Rezeki elang tak akan didapat oleh musang. Lagu ke-17, “Ojo Dibandingke”, menjadi hit. Dampaknya, banyak orang mengajak pria yang pernah menjadi TKI ini untuk berkolaborasi. Mulai “Si Ratu Ambyar” Yeni Inka hingga, ehmm, calon presiden 2024 sekaligus Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo.
Teranyar, 27 Oktober 2022 lalu, Abah Lala merilis “Mumbul Dhuwur”, lagu motivasi bagi anak-anak muda untuk bekerja keras dan menepikan bab asmara dulu. Dengan lebih dari 150 ribu subscriber YouTube dan 322 ribu followers TikTok, Abah Lala sudah melampaui musisi-musisi dangdut koplo lain, mumbul dhuwur di atas mereka semua.
Perihal hak cipta, Didi Kempot sempat mengutarakannya di beberapa kesempatan. Jawabannya semi politis, semi meringis. Dia tak mengharap lebih, tapi paling tidak mereka yang menggunakan lagu-lagunya itu datang dulu kepadanya. Semacam kulo nuwun, begitu. Tidak semua tak beretika, ada segelintir yang datang meminta izinnya dengan baik-baik.
Mungkin mendiang tahu kondisi, toh dia telah lama malang melintang di industri. Perihal hak cipta dan royalti di skena dangdut koplo adalah paradoks yang suatu waktu menjadi teman, di waktu lain malih rupa menjadi lawan.
Kita tentu masih mengingat bagaimana “Sayang” menjiplak “Mirai E” milik penyanyi Jepang Kiroro. Atau bagaimana “Iwak Peyek”, lagu dangdut koplo legendaris yang dahulu menggoyang Nusantara ternyata mencomot refrain “Take ‘Em All” milik band punk Inggris Cock Sparrer.
Hak cipta adalah paradoks
Peneliti dangdut dari Universitas Gadjah Mada, Irfan R. Darajat, mengatakan bahwa budaya comot-mencomot karya musisi luar juga terjadi di genre pop. Irfan memberi contoh lagu tahun 1975, “Telah Berdaun Rimba Jati” milik Bimbo yang diduga kuat (dan juga diakui) mengambil nada dari lagu “Fanfare de la Caballería de Nápoles“.
Akademisi yang juga gitaris-vokalis grup Jalan Pulang itu justru lebih menyoroti praktik meng-cover lagu di kancah dangdut koplo. Melalui penelitiannya, dia bisa mafhum mengapa praktik cover tanpa izin menjadi hal yang wajar. Artis-artis dangdut koplo hidup dari panggung ke panggung: mulai hajatan pernikahan, sunatan, hingga pemilihan kepala desa.
Dangdut dan dangdut koplo (maafkan aku, Bang Haji!) adalah budaya visual. Mungkin itu yang melatari mengapa biduan-biduan dangdut memulai karier sejak dini. Semisal Ayu Ting Ting, yang memulainya sejak SMP. Mencipta lagu bukanlah bab pembuka karier mereka.
Sebelum menghakimi mereka sebagai musisi yang kurang kreatif, sebaiknya kita berpikir adil. Bandingkan dengan praktik bermusik band-band top 40 yang berkiprah di kafe dan acara pernikahan, tentunya menyanyikan lagu-lagu populer.
Yang membedakan dengan kelompok kedua, aksi para biduan di berbagai pentas itu direkam dan diedarluaskan dalam format video. Menghampiri konsumen dalam format VCD, DVD, hingga melalui kanal YouTube masing-masing OM atau rumah produksi.
Beberapa ketakutan
Ini menjawab kegelisahan saya di esai sebelumnya. Tentang mengapa para penyanyi dangdut dan dangdut koplo tidak mengurus profil mereka di Spotify. Selain ketidaktahuan, mungkin yang mengunggah lagu-lagu mereka ke platform tersebut justru penggemar. Artis dan manajemennya tak berani mengklaim lagu yang bukan gubahan mereka karena bisa diintai dan dimintai penalti.
Saya menemukan banyak lagu Nella Kharisma di Spotify yang merupakan versi live. Ini seperti daur-ulang proses konsumsi karya-karya dangdut koplo era VCD bajakan.
Hak cipta, yang merupakan bagian dari kekayaan intelektual, menjadi semakin krusial di tengah derasnya produksi konten audio-visual di rimba digital. Suatu karya yang telah lama mati bisa hidup kembali berkat TikTok. Tanyakan saja kepada para personil Fleetwood Mac. Lagu tahun 1977 mereka yang berjudul “Dreams” bangkit dari katakomba budaya populer, lalu wara-wiri di chart Billboard, iTunes, hingga Spotify.
Royalti sebagai rezeki
Jika kita mengabaikan dulu elemen teknologi informasi, royalti dari satu karya hit bisa menghidupi anak cucu. Rezeki ini menimpa Norman Greenbaum, musisi 1970an asal Amerika Serikat. Lagu one hit wonder-nya, “Spirit in the Sky” bernasib luar biasa mujur. Laporan New York Times tahun 2006 mencatat bahwa lagu itu setidaknya dipakai 32 film.
Sambil merendah tapi tetap jemawa, kepada New York Times dia berkomentar, “Yah, lagu itu tidak membuatku benar-benar kaya, sih. Tapi berkat lagu itu aku enggak perlu kerja lagi. Bisa dibilang aku menjalani hidup yang luar biasa nyaman.”
Moda produksi karya dangdut koplo mungkin akan berubah. Musisi mulai sadar bahwa karya mereka bisa berbicara banyak di berbagai medium. Suatu lagu bisa dipakai film, iklan, hingga kampanye parpol.
Menurut terawang Irfan, semangat “satu buat bareng-bareng” ini masih akan berjalan walau perkara hak cipta telah ada yang mengatur (payung hukum hingga institusi). Misal ada satu lagu hit yang lantas dibawakan banyak artis, pemilik lagu akan kebagian cipratan rezeki melalui mekanisme royalti ini. Mungkin. Kita amini saja dulu.
Semoga masa depan menjadi lebih cerah
Sehari setelah dinyanyikan Farel di istana negara, hak intelektual “Ojo Dibandingke” didaftarkan Kementerian Hukum dan HAM. Lagu itu secara sah milik Abah Lala, sehingga penggunaannya kini tidak bisa sembarangan.
Jalan semakin lapang. Para penggemar tinggal berharap apakah konsistensi dan nasib baik akan menjadi karib Abah Lala. Semoga nasib nahas seperti yang dialami Syam Permana, pencipta ratusan lagu dangdut 1990an yang kini terlunta-lunta menjadi pemulung, menjauh darinya.
BACA JUGA Synchronize vs Pestapora: Invisible Curator di Antara Indie Kopi Senja dan Dangdut Koplo dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Fajar Martha
Editor: Yamadipati Seno