Bukan Cuma Tengku Zulkarnain Saja yang Suka Rendahkan Profesi Pembantu

MOJOK.CO – Tengku Zulkarnain dianggap telah rendahkan profesi pembantu gara-gara twitnya. Tentu blio membantah. Ustaz kondyang ini.

Seorang kawan lama tiba-tiba mengeluarkan celetukan yang membuat hati saya ketawa-ketawa sedih. Kawan saya itu bicara dengan orang lain. Saya yang sedang lesehan ngecas hape mungkin tak terlihat.

Begini celetuknya, “Kok gini ya sekarang pemimpin orang-orang Islam?”

Saya ikuti lagi pembicaraannya. Ternyata mereka sedang mengomentari twitnya Tengku Zulkarnain.

Saya bingung mau nimbrung percakapan itu atau meneruskan ketawa dalam hati saja. Akhirnya saya mengambil pilihan kedua. Saya cuma mbatin dan terpingkal diam-diam.

Bagi yang belum tahu, Tengku Zulkarnain akhir-akhir ini kembali menghebohkan dunia maya. Setelah komentarnya soal RUU PKS yang secara tidak langsung menyuruh wanita jadi “gedebok pisang”, kini Tengku Zulkarnain bikin twit yang bagi banyak orang dianggap merendahkan profesi pembantu.

Kronologinya bermula dari sebuah akun yang mengabarkan bahwa karyawannya telah meminta dibaptis tanpa didorong dan dipaksa-paksa. Seolah tak mau kalah, Tengku Zulkarnain membalas cuitan tersebut dengan membanggakan bahwa dia sudah memualafkan hampir 200 orang.

Oke, sampai di sini sih no problemo. Ish, paan, cuma soal saing-saingan.

Sayangnya, Tengku Zulkarnain kemudian kasih komentar bahwa rata-rata orang yang dimualafkan adalah orang pintar berpendidikan, bukan pembantu. Catet yak, “bukan pembantu”.

Lalu twit itu diakhiri dengan nyebut Alhamdulillah. Sedangkan saya yang baca twit itu jadi pengen nyebut, “Astagfirullah.”


Gara-gara twit itu, Tengku Zulkarnain dianggap merendahkan profesi pembantu. Namun tentu saja Ustaz kondang yang terhormat ini menolak disebut demikian.

Saya sih embuh dengan pembelaan yang bersangkutan. Rasanya kita sebagai manusia normal bisa kok menilai. Atau lebih tepatnya, siapa yang ternyata pikirannya agak-agak bias kelas dan tanpa sungkan mengatakannya di muka publik.

Tapi ya sedihnya, dengan gelar ustaz dan jumlah pengikut yang banyak, yang kena imbas atas setiap cuitan yang dilontarkan Tengku Zulkarnain ini akhirnya adalah umat Islam secara keseluruhan. Makanya, terdengarlah komentar-komentar bernada sumbang seperti yang dicetuskan oleh kawan saya di atas tadi.

Kalau saja saya ini punya perusahaan televisi swasta, pengen rasanya saya orbitkan ustaz-ustaz yang bisa menandingi efek absurditas ustaz model-model begini. Misalnya dengan menayangkan ustaz yang peduli lingkungan atau malah mendukung kesetaraan gender.

Selain biar dunia Islam lebih progresif, tentu saja juga agar citra Islam tak jelek di mata umat lain. Ya, daripada ngomongin seks dan aurat perempuan mulu atau paling mentok Illuminati, mbok ya ngomongin sains, teknologi, isu lingkungan, atau sejenisnya yang berfaedah. Saya yakin, umat Islam pasti akan terlihat lebih bermartabat dengan itu.

Nah, soal profesi pembantu yang disebut-sebut tadi, saya juga ingin sedikit berbagi pandangan. Begini, sebetulnya kalau kita mau jujur-jujuran, saya yakin banyak pengkritik Tengku Zulkanain juga punya pikiran bias kelas juga.

Dulu, seorang teman pernah menyentil kami yang sedang bangga karena ajaran Islam tak mendiskriminasi orang berdasarkan apapun—entah suku, entah harta, entah jabatan.

Lalu kawan saya membalas, “Okelah, kita nggak punya sistem kelas de es te, tapi kita sendiri nyatanya masih melihat orang dari tingkat ekonomi, pendidikan, de el el, kan?”

Gotcha!

Kalau mau instropeksi, hal demikian sih nggak salah-salah amat. Maksud saya, kita boleh menyangkal pernyataan ini dengan galak. Ngegas juga boleh. Tapi yang saya lihat, secara umum manusia memang mempunyai pikiran serupa Tengku Zulkarnain. Hanya saja, pikiran jelek ini tersimpan diam-diam karena budaya political correctness.

Kita coba bersopan-sopan padahal dalam hati sering memandang sebelah mata. Jarang sekali orang yang betul-betul memiliki pikiran murni bebas dari pembedaan berdasarkan tingkat ekonomi, pendidikan, agama, dan lain sebagainya.

Mungkin anak-anak kecillah yang bisa diharapkan untuk punya pikiran suci demikian. Bukannya para akademisi, pekerja seni, atau para pemuka agama—apalagi saya.

Secara kolektif, ini kemudian membentuk masyarakat yang cenderung abai terhadap mereka yang dianggap punya klasifikasi kelas sosial “rendahan”. Berbagai kebijakan dari bidang kesehatan, pengupahan, dan lainnya menyingkirkan mereka yang tingkatnya di bawah.

Memang betul, ada banyak sekali pembantu yang digaji terlalu kecil dan disuruh ini itu yang sebetulnya udah mirip-mirip kayak hubungan tuan tanah dan budaknya di era feodal. Mereka juga harus inggih-inggih dengan majikan. Kalau nggak inggih-inggih ya bisa dianggap pembantu kurang ajar dan dipecat saat itu juga.

Kelas menengah-ngehe-liberal-kayak-kita boleh saja membenci sedemikian rupa feodalisme ini dan membanggakan budaya egaliter barat. Tapi ketika kembali ke rumah, coba lihat diri kita masing-masing. Benarkah kita tidak memperlakukan mereka seperti Firaun memperlakukan Bani Israil?

Makanya saya sih mikir, kalau kita beneran mengecam Tengku Zulkarnain yang dianggap merendahkan pembantu ini, jangalah kita berhenti di garis political correctness semata. Jangan cuma mengecam Tengku Zulkarnain hanya karena beliau dianggap tidak sopan.

Pernyataan Tengku Zulkarnain juga sebaiknya jadi koreksi kita bersama. Saya kira, besar di lingkungan masyarakat yang penuh dengan diskriminasi begini, wajar kok kalau kita juga masih punya pandangan buruk begitu. Meski kewajaran tidak berkolerasi dengan kebaikan dan kebenaran.

Paling tidak, kita perlu memulai dari diri sendiri. Misalnya, kalau kita memperkerjakan pembantu rumah tangga, ya jangan semena-mena. Apalagi menjadikan profesi mereka sebagai perbandingan kesuksesan memualafkan orang, seperti yang dilakukan ustaz kita yang terhormat Tengku Zulkarnain.

Exit mobile version