MOJOK.CO – Adik saya lahir dengan kondisi hidrocefalus. Semacam kondisi kepala yang berbeda dari ukuran normal. Karena itu pula dia sering kena bully kalau sekolah.
Belakangan, kasus bullying tentang seorang anak perempuan di sebuah sekolah ramai sekali. Dalam sebuah video yang diunggah di media sosial, anak itu dipukul, ditendang, dan segala perlakuan yang tidak mengenakkan. Ngeri saya lihatnya.
Dari beberapa informasi yang saya tahu kemudian, salah satu sebab anak perempuan itu kena bully karena ia “berbeda” dari yang lain. Saya makin ngeri mendengar informasi tersebut.
Bukan apa-apa, sebab kalau perkara demikian membuatnya kena bully, saya jadi ingat adik kandung saya. Sejak lahir, adik saya juga punya “perbedaan” daripada saudara-saudara kandungnya.
Adik saya lahir dengan kondisi hidrocefalus. Semacam kondisi kepala yang berbeda dari ukuran normal. Lebih besar. Menurut dokter, adik saya harus dioperasi segera. Sebab, kepalanya penuh cairan. Kalau dibiarkan hal tersebut bisa menghambat kinerja otaknya.
Mendapat penjelasan dokter yang demikian, ayah saya sempat kaget. Marah. Nggak terima. Baru saja lahir kok langsung dioperasi. Operasi kepala pula. Kata Ayah, kalau dipaksakan operasi, kemungkinan hidup adik saya kecil. Akhirnya permintaan dokter pun ditolak Ayah.
Maka, adik saya, untuk sementara waktu, harus hidup dengan kondisi fisik seperti itu.
Ada beberapa penyesuaian dan perlakuan khusus untuk adik saya ini. Tak mungkin menggunakan kaos, melainkan kemeja. Kalau berjalan, harus pelan sebab harus menyangga kepalanya yang cukup berat.
Sembari diobati, dia makin lama tumbuh besar. Merangkak, duduk, berjalan bahkan berlari. Hari demi hari dilewati.
Meskipun begitu, karena adik saya berbeda dari teman-temannya, dia mengalami bully—yang bikin saya—kakak kandungnya merasa jauh lebih kesakitan.
Sejak usia balita hingga menjelang usia 12, adik saya sering mengalami step. Karena teknologi yang namanya Mbah Google belum semasif sekarang, pencegahan yang saya lakukan adalah memasukkan kain atau kaos kaki ke dalam mulutnya agar lidah tak tergigit olehnya.
Begitu dan seterusnya. Belakangan saya tahu jika cara tersebut tak boleh dilakukan.
Dan di antara itu semua, adik saya hampir selalu kena bully—bahkan sejak dia bisa berlari. Dari teman-teman kampung atau teman-teman sekolah, dia dikatain “Kepala Besar”. Mulanya, adik saya tak acuh, tapi lambat laun bully itu makin parah, dan adik saya mulai kesal.
Karena tak tahan, adik saya pernah mengejar orang-orang yang mengejeknya itu. Sayangnya, karena lawannya jauh lebih banyak, adik saya kalah. Saat mau kabur dan mundur karena dikeroyok, adik saya harus selalu menghindar karena masih dilempari batu.
Saya ingat, ketika mendengar suara adik saya yang meronta seperti itu, saya sempat keluar rumah langsung mencoba menghajar balik. Sayang sekali, teman-teman adik saya selalu paham kalau saya yang keluar, artinya mereka harus kabur. Tak pernah ada waktu untuk memberi pengertian ke mereka.
Di sekolah, adik saya juga cerita perilaku bully yang dia dapatkan. Parahnya lagi seorang pengajar, iya, gurunya, pernah berkata sangat kasar. Saya tak pernah lupa kalimat itu.
“Kowe goblok, idiot, ora usah sekolah neng kene.”
(Kamu goblok, idiot, tak perlu sekolah di sini).
Ayah saya adalah orang pertama yang langsung muntab. Sejak saat itu, ayah saya tak lagi memperbolehkan adik untuk sekolah.
Soal kenapa adik saya mendapat perlakuan seperti itu, mungkin karena cairan di kepalanya itu. Adik saya memang cukup lambat kalau mencerna informasi. Dan barangkali, itu yang membuat si pengajar tak sabar dan kesal. Bahkan sampai melontarkan kata-kata—yang bahkan saya terlintas kepikiran pun tidak.
Sempat menunda setahun, akhirnya adik saya sekolah lagi. Kali ini dia dimasukkan di Sekolah Luar Biasa (SLB). Mulanya, pengajarnya bingung kenapa adik saya dimasukkan di sekolah itu. Sebab, secara fisik terlihat normal, apalagi—entah mukjizat atau efek dari pengobatan tradisional yang keluarga kami lakukan, ukuran kepala adik saya sempat mengecil dan tampak seperti orang normal.
Namun, mendengar penjelasan dari Ayah, pengajar menerima. Adik bersekolah di sana.
Di luar dugaan, adik saya mengalami proses pendidikan yang baik. Dia pun bisa melakukan hal yang dulu tak bisa dilakukan di sekolah, yaitu merakit dan merancang motor. Adik saya senang.
Keluarga, terutama Ayah, juga senang. Terlebih, adik saya tak mendapatkan bully. Malahan pada beberapa kejadian, saya tahu kalau adik saya menjadi mentor bagi teman-temannya.
Uniknya, sama seperti pelajar puber pada umumnya, dari situ adik saya menemukan pujaan hati.
Bahkan dia menemukan cara untuk mengungkapkan rasa cintanya melalui sebuah buku. Ditulis dengan tulisan rapi, padat, dan jelas. Di buku itu tertulis, suatu saat nanti jika menikah, adik saya ingin sekali buka bengkel dan istrinya buka warung.
Ketika membaca buku itu, saya sempat terhenyak. Cinta memang tidak bisa memandang fisik, cara berpikir, atau kemampuan menggombal. Adik saya, dengan segala kekurangannya, tetap selalu optimis mengutarakan keinginan dan mimpinya.
Jauh lebih berani ketimbang saya, kakaknya, yang terlihat seperti orang normal tapi berhadapan dengan perempuan saja rasanya malu setengah mati.
Hanya saja, itu kejadian beberapa tahun lalu. Setelah proses yang panjang, kini adik saya tak lagi mendapatkan bully. Juga tak menderita sakit lagi. Tuhan memang punya cara terbaik untuk menyelamatkan adik saya dari bully yang hampir selalu didapatkannya sejak lahir ke dunia.
Kini adik saya sudah tenang. Menikmati kehidupan yang lain. Ditemani ayah saya yang juga menyusul beberapa minggu yang lalu. Di pusara yang sama.
Yap, adik saya, Mozzie, sudah menyempurnakan hidupnya 10 tahun yang lalu. Membawa pergi juga semua rasa sakit itu. Membawa pergi pula impian membuka bengkel kecil-kecilan, yang kadang bikin saya senyum-senyum sendiri kalau mengingatnya.
Kalau saja ada kesempatan untuk mengirim surat cinta untuknya, saya cuma ingin bilang…
…Kakak di sini baik-baik aja kok, Zie. Salam untuk Ayah di sana. Kecup jauh dari bumi ya.
BACA JUGA Untuk Kamu yang Berjuang Melawan Bullying atau tulisan Moddie Alvianto Wicaksono lainnya.