih meninggalkan Uni Eropa dalam referendum Brexit. Induk perusahaan CA, yaitu SCL Elections pun bergerak di bidang yang kurang lebih serupa dan diduga telah beroperasi di 32 negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Christopher Wylie adalah seorang data scientist yang menjadi whistleblower dalam kasus CA ini. Ketika diwawancara majalah Time, Wylie mengemukakan bahwa yang dia kira dia lakukan di awal, yaitu bekerja dengan database dalam sebuah project, ternyata di akhir memiliki konsekuensi berbahaya untuk masyarakat. Misalnya, mudahnya penyebaran hoax, propaganda, rasisme, serta radikalisasi. Orang-orang bisa saling menyakiti ketika hasil pekerjaan dengan gaji tinggi ini dipakai untuk mewujudkan niat jahat.

Kesadaran moral inilah yang akhirnya mendorongnya untuk menjadi whistleblower. Selain Wylie, baru-baru ini terpublikasikan sekian dokumen internal Facebook ke publik oleh Frances Haugen, seorang whistleblower yang sebelumnya adalah data scientist dan product manager di platform medsos itu.

Sejumlah dokumen internal ini, antara lain, mengemukakan bahwa algoritma Facebook “memupuk” terjadinya perselisihan para pengguna. Selain itu, Instagram adalah lingkungan yang toxic khususnya bagi remaja perempuan. Konon, kartel narkoba dan jaringan perdagangan manusia juga menggunakan Facebook secara terbuka.

Satu lagi seorang data scientist Facebook yang berubah menjadi whistleblowerSophie Zhang. Dalam kesaksiannya di hadapan parlemen Inggris baru-baru ini, Zhang, antara lain menuturkan tentang timpangnya upaya Facebook dalam memberantas akun-akun palsu terorganisir yang jumlahnya bisa mencapai ribuan di dalam suatu negara apabila Facebook tidak menganggap penting negara tersebut.

Akun-akun palsu ini digunakan untuk menggiring massa guna mendukung politisi tertentu. Zhang mengungkapkan kekhawatirannya, khususnya bagi negara-negara dengan pemimpin otoriter, yang menggunakan platform ini untuk memanipulasi warganya sendiri.

Memang, untuk memberantas akun palsu ini, Facebook harus memiliki sumber daya untuk memahami bahasa lokal negara terkait. Namun, Zhang kemudian membandingkannya dengan sumber daya yang dialokasikan untuk menangani Facebook ads yang mana tidak pernah kekurangan. Tuh kan, demi cuan lagi.

Kenapa banyak dari kita begitu mudahnya menyebarkan hoax?

Antara lain ya karena hoax atau fake news memang didesain untuk menggugah emosi kita entah itu rasa takut, marah, atau terkejut. Dikaitkan dengan attention economy tadi, konten seperti ini secara psikologi akan lebih mudah menangkap perhatian kita. Kita menganggap bahwa ini berita yang penting. Oleh sebab itu, kita terdorong untuk membagikannya ke jaringan medsos kita, dan seterusnya.

Cambridge Analytica dan induknya sudah berhenti beroperasi. Publik dan para pembuat kebijakan pun semakin melek terhadap dahsyatnya pengaruh medsos di masyarakat.

Namun, selama belum ada regulasi yang agile atau lincah, yang mampu mengimbangi laju perkembangan inovasi. Kita bisa menebak bahwa akan muncul lagi entitas seperti keduanya.

Ujungnya ya tetap akan merebak juga konsekuensi negatif medsos di masyarakat. Maka dari itu, sah-sah saja, kan, kalau mengatakan bahwa profesi data scientist seperti ketiga whistleblower di atas memiliki tanggung jawab moral yang ekstra? Boleh jadi pekerjaan dengan gaji tinggi, tapi godaannya tuh serem juga.

Perkara medsos, udah denger belum, rencana Donald Trump untuk meluncurkan platform-nya sendiri, TRUTH Social? Penasaran sih nanti konten-kontennya seperti apa, lumayan juga buat bahan ghibah.

Tapi saya penasaran juga: Twitter dan Facebook kan sudah memblokir Trump dari kedua platform itu ya. Kira-kira, mungkin nggak ya esok ke depannya platform medsos baru ini juga memblokir Trump karena saking terlalu fake-nya konten yang dia sebarkan? Bakal lucu banget, sih.

BACA JUGA Profesi PNS Adalah Kebanggaan Orang Tua yang Masih Abadi dan ulasan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version