Salah satu yang saya rindukan dari kehidupan masa kecil di Papua adalah jumlah varian teman sepermainan yang bukan hanya beragam dalam suku-ras agama, tetapi juga status sosial. Di sana, adalah hal biasa bagi saya yang rakyat jelata untuk berteman dengan anak kapolres, anak ustad pimpinan masjid, anak kepala kodim, bahkan anak pengurus OPM (kalau ini saya baru tahu setelah pindah ke Jawa).
Ketika main ke rumah mereka pun biasa saja. Tidak ada protokoler khusus yang perlu dilalui sekalipun mereka anak orang penting. Setelah mengerjakan tugas sekolah, kami akan bergosip sambil tertawa keras-keras. Beberapa di antaranya juga ikut main di sungai sambil mencuci sepatu setiap minggu. Bahagia sekali rasanya.
Dulu saya biasa saja punya teman main anak-anak pejabat itu, berhubung menurut saya, ya begitulah persahabatan. Namanya saja anak-anak, tidak pretensius. Tapi, mengingat itu sekarang, rasanya persahabatan egaliter di era ’90-an itu begitu mewah. Terlebih untuk urusan pertemanan dengan anak para tokoh keagamaan, sebab ada banyak protokoler yang menjadi parameter adab orang beriman.
Ketika beranjak remaja di Jawa, saya pernah ditegur keras karena dianggap tidak menjaga adab terhadap seorang teman—yang belakangan saya ketahui anak petinggi organisasi keagamaan. Gaya komunikasi saya yang blak-blakan disinyalir kurang beradab untuk teman saya yang anak umara penting itu. Saat itu saya masih tidak ambil pusing, berhubung teman saya baik-baik saja dengan persahabatan kami. Biarlah para ajudannya yang berisik.
Tetapi rupanya penjagaan terhadap teman saya ini memang luar biasa. Suatu waktu, saya ditegur lebih keras karena ketahuan menginap di rumahnya. Konon tidak sembarang orang boleh main ke sana, apalagi sampai menginap. Di situ saya merasa sedih. Berarti saya dianggap orang sembarangan, sampai-sampai dimarahi karena menginap di rumah sahabat sendiri. Sekali lagi, yang marah-marah bukanlah teman saya atau orang tuanya, tapi para ajudan. Bahkan orang tua teman sayalah yang sebenarnya menyuruh saya menginap di sana (tapi berhubung terlalu emosi, saya malas menjelaskan perihal ini kepada para ajudan yang galak).
Selanjutnya, persahabatan kami berjalan lebih menyebalkan. Kami tidak boleh terlalu sering terlihat bersama di depan publik (padahal kami adalah remaja yang sahabatan alias punya geng ABG). Bahkan sekalipun kami sering berinteraksi lewat telepon dan internet, teman saya yang anak petinggi ini tidak dibolehkan memperkenalkan saya sebagai sahabatnya kepada dunia luar, seperti mengunggah foto kebersamaan di medsos layaknya geng ABG lainnya. Puncaknya adalah ketika geng kami sempat tidak diperkenankan menghadiri acara harlahnya. Saya sedih sekali.
Ketika beranjak dewasa, saya dipertemukan dengan pejabat organisasi keagamaan lain. Kali ini saya bahkan berteman dengan pejabatnya langsung, bukan lagi anak pejabat atau pimpinannya. Itu pun baru saya ketahui berbulan-bulan kemudian, ketika bertemu dengan para informan.
“Eh si itu ternyata Gus-nya pondok anu lho,” si informan membuka percakapan penuh antusias.
“Si Itu? Yang Itu?”
“Iya, si itu yang biasa kita bully itu.”
“Oh.”
“Kok, oh?”
“Ya biasa aja sih. Kan saya berteman dengan si itu, bukan gelar strukturalnya,” kata saya menambahkan, melihat ekspresi di wajah informan itu.
Di lain waktu, saya kembali tidak peka akan “nilai” sahabat saya yang lainnya di muka publik, terutama publik yang berada di lingkungan kekuasaannya.
“Eh, ternyata kamu akrab sama ukhti itu ya?” tanya informan lainnya.
“Iya, satu organisasi,” jawab saya dalam nada dasar.
“Wah, keren banget! Dia itu maqom-nya tinggi lho, di lembaga.”
“Oh,” komentar saya, masih dalam nada dasar.
Informan itu tampak kecewa dengan reaksi saya ketika tahu kalau di organisasi itu kamu punya maqom yang tinggi. Maaf, tapi kan saya tidak berteman dengan maqom-mu, sekalipun itu di organisasi keagamaan yang konon maqom-nya dinilai berdasarkan keimanan seseorang.
Di mata Tuhan kita ini kan sama, setara, sederajat. Yang membedakan adalah keimanan dan ketakwaannya. Tapi bagaimana saya bisa tahu kalau maqom keimanan dan ketakwaanmu memang lebih tinggi dari manusia lainnya? Yang tahu derajat iman dan takwa kan hanya Allah. Bukan saya, kamu, mereka, bahkan pimpinan lembagamu itu. Apalagi kalau penilaian itu hanya berdasar parameter visual alias apa yang bisa dilihat manusia, termasuk mengenai betapa sibuknya dirimu dengan sederet amanah sebagai pimpinan organisasi.
Mungkin kamu pikir saya tidak menghormati jabatan muliamu itu sebagai pemimpin jamaah keagamaan—atau organisasi ideolohis lain yang belakangan gencar cari umat buat kebangkitan masing-masing. Anggap saja ini sikap politik saya yang memang malas cari muka—sebab alhamdulillah saya sudah dikasih muka sama Allah, cantik pula. Saya juga paham sekali bagaimana tidak enaknya dikerumuni karena tempelan “identitas penting” dirimu. Tiba-tiba punya banyak “sahabat baru” karena kamu jadi penulis Mojok (tapi udah mau bubaran hiks). Atau karena bapakmu menang muktamar partai. Atau karena tantemu jadi ketua jamaah sosialita ibukota.
Sedihnya, kenapa kamu sepertinya justru semakin nyaman menghidupi jabatan strukturalmu itu? Padahal itu sangat berimbas pada moda persahabatan kita yang menjadi begitu protokoler. Padahal sebenarnya saya tidak mau ambil pusing dengan sederet statusmu sebagai pejabat, sebab saya sudah berteman denganmu tanpa mengetahui siapa kamu.
Tetapi bagaimana saya bisa tidak ambil pusing dengan statusmu sebagai pejabat, sebab ketika bersikap apa adanya denganmu sebagai teman dianggap tidak sopan? Ketika berteman tanpa kepura-puraan denganmu, dibilang tidak menjaga adab?
“Kalau ngomong sama beliau yang sopan, Ukh!” kata ajudanmu, ketika dalam suatu forum saya dianggap berbicara keras kepadamu. Padahal kamu tahu sendiri bagaimana jenis suara seperti ini lebih bisa menjaga hati daripada suara si ukhti yang lemah lembut mendesah manjah ituh.
Kalau berbincang dalam bahasa Jawa keseharian denganmu dianggap tidak sopan, apakah saya harus pakai bahasa Jawa krama inggil sekalipun kita sebaya dan sahabat kecil? Apakah saya juga harus berjalan menunduk sambil membungkukkan badan ketika berjumpa denganmu yang orang penting itu? Katanya, seperti Minke, kamu benci Jawa yang feodalis. Kamu bahkan bukan orang Jawa, tetapi kenapa diam-diam kamu justru menikmati menjadi Raja Kecil dengan jabatanmu itu?
Mungkin menurutmu saya terlalu baper, tidak bisa menyesuaikan diri punya teman pejabat. Tapi di saat pertemanan kita menjadi begitu protokoler seperti sekarang karena jabatanmu itu, saya sungguh merindukan Rasulullah, manusia dengan jabatan tertinggi dalam struktur ideologis kita.
Sebagai pejabat penting, Rasulullah begitu dekat dengan umatnya hingga mengizinkan tubuhnya dipeluk rakyat jelata yang sebelumnya berkoar-koar ingin memukul beliau sebagai bentuk keadilan. Sampai-sampai, banyak sahabat yang ingin menyerang fans berat Rasulullah itu sebelum misi utamanya ketahuan: agar bisa berpelukan dengan beliau!
Tetapi jika memang Rasulullah adalah pejabat yang dekat dengan umat, kenapa rakyat jelata itu sampai harus membuat drama agar bisa memeluk pribadi yang begitu dimuliakannya itu?
Tentu saja sebab protokoler adab (yang sayangnya begitu kaku) dari benteng penjagaan di sekitar Rasulullah. Padahal pemimpinnya alias Rasulullah biasa saja, woles sekali bahkan menyerahkan tubuhnya kalau benar ingin dipukul. Ketika tahu drama pukulan keadilan hanyalah modus fans berat, beliau pun tersenyum sambil menyambut pelukannya. Dijanjikan surga pula! Sangar, kan?
Sungguh, saya merindukan pemimpin yang populis seperti itu. Pemimpin yang bisa jadi sahabat, bukan sekadar pejabat. Seperti bagaimana Rasulullah menyebut orang-orang pengampu jabatan penting di struktur kelembagaannya: sahabat, bukan pejabat. Bahkan konon siapapun yang berada di dekat beliau akan merasa dianggap istimewa, bukannya tertekan.
Pun kalau mau memakai bahasa jabatan strukturalmu, amanah pemimpin adalah melayani umat. Sebagai umat, saya nggak kepingin juga sih dilayani olehmu, memangnya saya perempuan apaan. Saya hanya berharap kita bisa berteman sebagai manusia biasa, tanpa kebanyakan ribet perihal status sosialmu sebagai pejabat atau pimpinan keagamaan.
Mungkin ini memang konsekuensi saya sebagai rakyat jelata. Mau bersahabat saja, harus sadar strata sosial. Tapi sebenarnya kita hidup di tahun berapa, sih? Jangan-jangan saya sedang tersesat di masa ketika Rasulullah belum hadir membawa Islam dengan nilai-nilai kesetaraannya.