MOJOK.CO – Keperjakaan saya hilang ketika masih bocah SMP kelas tiga. Sebuah pengalaman panas nan spesial bersama PSK di Kota Palu.
“Apa yang sedang kurasa, apa yang sedang kau rasa, adalah nganu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ketika jiwamu, merasuk ke dalam… aliran darahku dan meracuniku.”
Penggalan lirik “Mistikus Cinta” dari Dewa 19 yang dinyanyikan ulang oleh Endank Soekamti itu memang agak ngawur. Itu cuma produk pikiran saya yang terlalu saru untuk kemudian memplesetkan bagian “ketika jiwamu merasuk ke dalam” menjadi “ketika anuku, merasuk ke dalam aliran anumu dan menggaulimu”. Saru tenan.
Sebagai fans lagu-lagu dari Dewa 19, saya mendadak malu sekaligus tergelitik untuk menulis tingkah laku saya. Khususnya ketika SMP kelas tiga di Kota Palu, Sulawesi Tengah, yang terbilang tidak wajar untuk anak seusia saya. Untuk konteks, saya lompat dari TK 0 kecil langsung ke kelas satu SD. Bukan karena pintar, tapi saya bosan dengan pelajaran TK.
Awal mengenal PSK di Kota Palu
SMP kelas tiga versi saya adalah fase nakal dan pembuktian beberapa hal. Pergaulan saya tidak hanya di lingkungan sekolah saja, tapi dengan anak-anak lain di sekitar rumah.
Kebetulan, di area saya tinggal, ada sekelompok anak-anak yang menamakan dirinya “Imagine”. Saya lupa singkatannya. Lalu ada kelompok lain bernama “Gatsu” dan ada juga beberapa anak dari kelompok yang berjauhan geng tapi tinggal di dekat rumah. Nama kelompok itu termasuk salah satu dari dua nama yang ditakuti di kota Palu; “Nero-Nero”, nama kelompok yang berpusat di Jalan Anoa, Kota Palu.
Saya dekat dengan kelompok “Gatsu”, akronim dari nama jalan Gatot Subroto alias anak-anak yang tinggal di jalan itu. Walau saya berstatus anak mami yang manja, saya cukup diterima di pertemanan itu.
Ada tiga teman yang punya andil besar dalam perkenalan saya dengan beberapa kenakalan, PSK, dan lokalisasi terbesar di kota Palu, yaitu Tondo (Tondo Kiri). Yang pertama Jimi, kedua Anton, dan terakhir Beni. Nama terakhir juga hilang keperjakaan di level SMP, sama kayak saya.
Halte sebagai pusat
Suatu hari, selepas pulang sekolah dan ganti pakaian, saya, Jimi, dan seorang teman pemilik toko kelontong bernama Hendra janjian nongkrong di halte bus di depan SMP. SMP saya ada di Jalan Gatot Subroto, salah satu jalan ramai dan halte bus-nya termasuk tempat yang disukai anak-anak dari beberapa kelompok tadi untuk nongkrong menghabiskan waktu di pusat Kota Palu.
Jangan berharap ada hiburan menarik di Kota Palu tahun 90 awal. Kalau nggak ke pantai, ya nongkrong di ujung gang, depan rumah orang, taman GOR yang tidak terurus, atau ke tempat gelap sambil menggandeng PSK.
Halte SMP 1 termasuk yang paling populer, dekat dengan warung milik Hendra, ada telepon umum yang masih menggunakan koin, dekat dengan penjual minuman keras, biliar dan kos perempuan penjaga billiar. Bisa dibilang halte itu berada di area yang terbilang ramai.
Saya, Jimi, dan Hendra sudah duduk di halte itu sejak pukul tiga sore. Yah, bisa dibilang kami hanya melihat mobil lalu-lalang, anak-anak SMP kelas satu dan dua yang selesai les, orang pulang kerja, dan kesibukan warga Kota Palu di sore hari, dan lain sebagainya.
Obrolan kami tidak keruan. Dari ayam bangkok bagus, motor Tiger yang lagi digandrungi, mitos hantu di gedung tua dekat rumah saya, orang gila yang menempati reruntuhan bangunan di tanah kosong, sekolah yang membosankan, babi itu enak dan tidak haram, sampai akhirnya soal lokalisasi PSK di Tondo.
Daya tarik lokalisasi di Kota Palu
Jimi yang sudah beberapa kali ke Tondo mengantarkan temannya menceritakan detail bagaimana kerlap-kerlip lokalisasi dan PSK menjadi daya tarik tersendiri di Kota Palu kala itu. Musik mengalun kencang dari setiap rumah, lalu di setiap titik seakan ada perempuan-perempuan cantik.
Tondo sendiri punya luas sekitar lima ribu meter persegi. Mungkin malah lebih karena saya pernah membandingkannya dengan Sarkem di Jogja dan Saritem di Bandung yang tidak ada apa-apanya. Bahkan kita keliling saja bisa naik motor dan naik mobil di beberapa area di Tondo.
Sebenarnya saya sudah tidak kaget dengan kisah hubungan badan. Sudah banyak kejadian yang pernah saya dengar terjadi di sekeliling saya saat itu. Belum lagi film bokep dengan format kaset VHS sudah banyak disewakan di beberapa rental bawah tanah di kota Palu. Jadi, berhubungan seks secara ilegal menjadi hal yang biasa untuk beberapa orang dan tidak menjadi hal yang fenomenal ketika mendengar kisah-kisah di atas ranjang.
Tidak berapa lama, Mas Kodi menghampiri kami. Kodi, dalam bahasa Palu, artinya ‘kecil’. Mas Kodi ini memang kecil, kerempeng. Dia penjual jajanan di depan SD Negeri 3 Kota Palu yang bersebelahan dengan SMP saya. Mas Kodi membawakan kami jajanan sisa lapaknya, lalu ikut nimbrung obrolan kami. Dia berasal dari Jawa. Selain jualan jajanan dan buka warung kelontong di rumah, dia juga punya dua motor yang bisa disewakan ke orang-orang dekatnya.
Mas Kodi bercerita kalau beberapa hari lalu motornya disewa oleh Anton, pamitnya sih pergi ke Tondo. Seperti gayung bersambut, saya lalu bertanya berapa harga sewa motornya. Mas Kodi menjelaskan, kalau buat saya, Rp10.000 saja, bensin sudah terisi. Tapi, karena saya belum lancar bawa motor, dia tidak mengizinkan saya untuk menyewa, kecuali dibawa oleh Beni atau Jimi.
Saya lalu melirik Jimi. Seperti paham maksud saya, Jimi mengiyakan perkataan Mas Kodi dan berkata, “Tenang, nanti saya yang bawa.”
Motor penarik perhatian PSK
Seketika kunci Yamaha Force 1 generasi awal langsung diserahkan kepada Jimi. Motor mentereng pada zamannya itu mampu menyihir Jimi dan membuatnya semangat berkata, “Ke Tondo kita nanti malam!” Kami berempat tertawa kencang di halte mendengar kalimat itu.
Pukul enam sore, saya sudah selesai mandi, makan malam duluan dari orang rumah, dan sudah bersiap jalan-jalan. Saya janjian bertemu di halte dengan Jimi. Saya tiba lebih dulu. Bersemangat melihat PSK di lokalisasi termasyhur di Kota Palu. Selang setengah jam, Jimi datang menggunakan motor sewaan.
Suara khas trentenggteeng knalpot motor dua tak terdengar nyaring, berhenti di depan saya. Tanpa mematikan mesin motor, Jimi meraih “helm ciduk” dan memberikannya kepada saya sembari berkata, “Mari jo, langsung saja, nanti anak-anak lain baliat kita mo jalan batanya-tanya lagi kita mo kemana.”
Motor sudah melaju dari arah Gatot Subroto, ke arah Pantai Talise, RS Undata, sampai ke arah perempatan STQ. Sambil berkendara, Jimi sedikit berteriak dari depan.
“Kalau kita cuma baputar-putar begini, malas saya.”
Saya kena umpan. Spontan saya jawab, “Ke Tondo jo kita, keliling-keliling saja baliat dalamnya.” Tanpa babibu, Jimi langsung mengarahkan motor ke arah kampus Tadulako.
Tingkah Jimi
Oiya, buat yang kalian yang belum tahu, dulu Tondo ada di dekat kampus. Berseberangan dengan area kampus Tadulako dan ada di dekat pantai Kota Palu, tidak di pinggir jalan, tapi agak masuk ke arah bibir pantai.
Area jalan tanah dan berpasir kami lewati setelah masuk dari jalan raya aspal yang mengarah ke Pelabuhan Pantoloan. Motor kami berhenti sebelum masuk gerbang lokalisasi Tondo, tertutup semak-semak liar, standar samping diturunkan oleh Jimi.
Setelah itu, dia mematikan mesin motor lalu berjalan menuju semak-semak. Gestur tubuhnya seperti mau kencing. Sambil merokok dari atas motor, saya memperhatikan tangan kiri Jimi tetap berada di depan memegang resleting celananya. Sementara itu, tangan kanannya merogoh sesuatu dari kantong celana jeans ketat yang dipakainya.
Magic Power
Dia berpaling, kepalanya mengangguk-ngangguk dari jauh sambil melihat saya, memberi kode agar saya menghampirinya. Sambil mengisap rokok, saya berjalan pelan menghampiri Jimi sementara di belakang saya ada motor yang lewat memperhatikan kami kemudian berlalu begitu saja ke arah lokalisasi.
Jimi lalu menyodorkan benda tipis berukuran kecil, berwarna hitam, dan ada foto wanita bule tersenyum di bagian depannya. Itu tissue magic, atau lebih dikenal dengan nama Magic Power saat itu.
“Apa ini? Jangan aneh-aneh kau e! Sa te mau minum-minum obat!” Kata saya.
“Ee anak bodo! Ini tisu mejik. Oles akan di ngana pe kepala tonti, bisa satu jam lebih kau bakunae PSK!” Jawabnya tegas.
Kata tonti itu sebutan orang Kota Palu untuk ‘kelamin laki-laki’. Sementara bakunae atau bakeju itu ‘berhubungan badan’. Silakan artikan sendiri kalimat-kalimat dengan bahasa Palu yang sering saya gunakan di sini ya. Nggak susah, kok.
Nah, kata tonti ini sempat juga membuat saya geli ketika SMA di Jogja. Di Jogja, Tonti sering digunakan sebagai akronim dari Peleton Inti untuk Paskibraka.
Saya bertanya kepada Jimi cara menggunakan tisu tersebut. Dari penjelasannya, tisu basah ini cukup dioleskan di bagian kepala kelamin saja, jangan ke semua bagian, karena bisa berakibat hubungan badan akan sangat-sangat dan sangat lama karena kebas dan tidak berasa apa-apa, alat kelamin bisa lecet, dan akibatnya sang PSK akan marah karena terlalu lama.
Setelah mencobanya, saya simpan lagi tisu itu di kantong belakang saya. Jimi sudah sangat siap menerjang pintu gerbang Tondo dengan menyalakan motor dan menggigit rokok yang sudah dibakarnya sambil asapnya diisap lalu dihembuskan berulang kali. Sudah seperti banteng mengamuk di film-film kartun Walt Disney.
Pintu masuk lokalisasi terbesar di Kota Palu
Saya naik ke jok motor, menghela nafas panjang karena belum tahu apa yang akan terjadi di dalam nantinya. Pertanyaan berulang tentang apakah saya akan melakukan hubungan badan atau tidak muncul di kepala.
Apakah rasanya aneh melihat PSK telanjang secara langsung dan badannya menempel di tubuh kita? Lalu, seperti apa jadinya ketika kelamin perempuan bertemu dengan kelamin laki-laki. Sakitkah? Geli atau malu satu sama lain?
Kami semakin mendekat, terlihat dari kejauhan cahaya lampu lima watt warna-warni menghiasi beberapa bagian depan rumah yang terlihat dari arah jalan masuk. Dada saya mulai berdegup kencang hingga kami sampai di depan gerbang atau mirip seperti gapura pintu masuk lokalisasi di Kota Palu itu.
Ada dua orang penjaga yang duduk santai yang langsung berdiri ketika melihat motor kami mendekat. Jimi mengeluarkan uang Rp1.000 rupiah dari kantongnya lalu memberikannya kepada penjaga tadi sebagai syarat masuk area lokalisasi.
Baru saja beberapa meter kami meninggalkan gerbang, saya menepuk pundak kanan Jimi berulang kali, menyuruhnya melihat rumah kecil di sisi kanan. Di sana berdiri seorang wanita berparas menarik tersenyum kepada saya.
Di sebelahnya seorang ibu-ibu gendut memegang rokok yang terbakar memelototi kami sambil tertawa lalu berkata.
“Ee kodi, pi pulang jo sana ke rumah, jangan kemari, ngana pe tonti belum bisa masok dengan kita pe pepe!” Saya kaget lalu berbisik kepada Jimi. “Tailaso itu ina-ina, bek, merasa cantik sekali.”
Kodi atau kecil, sebutan bagi anak SD-SMP yang sering digunakan dan disalahartikan sebagai hinaan anak ingusan. Sementara ina-ina adalah sebutan yang sering digunakan untuk ibu-ibu khususnya pedagang di pasar tradisional.
Tondo yang lengang
Kami berjalan pelan menggunakan motor memasuki area Tondo. Suasananya tidak terlalu ramai pengunjung karena itu bukan akhir pekan. Saya jadi bisa dengan sangat jelas melihat situasi bagian depan area lokalisasi di Kota Palu itu.
Banyak perempuan yang duduk sambil mengobrol. Ada yang bernyanyi sambil mendengarkan musik yang diputar keras dari dalam rumah, ada PSK yang berdiri di pinggir jalan, dan ada yang sedang mengobrol bersama laki-laki di atas motor dan saya yakin mereka sedang negosiasi.
Kami berdua jadi pusat perhatian karena suara motor dua tak yang nyaring. Kami selalu dilihat oleh beberapa perempuan yang kemungkinan PSK, yang berada di situ setiap kali lewat di depan mereka.
Ada yang berteriak memanggil sayang, ganteng, anak kodi, dan sebagainya. Kami berjalan semakin ke area tengah lokalisasi, mulai terlihat lampu-lampu neon boks merek-merek minuman seperti bir, merek rokok, dan beberapa di antaranya ada ruang tamu yang dihiasi lampu kerlap-kerlip.
Ciri spesifik Tondo
Area lokalisasi ini mirip beberapa daerah permukiman di Kota Palu. Tidak ada yang benar-benar nyeleneh seperti di Doli atau lokalisasi besar lain; menggunakan kaca besar hingga disebut aquarium.
Di Tondo, tidak ada PSK yang duduk bergerombol di depan kaca ruang tamu. Aktivitas mereka biasa saja, layaknya penduduk yang lagi santai di rumah masing-masing. Kalau bosan, mereka akan masuk kamar dengan risiko kehilangan potensi mendapat tamu.
Apalagi saat itu tidak ada guide seperti di Saritem. Tondo hanya mengandalkan panggilan-panggilan mesra mereka dari teras atau depan rumah tiap kali laki-laki seperti kami lewat di depan mereka.
Poco-poco
Hampir 10 menit kami berkeliling, lalu berhenti di salah satu warung kopi di antara rumah-rumah tadi. Pantat saya belum menempel kursi, dari sebelah warung terdengar seorang PSK memanggil saya.
“Hai ganteng, poco-poco sekali ngana, sini jo sama kakak bacerita, masa ke sini cuma mau minum Sprite.” Poco-poco itu mirip seperti istilah ‘unyu-unyu’ di zaman sekarang, atau menggemaskan untuk ukuran anak ingusan.
Saya dan Jimi nggak mau menanggapi perempuan yang punya aksen Jawa-Sulawesi itu. Suaranya memang terdengar merdu, menggunakan kaos berwarna gelap dan rok pendek. Karena malu, saya tidak jadi memesan minuman bersoda. Saya malah memesan kopi susu panas dan pisang goreng, yang di awal tidak ada rencana untuk mampir dan sekedar nongkrong di sini.
Yah, punya niat dan pikiran 100 persen berangkat ke Tondo saja tidak punya. Jimi duduk menghadap jalan sambil mengisap rokok, wajahnya terlihat gelisah, nafasnya naik turun, dan bola matanya kesana-kemari memperhatikan sekeliling warung.
Bingung memilih rumah
“Jadi pas ngana kemarin ke sini, ke rumah yang mana dang?” Tanya saya memecah kebisuan kami berdua.
Jimi melirik saya, lalu menoleh ke belakang melihat si pemilik warung dan anaknya yang sedang menyiapkan pesanan kami.
“Kau bawa uang berapa?” Balas Jimi kepada saya.
Saya merogoh kantong kiri, mengeluarkan tiga lembar 10 ribuan dan satu lembar lima ribuan. Saya sodorkan kepadanya dan berkata. “Segini.”
“Hah? Mau bakeju berapa kali ngana?” Tanyanya kaget.
“Memangnya berapa satu kali main di sini, dang?”
“Kalau 10 ribu itu so dapat yang lumayan, kalau 15 sampai 25 itu so macule (spesial) sekali.”
Tarif PSK yang saya jelaskan di sini memang sesuai dengan zaman, ya. Jangan bayangkan masa sekarang. Pastinya sudah sangat jauh, nggak cuma di Kota Palu, tapi di semua tempat.
Saya bingung juga sebenarnya, kalau sudah kesini apakah harus main sama PSK atau tidak? Keraguan saya sedari awal memang tidak saya ceritakan kepada Jimi. Gengsi, lagipula saya memang penasaran karena sering mendengar cerita tentang lokalisasi di Tondo ini.
Pesanan kami datang, bersamaan dengan itu sang pemilik warung menyambung obrolan kami dan berkata.
Info dari pemilik warung
“Kalau ngoni mau main, coba ke jalan dekat perempatan rumah warna merah itu, belok ke kiri cari rumah warna hijau. Dia pe pagar rumah tembok semua, ada gerbang kecil untuk motor masuk. Kalau ngoni suka yang sipit-sipit atau putih macam Eva Arnaz.” Kata si penjual.
Jimi melirik saya, tangan kirinya meraih pisang goreng, memberi kode agar kami bergerak ke rumah yang dimaksud. Saya membalas dengan menjawab pelan, “Torang kasih habis dulu ini kopi sama pisang, baru kita pigi sana.”
Mesin motor dihidupkan oleh Jimi, saya mengeluarkan lagi selembar uang lima ribuan, memberikan kepada penjual lalu menyeruput sisa kopi susu sambil menunggu kembalian. Setelahnya menganggukan kepala bersama kepada pemilik warung sebagai tanda terima kasih, kami berjalan pelan menuju rumah hijau dengan pagar tembok yang diceritakan tadi.
Di atas motor saya bertanya kepada Jimi, bagaimana caranya bertanya harga kepada PSK. Apakah sama seperti kita membeli sesuatu di toko di Kota Palu. Bisa ditawar atau tidak. Jimi hanya menjawab semua akan diatur olehnya, saya hanya ikut saja dan kasih kode apabila ada yang cocok.
Nafas saya makin sesak, degup jantung semakin kencang, dan perlahan keringat terasa membasahi dahi dan leher saya. Rasanya dingin ketika tertiup angin laut.
PSK dengan rambut BOB
Belum sampai kami ke perempatan dan belok ke kiri, dari sebelah kanan di seberang rumah merah dekat perempatan, saya dipanggil oleh seorang PSK. Dia berdiri di teras hanya menggunakan celana pendek dan kaos putih gombrong bermotif gambar-gambar sablonan batik abstrak seperti oleh-oleh pakaian kaki lima dari Bali dan Jogja.
Suaranya terdengar manja memanggil kami berdua. Dia hanya berdiri sendiri, potongan rambut dengan model BOB, menggunakan aksesori di tangan yang membuatnya bergaya mirip hipster dan tidak pernah saya lihat sebelumnya di Kota Palu.
Saya menepuk lagi pundak Jimi dan memintanya berhenti. Dengan percaya diri, helm masih menempel dan rokok yang menyala, saya menyeberang meninggalkan Jimi untuk menghampiri wanita berambut BOB itu.
“Iya, kenapa dang cewek?” Tanya saya dengan gugup dan bodoh, merasa cukup ganteng, dan percaya diri di tengah lokalisasi.
Wanita itu tersenyum lebar dan berkata, “Mau ke mana ngana? Masih sekolah dang? So bisa bakeju kah kau ini?” Saya shock, ada juga yang kepikiran dan bertanya seperti itu.
Rasa apa ini?
Badan saya seperti kesemutan, muka terasa memerah melihatnya tersenyum seperti merasa menang, berhasil menunjukkan fakta bahwa saya seorang anak kecil. Saya tidak balas menjawab pertanyaannya tapi malah berkata, “Maaf so baku janji dengan rumah hijau dekat perempatan itu. Nanti besok atau kapan hari saya ke sini lagi.”
Wanita itu tersenyum, mengangguk, lalu kembali bertanya, “Ngana te jawab tadi, so bisa bakeju kah? Kalau belum, saya kasi tau bagaimana caranya supaya te salah. Tapi sudah jo kalo so baku janji den orang lain. Besok kalau ke sini, datang kemari e, lucu ngana pe muka.”
Dengan perasaan aneh saya kembali menyeberang mendatangi Jimi yang heran melihat saya. Mungkin pikirnya saya belum pernah ke Tondo dan tahu-tahu sudah ngobrol dengan pede-nya kepada PSK. Kami berlalu meninggalkan wanita BOB itu.
Sambil berlalu, saya berbicara di dalam hati. Saya harus ingat perempuan itu, harus saya rekam dengan baik ciri-cirinya: rambutnya pendek, berkulit kecokelatan dengan tinggi sekitar 160 sentimeter. Kalau ke sini lagi, saya harus ke tempatnya supaya tidak dibikin malu seperti tadi. Dan rasanya, dia yang dimaksud macule atau spesial seperti kata Jimi tadi. Tunggu saja.
Rumah bercat hijau
Motor kami berbelok ke kiri di perempatan yang dijelaskan penjual kopi tadi, sementara si wanita berambut BOB itu tadi sudah tidak kelihatan, tertutup bangunan di seberang rumah tempatnya menunggu tamu.
Kami berhenti di depan sebuah rumah berpagar tembok setinggi sekitar satu meter. Bangunan dalamnya berwarna hijau dan ada pintu gerbang kecil yang hanya cukup orang dan motor saja yang bisa masuk.
Jimi dan saya saling bertatapan di atas motor, sementara dari arah pintu rumah ada seorang perempuan berusia antara 25 hingga 30 tahun memandang kami sambil memegang segelas minuman. Matanya menatap kami, dan saya yakin dia menduga kami adalah tamu yang akan masuk ke rumah hijau itu.
Tidak seperti rumah lain di situ, selain lebih terang, rumah ini lebih cocok sebagai bangunan yang ditempati oleh warga biasa di Kota Palu. Kami menjadi ragu apakah ini rumah hijau yang dimaksud bapak di warung tadi? Tidak berapa lama, perempuan itu berjalan ke arah kami, mukanya datar, sampai akhirnya dia berdiri di depan pintu gerbang lalu bertanya kepada kami.
Pemandangan yang membuat saya mematung
“Mau cari perempuan kah?”
“Iyo tante, saya dikasih tau sama bapak di warung kopi itu tadi,” sahut Jimi.
“Tante, tante, ngana pe tante? Kita ini masih muda, tailana,” balasnya dengan nada judes.
Perempuan itu menyuruh kami masuk dan memarkirkan motor di halaman rumah. Seperti yang saya bilang tadi, rumah ini biasa saja, hanya ada sofa murah dengan kondisi bagus di ruang tamu dan dua kamar yang salah satu pintu kamarnya berhadapan dengan sofa itu. Rumah yang “biasa saja”, yang ada di Kota Palu. Tidak seperti rumah tempat PSK melayani tamu-tamunya.
Kami kemudian diajak masuk ke dalam, menuju ruang bagian tengah. Terdengar suara dari beberapa perempuan yang sedang mengobrol. Jarak ruang tamu menuju ruang tengah itu hanya berbatas dua kamar di sisi kiri dan tiga kamar di sisi kanan. Bentuk rumahnya memanjang ke belakang yang membuatnya terlihat tidak begitu besar dari jalanan tempat saya berhenti tadi.
Ada lima orang perempuan yang sedang duduk di ruang tengah, tiga perempuan sedang asik mengobrol, satu perempuan sibuk melahap makanan sambil melihat televisi, sementara seorang lagi hanya duduk diam dan tiba-tiba memalingkan mukanya ke arah kami bertiga yang berdiri di ujung lorong ruangan yang menghubungkan ruang tamu dan ruang tengah. Si perempuan yang menyambut kami tadi menegur mereka berlima, memberi isyarat bahwa ada tamu. Saya dibuat mematung dengan pemandangan ini.
Si Lulu Tobing
Tiga perempuan yang sedang asyik mengobrol berbisik satu sama lain, melihat saya, Jimi, lalu kembali melihat saya. Dua Perempuan lain hanya memperhatikan kami sekadarnya, seperti ogah-ogahan menyambut kedatangan kami. Nama mereka lalu disebutkan satu per satu oleh perempuan yang membawa kami masuk. Paras mereka semuanya menarik, tapi tidak secantik artis-artis yang saya lihat di televisi.
Seorang perempuan yang sedari awal terlihat dingin menarik perhatian saya. Sementara itu, bola mata Jimi masih melirik ke kiri dan ke kanan, sambil sesekali menghisap rokok. Seketika saya membuyarkan konsentrasinya dan berbisik, “Yang pendiam, rambut pendek sebahu itu mirip Lulu Tobing e?” Jimi lalu melirik perempuan dingin itu lalu melihat saya, dia mengangguk, seakan paham bahwa saya tertarik dengan perempuan itu.
Tanpa berlama-lama, Jimi menghampiri salah satu dari tiga perempuan yang menonton TV tadi, tingginya sekitar 150 sentimeter, berparas manis, wajahnya tidak berkarakter orang Sulawesi dengan mata yang sayu, mampu mengirimkan sinyal daya tarik ke lawan jenis dan bisa menjaring siapa saja yang menatapnya.
Setelah bersalaman, menggandeng tangan Jimi, perempuan yang bersamanya lalu berkata “Ini temanmu bagaimana? Tidak ada yang cocok kah?”
Jimi melirik saya. Kode agar saya segera memilih. Tapi bukan persoalan tidak cocok, dari awal saya berdiri bersandar di tembok di ruang tengah itu saya sudah ketakutan, bingung mau berbuat apa seandainya salah satu dari mereka menggoda dan mau dengan saya.
Benar saja, dua orang yang masih duduk karena temannya sudah dipilih Jimi lalu menegur saya dengan nada nakal. “Seleramu memang seperti apa dang, ganteng? Kita kurang cantik kah?”
Saya hanya diam, berpaling kepada Jimi yang makin seperti banteng kartun mengenduskan asap dari hidung karena isapan rokoknya semakin kencang.
“Ngana pe teman so natodo itu, so di ubun-ubun, jangan jo lama-lama bapilih,” kata si perempuan yang membawa kami masuk. Natodo atau konak dalam bahasa Kota Palu, atau sange yang sudah tidak tertolong.
Yang judes yang menggairahkan
Saya melirik lagi sosok perempuan berambut sebahu yang mirip Lulu Tobing itu. Kami saling menatap beberapa saat. Saya melihatnya dari ujung kaki hingga rambut, pun sebaliknya. Entah ini komunikasi batin, tiba-tiba si perempuan menjulurkan tangannya, seperti seorang perempuan yang ingin menggandeng pacarnya walaupun dengan raut wajah yang dingin seperti tidak ada rasa suka sama sekali.
Saya makin bingung, terdiam, dan masih belum tahu mau bereaksi apa. Spontan dan terasa konyol, saya balas ajakan itu dengan bertanya, “Berapa? Bagaimana caranya, saya bayar dulu di sini atau nanti?”
Keheningan ruang tengah itu dipecahkan dengan suara tawa dari semua perempuan yang ada di situ. Si perempuan dingin itu pun ikut tertawa pelan, seakan mengejek sikap saya yang konyol.
Dia kemudian berdiri menghampiri saya dengan muka kesal bercampur gemas melihat saya yang semakin keringatan ditertawakan di depan banyak orang. Tangannya kemudian menarik saya, menuju kamar yang ada di bagian belakang, dekat dengan kamar mandi luar. Kamar ini biasanya digunakan untuk mereka yang menunggu temannya sedang mengendurkan syahwat di dalam kamar.
Saya berjalan di belakang wanita berambut sebahu itu, tangan kiri saya masih digenggam tangan kanannya. Kulitnya terasa halus, bau parfumnya sudah sering saya cium, seperti bau cologne yang mudah ditemui di supermarket atau toko kelontong di dekat rumah. Kami sampai di pintu kamar kedua di bagian belakang, saya menoleh ke belakang dan melihat ada seorang laki-laki lain barusan masuk ke ruang tengah, sementara Jimi entah ada di kamar yang mana.
Pikiran saya semakin kacau
Selangkangan saya terasa dingin dan badan rasanya lemas seperti kekurangan darah, sementara otak saya terus menggali pengetahuan tentang bagaimana berhubungan badan seperti yang saya pernah lihat di film-film bokep yang saya sewa bersama teman-teman.
Setelah membuka pintu, wajahnya berpaling melihat saya, kali ini dia tersenyum, tidak seperti tadi. Genggaman tangannya dilepas seraya berkata, “Kau tunggu sini dulu, saya ambil minum dulu di belakang. Jangan ke mana-mana, jangan sampe pingsan,” lalu dia terkekeh dan mencubit perut saya.
Saya masuk ke dalam kamar berukuran kurang lebih 4×3. Ada kasur kapuk di sisi kanan pintu kamar, lalu di pojok kiri sisi kiri kamar yang lurus dengan pintu ada tembok setinggi satu meter, dengan kran air yang dilengkapi sabun batangan, ember kecil, gayung dan handuk yang tidak teruji kebersihannya. Isi kamarnya sederhana, selain tempat tidur hanya ada meja kecil, lemari gantung plastik berukuran satu meteran dan kipas angin yang entah sudah sejak kapan menempel di dinding karena warna putihnya yang sudah kusam.
Sekitar lima menit menunggu, si perempuan datang membawa dua gelas air putih. Dia lantas meletakkannya di atas meja di sebelah tembok pembatas tempat cuci, lalu kembali lagi ke pintu untuk menutup dan mengunci pintu.
Hari bersejarah
Langkah demi langkah menjelang hari bersejarah ini saya perhatikan dengan sangat jelas, seperti sedang menikmati efek selesai mengisap ganja. Dari mulai dia datang sambil memegang gelas, meletakkannya di meja, suara langkah kaki, mengunci pintu lalu berdiri sebentar, melihat saya seperti sebuah objek dari prosesi sakral yang akan mengantarkan jenjang hidup saya ke level yang bahkan untuk anak SMP kelas tiga bukan hal wajar.
Tegangnya momen sunatan yang pernah saya alami sebagai momen paling menakutkan dalam hidup kala itu dikalahkan oleh ketegangan mendengar pintu terkunci dan deritan ranjang yang berbunyi pelan setelah dia duduk di sebelah saya dan memberikan pandangan serta raut wajah yang belum pernah saya temui sebelumnya. Jantung saya benar-benar berdegup kencang.
Tidak konak, tapi seperti ada cairan tubuh yang meletup-letup dari balik kulit tangan, leher, pantat, kaki dan kepala. Saya tidak bisa mundur karena tidak tahu bagaimana caranya, tapi kalau maju, harus berbuat apa?
Malam itu saya teringat bagaimana perasaan orang tua saya ketika tahu anaknya sedang berada di lokalisasi, yang tadinya hanya penasaran tapi malah sudah berada di dalam kamar, duduk di sebelah PSK yang siap memberikan pengalaman hidup yang akan melampaui pengalaman milik anak SMA, kuliah, atau mereka yang sudah menikah.
Ketegangan yang mulai menanjak
Malam itu muncul perasaan bahwa saya yang justru akan ditiduri oleh seorang perempuan, baru saya kenal, lalu setelah selesai saya akan dilupakan, ditinggalkan begitu saja dengan menyisakan ingatan membekas sampai belasan atau bahkan puluhan tahun kemudian. Oh Kota Palu tercinta.
Tapi sayang, ini bukan kisah sedih yang membuat saya bisa menangis lalu berlari keluar kamar, atau memohon untuk berhenti lalu memilih pulang. Ini kisah mesum, mau bagaimanapun alasannya, ini kesalahan yang saya buat dan suka atau tidak harus saya telan. Saya akan menjadi laki-laki yang tidak berpikir panjang dan apa saja alasannya, saya akan dicap terlalu cepat menjalani kisah hidup mesum.
Tangan kanan perempuan itu memegang lengan kiri saya perlahan, mencubitnya pelan dan berkata, “Ini baru pertama kah kau begini? Kenapa so bakeringat itu muka padahal belum mulai olahraga? Mau barokok dulu kah?”
Dia kembali tersenyum ketika memandang saya. Manis sekali. Sange sekali….
BERSAMBUNG….
BACA JUGA Seks dan Horor: Teror yang Mengiringi Panasnya Berahi dan kisah spesial lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Khoirul Fajri Siregar
Editor: Yamadipati Seno