Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Beranda Esai

Cak Nun, Iqbal Aji Daryono, dan Mojok

Puthut EA oleh Puthut EA
3 Juni 2017
0
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Sebentar, jamaah Maiyah harap jangan naik pitam dulu. Jangan protes dulu: “Cak Nun kok disejajarkan dengan Iqbal, situ ngajak gegeran?”

Untuk mendinginkan hati Anda, saya bagi informasi yang penting: Iqbal Aji Daryono adalah jamaah Maiyah. Valid. Kalau sedang  berada di Yogya, Iqbal bisa ditemui di kerumunan jamaah Maiyah di Kasihan, Bantul, setiap tanggal 17 malam. Sampai pagi. Sambil sesekali berjalan ke sana kemari, berharap ada orang yang mengenali dirinya lalu mengajaknya foto bersama. Dalam hal diajak foto bersama para penggemarnya, Iqbal agak lebih kalem dibanding Agus Mulyadi. Kalau Agus menghitung dalam satu acara berapa kali diajak foto bersama. Keesokan harinya, Agus akan bilang, “Asu, semalam yang ngajak foto aku 20 orang tapi yang mengunggah di Facebook cuma 2 orang.” Agus lupa bahwa foto orang memang sudah tidak bisa dipakai menakut-nakuti maling, tapi setidaknya bisa untuk menakut-nakuti tikus.

Sudah tentu, Iqbal adalah adalah penggemar berat Cak Nun. “Kalau di India, mungkin Cak Nun sudah jadi nabi, dan punya sekte sendiri.” ujarnya suatu saat ketika bertemu saya di acara Maiyah.

Cak Nun adalah penulis esai produktif. Mungkin paling produktif di antara penulis esai yang ada di Indonesia. Tahun lalu, lewat akun Twitternya, Radio Buku menyatakan kalau setidaknya Cak Nun telah menulis 5.000an esai. Itu yang terdokumentasi. Pasti ada yang nyelip tak terdokumentasi dengan baik. Dan bisa jadi itu banyak sekali. Jumlah sebanyak itu belum termasuk esai-esai anyarnya yang disebar lewat Whatsapp maupun lewat situsweb caknun.com.

Konon, di era ketika namanya melambung, semua media massa mengantre tulisan Cak Nun. Dalam semalam, dia bisa menulis lebih dari 5 esai. Namanya saat itu adalah jaminan keterbacaan yang tinggi. Koran dan majalah memburunya untuk menaikkan oplah.

Iqbal saat ini termasuk penulis yang paling banyak diburu media massa baik cetak maupun online. Setidaknya, jika dia mau, belasan media siap menampung tulisannya setiap minggu. “Enak dong, Bal,” komentar saya waktu dia curhat sambil setengah pamer kepada saya.

Dengan cengengesan dia menjawab, “Kalau bisa menulis sebanyak itu, ya enak. Aku bisa bikin rumah lagi. Malah bisa menikah lagi.” Tentu saja kalimat terakhir itu tambahan dari saya.

Dan ini informasi yang sangat penting. Sekali lagi sangat penting. Semua media massa yang menawari Iqbal menulis, selalu dengan pesan khusus, “Tulislah esai yang seperti Mojok, Mas Iqbal…”

Seperti Mojok. Seperti Mojok. Ya. Seperti Mojok.

Secara kuantitas tentu saja Iqbal belum bisa dibandingkan dengan Cak Nun. Tapi keduanya hidup di era pembaca yang berbeda. Cak Nun muncul dari media cetak. Iqbal mengerek bendera di era ketika media digital tumbuh, dan ketika Facebook menjadi andalan untuk membangun brand.

Cak Nun mulai berkilau di tahun 70an, Iqbal di tahun 2010. Beda 40 tahun. Sama dengan usia saya.

Lagi-lagi, jangan marah dulu para jamaah Maiyah… Tentu sampai sekarang, di era serbadigital, Cak Nun juga masih dan makin mengilap. Satu tayangan Cak Nun di Youtube saja bisa diunggah belasan akun. Isinya sama. Itu meneguhkan bahwa pamor Cak Nun sebagai tokoh masih mencorong.

Apa poin dari semua itu? Begini… Sebagai Kepala Suku Mojok, saya sering ditanya: Bagaimana merancang Mojok dengan gaya penulisan yang baru?

Sepintas pertanyaan itu sepertinya membanggakan. Tapi sesungguhnya menyedihkan. Itu tanda bahwa ada banyak orang yang tidak melihat sejarah dengan baik. Esai-esai seperti di Mojok sesungguhnya sudah banyak bermunculan sejak dulu. Umar Kayam, Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun, Bondan Winarno, Mahbub Djunaidi, dan masih banyak penulis lain, yang menulis esai-esai yang lentur, penuh sanepo, satir, dan tangkas. Jadi, Mojok bukan merancang dari nol. Hanya saja, Mojok hadir dalam situasi ketika media sosial sudah bisa menjadi rujukan atas tulisan yang bagus dan tidak.

Media sosial, utamanya Facebook, jelas punya kelenturan dan keleluasaan tersendiri. Bahasanya bisa campuran, cengengesannya bisa berlebihan, pisuhan bisa dilontarkan. Mojok tetap tidak punya masalah dengan itu. Media massa lain mungkin mikir. Atau misalnya ketika Arman Dhani (yang masih bisa menulis bagus itu lho, sekalipun sudah terkenal, kaya, dan punya pacar) meliuk-liuk memaparkan argumennya secara logis, namun diakhiri dengan, “Ayo kita balen, Dik…” Mojok tidak mau menyunting yang seperti itu. Biar saja. Karena asyik.

Mojok tidak hadir di ruang hampa. Steril. Bahkan penulis-penulis Mojok punya rujukan penulis-penulis lain. Agus adalah penggila berat tulisan-tulisan Umar Kayam. Arlian Buana penggemar tulisan-tulisan Mahbub Djunaidi. Iqbal jelas, pengagum Cak Nun. Dhani pencinta Catatan Pinggir Goenawan Mohamad. Dhani boleh sangar dalam tulisan-tulisannya, tapi bertemu begawan Salihara itu, dengkulnya gemetar. Mestinya dia melakukan wawancara, tapi malah menyodorkan lengan kanannya, “Pak, bolehkah tandatangan di lengan saya? Mau saya bikin tato…” Sudah tentu itu pelintiran dari saya. Sebab yang benar, dia membuka ranselnya, lalu mengeluarkan belasan jilid buku karya Goenawan Mohamad untuk minta tandatangan. Agenda wawancara buyar.

Sebagai penulis, sekalipun tidak sehebat nama-nama yang saya sebut di atas, saya sering agak sedih kalau seorang penulis dianggap tidak punya kesinambungan sejarah dengan penulis-penulis sebelumnya. Bahwa sebagai manusia kreatif mereka memberikan sentuhan yang berbeda, tentu begitulah harusnya.

Jadi begitu. Jangan tanya lagi soal Mojok yang merancang konten yang benar-benar baru ya…

Puja-puji tidak membahagiakan kami. Basa-basi tak bisa lagi menghibur saya. Hanya ranking Alexa yang bisa.

Terakhir diperbarui pada 4 Juni 2021 oleh

Tags: Agus MulyadiArlian BuanaArman DhaniBondan WinarnoCak NunEmha Ainun NadjibGoenawan MohamadIqbal Aji DaryonoMahbub DjunaidiMaiyahMojokUmar Kayam
Iklan
Puthut EA

Puthut EA

Kepala Suku Mojok. Anak kesayangan Tuhan.

Artikel Terkait

Cak Nun dan Komunitas Maiyah: Ruang Belajar dan Harapan yang Tak Pernah Padam | Semenjana Eps. 13
Movi

Cak Nun dan Komunitas Maiyah: Ruang Belajar dan Harapan yang Tak Pernah Padam | Semenjana Eps. 13

12 Mei 2025
Mendambakan hidup di Menturo Sumobito, sebuah desa ternyaman di Jombang dan tempat kelahiran Cak Nun yang tak diperhitungkan MOJOK.CO
Ragam

Mendambakan Hidup di Menturo Sumobito, Desa Kecil nan Tenteram di Jombang yang Tak Diperhitungkan

7 Januari 2025
Mempertanyakan ‘Marriage is Scary’ Bersama Lya Fahmi dan Agus Mulyadi di Festival Mojok 2024
Movi

Mempertanyakan ‘Marriage is Scary’ Bersama Lya Fahmi dan Agus Mulyadi di Festival Mojok 2024

26 Oktober 2024
Katharina Stögmüller Belajar Sirkus Pernikahan dari Agus Mulyadi
Movi

Katharina Stögmüller Belajar Seni Memahami Kekasih dan Sirkus Pernikahan dari Agus Mulyadi

3 September 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Anggota pencak silat PSHT iri dengan aura farming pacu jalur MOJOK.CO

Aura Farming Pacu Jalur bikin Iri Orang PSHT: Sama-sama Mendunia tapi PSHT bikin Malu, Diajak Perbaiki Diri Nggak Mau

18 Juli 2025
Ironi mahasiswa dan sarjana hukum saat magang kantor advokat MOJOK.CO

Ironi Sarjana Hukum saat Magang Advokat: Perjuangkan Hak Orang Lain tapi Tak Berdaya Atas Hak Sendiri, Dipekerjakan Penuh Waktu Gratisan

14 Juli 2025
Pacu Jalur Direcoki Pemerintah Jadi Cringe dan Nggak Seru Lagi MOJOK.CO

Saat Negara Turut Campur Aura Farming Pacu Jalur, Semua Jadi Terasa Cringe dan Nggak Seru Lagi

14 Juli 2025
4 Dosa Warteg Mempermainkan Menu demi Untung Besar, tapi Bikin Rugi Pelanggan Mojok.co

4 Dosa Warteg Mempermainkan Menu demi Untung Besar, tapi Bikin Kapok Pelanggan

15 Juli 2025
ponpes al fatah.MOJOK.CO

Hak Prerogatif Tuhan di Ponpes Waria Al Fatah

14 Juli 2025

AmsiNews

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Cara Kirim Artikel
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Kerja Sama
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.