MOJOK.CO – Betapa gagahnya orangtua milenial yang tak ragu berkelahi atau memukul orang lain ketika anak mereka tersakiti. Di sisi lain, cara mereka menyelesaikan masalah menjadi dosa abadi.
Suatu hari saya diajak berantem di jalanan Jakarta. Seorang bapak yang naik sepeda motor melawan arus nggak terima saya teriaki. Dia menyusul saya dan dengan tidak kalah galak, siap-siap memukul saya. Sebelum mengayunkan tangannya, bapak itu berpesan pada istrinya, “Rekam, Ma, biar viral.”
Dia yang salah, dia yang mau berbuat kekerasan, dia yang ingin diviralkan. Luar biasa.
Kampret itu nggak paham kalau yang mau dipukulnya adalah kontributor situs web liberal-cum-kafir paling happening dan jago bikin viral bernama Mojok.co. Kampret itu juga nggak tahu kalau bikin viral itu bukanlah persoalan sederhana. Apalagi dia bukanlah Agus Mulyadi, yang ngetik sambil kayang saja tulisannya akan viral dalam satu embusan napas. Huh!
Begitulah fenomena masa kini, sedikit-sedikit diviralkan. Nggak peduli benar apa salah, pokoknya viralkan saja dulu. Seolah-olah viral itu jadi solusi bangsa.
Nggak heran ketika di media sosial kemudian muncul video viral tentang bapak-bapak yang katanya menendang anak orang karena anaknya si bapak ketabrak ayunan yang dinaiki anak orang tadi. Ya karena itu tadi, ini adalah era sedikit-sedikit direkam dan dibagikan biar viral.
Video rekaman yang viral itu salah satunya diambil dari ponsel ibu si anak yang katanya kena tendang. Isinya, ekspresi marah si bapak, tangisan si anak yang kena tabrak ayunan, dan suara marah-marah sambil nangis-nangis. Hari-hari ini, orang memang asyik marah-marah sambil pegang gawai. Terpujilah Bu Dendy yang bahkan bisa melempar duit yang banyak sembari pegang gawai. Kini semua orang menirunya.
Lantas, apakah ada solusi pada masalah dua orangtua dan dua anak itu? Sampai tulisan ini dibuat, belum ada. Yang ada malah kehebohan massal para warganet nan mahabenar. Untunglah, kehebohan mereka segera ditutup dengan ciamik dua hari kemudian oleh pisang dan kibasan duit dari beberapa primata yang mengenakan baju #2019GantiPresiden kepada seorang ibu dan anaknya pada hari bebas kendaraan bermotor. Daaan, kehebohan massal yang ini juga dimulai dari video nan viral.
Si bapak yang didakwa netizen menendang anak orang kemudian muncul ke media dengan pembelaan diri. Dia bilang bukan menendang, tapi menahan ayunan pakai kaki. Dan memang adegan kakinya menyentuh anak orang itu terpotong. Jadi, argumennya bisa jadi benar. Yang jelas, kini di media sosial telah beredar foto KTP si bapak, lengkap dengan alamat, tanggal lahir, dan tentu saja: agamanya.
Melihat usia dari anak-anak yang menjadi awal perseteruan, sudah jelas bahwa para orangtua yang berantem ini masuk kategori orangtua milenial alias millennial parents, yang oleh beberapa kalangan mulai jamak disebut sebagai parennial. Sama seperti saya.
Urban Dictionary menyebut parennial sebagai kaum milenial yang kini telah menjadi orangtua. Golongan parennial ini adalah orangtua yang rasa bersalahnya kepada anak begitu tinggi hingga jika anak diusik orang lain, tensi langsung melonjak.
Parennial adalah orang-orang yang tidak punya banyak waktu untuk anak karena terlalu sibuk bekerja. Katanya sih bekerja untuk mencari uang yang nantinya untuk si anak juga. Sudahlah sibuk, sampai rumah sudah lelah. Maka ketika anak rewel sedikit, yang muncul justru adalah amarah. Akan tetapi, setiap progres kecil kehidupan sang buah hati justru selalu di-update ke media sosial, supaya warganet paham. Sebagai parennial, saya nggak sedang nyinyir, wong anak saya ngemut kaki saja ada fotonya di Instagram.
Giliran sang anak butuh diajak ngobrol dan jadi sedikit manja, parennial akan dengan sigap memberikan ponsel ber-YouTube yang sudah dilengkapi unduhan lagu Baby Shark versi 29 menit. Aman dan damai. Anak tenang di bawah asuhan bayi hiu, parennial ikutan tenang juga mengunggah foto anak di linimasa untuk meyakinkan warganet bahwa dia sayang anak.
Sedikitnya waktu untuk anak menimbulkan rasa bersalah yang besar sehingga naluri melindungi muncul begitu mendadak. Naluri itulah yang muncul dalam tendangan si bapak dan rekaman video si Ibu. Semua atas nama pembelaan untuk sang anak.
Kini, video 2 anak yang menangis itu akan abadi di internet karena nyatanya sudah diunggah oleh banyak akun. Sungguh disayangkan, keduanya akan tumbuh besar dengan jejak itu. Jejak buruk yang diciptakan oleh perilaku orangtuanya masing-masing. Kalau suatu waktu keduanya bertemu lagi tanpa sengaja di Tinder versi tahun 2035, video inilah yang akan selalu membayangi kebersamaan mereka. Soalnya nggak ada sensor sama sekali ketika Ibu anak yang main ayunan merekam gambar dengan penuh tangis dan amarah.
Ya, Ibu dan Bapak, video anak kalian yang sedang menangis itu abadi di internet. Sekali lagi: abadi. Lantas, apakah motivasi memviralkan telah mempertimbangkan aspek ini dan masa depan si anak di kemudian hari? Saya rasa tidak dan kalaupun baru terpikir, ya sudah telat, Bos.
Paling mentok yang tertinggal hanya penyesalan karena menyesal memang selalu datang belakangan. Kalau datang duluan, namanya kepagian.