Seandainya rumah-rumah di bantaran sungai di Venezia digusur oleh pemerintah setempat, maka kita tidak akan mendengar kisah romantis dari sekoci-sekoci kecil, tempat favorit berciuman para wisatawan, dan lokasi menawan yang biasa digunakan film-film Hollywood. Bisa jadi pula UNESCO tidak akan mendaftarkan Venezia menjadi cagar budaya yang patut dilestarikan.
Tapi walikota Venezia tidak melakukannya. Yang terjadi justru sungai diperdalam, dan rumah-rumah di bantaran sungai dibangun makin kokoh. Mereka tak rela sejarah arsitektur renaisance harus dihancurkan demi menunjukkan gagasan bahwa rumah di bantaran sungai rawan banjir dan mesti digusur. Sebab pada zaman renaisance justru lebih banyak gagasan penting yang lahir.
Salah satunya: humanisme.
Para pengusung ide penggusuran rumah di bantaran sepertinya memang bersikap ahistoris (atau memang tak paham) betapa nyaris seluruh peradaban di dunia dimulai dari bantaran sungai: sungai Nil, sungai Mohenjo Darro-Harrapa, sungai Indus, sungai Huangho, sungai Eufrat-Trigis, dan yang lain.
Masyarakat di pinggiran sungai tersebutlah yang menghasilkan peradaban pertama di Mesopotamia, bangunan gigantis seperti Piramid, termasuk atlas Cina, hingga kodek kitab hukum pertama Hamurabi.
Tetapi tentu saja Jakarta tak punya peradaban pinggir sungai yang agung. Di sana, berdasarkan “data”, konon hanya ada tempat kumuh yang benar-benar tidak dapat diselamatkan. Maka perbandingan antara Venezia dengan Cilwung dirasa tak apple-to-apple.
Di Venezia, misalnya, tidak ada asbes, tak ada pula terpal berbentuk kotak yang menggantung di atas sungai dengan topangan kayu kurus: tempat meluncurnya tai-tai orang miskin dari lubang pantat. Sebuah pemandangan lazim ketika Anda lewat pinggiran Ciliwung.
Mungkin betul belaka bahwa penduduk kumuh di bantaran sungai Jakarta tidak menghasilkan peradaban. Tetapi, saya kira, pemahaman semacam itu muncul lebih didasari keyakinan, bukan fakta sejarah. Maka ada baiknya melihatnya secara historis dulu sebelum adu urat leher.
Itulah mengapa kemudian sejarawan yang belum “tersertifikasi” seperti JJ Rizal tampak sangat mengganggu bagi Ahok. Dengan menyeret logika hukum ala Kantian dan filsafat politik Machiavelian, JJ Rizal menyodorkan sinisme historis yang kelewat mengganggu bagi Ahok dan para hambanya yang menamakan diri #TemanGubernur.
Sebagaimana yang sudah-sudah, penanganan masalah Jakarta melulu melibatkan ahli-ahli dari luar negeri–Jerman atau Belanda paling sering didatangkan. Biasalah, mental inferioritas dari efek kolonialisme yang mendarahdaging membuat mereka menganggap para ahli tersebut otomatis hebat dan pasti paham kondisi sesungguhnya.
Padahal, jika memang ingin betul meniru luar negeri, ada baiknya mendatangkan ahli dari negara yang memiliki banyak penduduk kumuh dengan tekstur tanah yang sama, sungai yang sama, dan iklim yang sama-sama tropis. Dalam hal ini, tiada negara yang tepat selain Brasil.
Mari kita mulai dengan pertanyaan: Apakah Gubernur DKI Jakarta suka melukis?
Pada tahun 2011 lalu, sebuah opini berjudul Recued by Design yang ditulis Michael Kimmelman di New York Times menggegerkan pikiran saya. Ia menyatakan bahwa untuk beberapa negara berpenduduk miskin dan kumuh, harapan justru datang melalui desain visual seperti grafiti. Bagaimana penjelasannya?
Dari yang sederhana saja. Jika Anda menelusuri akun-akun para seniman grafiti di Instagram, sorotan paling banyak akan tertuju kepada seniman-seniman di Brasil karena dianggap berhasil membuat grafiti sebagai pesan sosial yang konkret.
Hal ini sebetulnya sudah sejak lama berlangsung. Sejak 2009 lalu, Pemerintah Brasil bahkan membuat undang-undang yang mengatur tentang legalitas grafiti yang intinya berisi: menggambar grafiti di manapun sah-sah saja selama sudah terjadi kesepakatan antara si bomber dan pemilik bangunan.
Hasilnya luar biasa. Terlebih pemerintah setempat pun turut mendukung persebaran grafiti di tiap sudut kota. Rumah-rumah kumuh tidak digusur dengan keroyokan aparat bersenjata lengkap. Jalan tikus setapak dirapikan dengan semen, beberapa kayu ringkih dan triplek semi permanen diganti dengan tembok-tembok mulus.
Setelah semua infrastruktur dibenahi, giliran para seniman grafiti mengambil perannya. Mereka mengecat tembok-tembok, jembatan, tiang-tiang, bahkan beberapa tangga juga turut diberi sentuhan warna-warni dan gambar-gambar yang menawan. Pada pagelaran Olimpiade 2016 di Rio de Janeiro, karya-karya grafiti tersebut juga turut mengundang decak kagum pengunjung.
Apa yang terjadi di Brasil bahkan menjadi rujukan bagi PBB untuk melakukan hal yang sama di beberapa tempat kumuh di berbagai belahan dunia, seperti di Kenya dan beberapa negara dunia ketiga lainnya.
Di Brasil, kita disuguhkan kenyataan betapa desain visual dapat menyelamatkan tempat kumuh dari hinaan yang terlalu banyak. Mungkin ide tersebut tidak sehebat seperti yang dilakukan Romo Mangun ketika menggagas pemukiman Kali Code di Yogyakarta pada tahun 80-an silam.
Tetapi, setidaknya, grafiti-grafiti tersebut bisa dilihat sebagai upaya yang amat terang dalam memanusiakan orang-orang miskin.
Mengurus orang miskin memang selalu tampak merugikan. Maka tak heran jika kemudian “tanggung jawab” tersebut kemudian dialihkan kepada investor atau pengembang properti. Bangunan-bangunan baru didirikan, orang-orang diharapkan datang membeli, lalu yang miskin otomatis akan turut mendapat penghasilan.
Begitu dangkalnya, seolah-olah hanya logika bisnis demikianlah yang dapat mendatangkan kemakmuran bagi siapapun.
Sebagaimana ilusi mata yang dihasilkan oleh salah seorang seniman Brasil ketika membuat mural masal 3D di sebuah sudut kumuh favela di Rio, keyakinan bahwa orang miskin dan rumah kumuhnya tidak bisa diselamatkan hanyalah kehendak penguasa belaka.
Carl Joachim Friedrich dalam Filsafat Hukum: Perspektif Historis, menulis: sejak zaman Plato, hukum pada mulanya diciptakan memang hanya untuk keadilan distribusi barang dan jasa. Dengan kata lain, sesungguhnya hukum memang dibuat hanya untuk melayani orang-orang berpunya. Kaum miskin seperti pemilik rumah kumuh tanpa sertifikat legal lebih baik digusur saja. Ngeyel dikit, tembak.
Sekarang, jika grafiti dianggap melanggar hukum, maka praktik penggusuran paksa semestinya juga dianggap ilegal bagi hak asasi manusia. Terlebih dalam Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia PBB Nomor 77 Tahun 1993 (1993/77) dinyatakan bahwa ‘penggusuran paksa termasuk dalam pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, khususnya hak atas perumahan yang layak’.
Namun, apa boleh bikin, kita hidup di zaman di mana ada penguasa yang begitu bebalnya hingga tak mampu membaca peraturan tersebut, padahal ia selalu mendaku melek konstitusi. Menjijikkan.
Saya kira, untuk merespon kebebalan tersebut, lebih baik kita hancurkan saja planet mars sekalian dengan dalih merusak pemandangan manusia di bumi. Toh tak ada peraturan yang melarangnya. Akan tetapi, sebelum melakukannya lebih baik kita dengarkan dulu wejangan Spongebob: “Menjilat gagang pintu adalah ilegal di planet lain.”
Nah, jika Anda ingin terlihat lebih bodoh dari tokoh kartun, silakan hancurkan mars sekarang juga. Dan kalau berani sih tak perlu membawa aparat. Itu kalau berani. Kalau tidak, ya sebaiknya Anda mulai berlatih membesarkan volume suara saat berbicara. Minimal dengan begitu Anda sudah tampak mengerikan.
Meskipun kita sama-sama tahu: Anda cuma pengecut.