Senin (12/4), Sembilan Ibu-ibu pejuang dari Rembang menggelar aksi heroik memasung kaki mereka dengan semen di depan Istana. Aksi sembilan perempuan Rembang ini adalah sebagai bentuk protes penolakan kepada Presiden Joko Widodo atas pendirian pabrik semen di wilayah tempat tinggal mereka.
Berbagai pertanyaan berbau sinis pun lantas muncul sebagai tanggapan atas aksi yang memakai tajuk #DipasungSemen itu.
“Kenapa ibu-ibunya yang dipasung semen ya? Bapak-bapaknya pada kemana?”
“Kok tega ya lihat istri dipasung gitu?”
“Kenapa tidak mencoba berdialog ulang dengan pemilik pabrik?”
“Kenapa nekad banget membahayakan diri sendiri dengan dipasung semen?”
“Bukannya tuntutan mereka telah dimenangkan pengadilan ya? Kok masih aksi?”
Jadi begini lho sodara-sodara, seharusnya pertanyaan serupa itu tidak perlu muncul apabila anda sekalian menyempatkan sedikit waktu untuk menonton film di Youtube berjudul “Samin Vs Semen” produksi WatchDoc Image yang merupakan salah satu bagian dari perjalanan Ekspedisi Indonesia Biru. Film itu pertama kali diunggah tanggal 3 Maret 2015 serta telah ditonton 68.357 kali (ketika saya menulis tulisan ini). Tetapi baiklah, barangkali anda semua terlampau sibuk hingga tak sempat menonton. Saya akan sedikit merangkum mengapa kita harus belajar berpihak pada aksi Ibu-ibu Kendeng yang memasung kakinya dengan semen itu.
Bayangkan seorang petani perempuan berusia 40-an. Ia bukan kaum terpelajar, sebab pendidikannya hanya setingkat pendidikan dasar saja. Sejak bertahun lalu, ia dan banyak warga kampung mendengar berita bahwa alat-alat berat akan datang ke desanya untuk mendirikan pabrik penambang semen. Yang terpikir pertama kali olehnya adalah keresahan. Bagaimanapun, bertani adalah jalan hidup yang telah dijalani dari generasi ke generasi.
Pegunungan Kendeng Utara merupakan hamparan perbukitan karst yang terbentang luas dari Kabupaten Grobogan di bagian selatan, Rembang, Blora hingga Kabupaten Pati di bagian utara. Yang perlu anda ketahui lagi, di sepanjang pegunungan Kendeng Utara sebenarnya telah terdapat banyak titik penambangan semen. Dan rencana penambangan di wilayah Tegaldowo, lahan tempat Yu Sukinah bertani itu, jelas melanggar izin lingkungan yang masuk dalam wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watu Putih di Gunung Watu Putih berdasarkan peta Izin Usaha Pertambangan tahun 2012.
Sebelum anda buru-buru membayangkan bahwa masyarakat pegunungan Kendeng sebagai masyarakat miskin yang anti kemajuan dan perubahan, anda perlu tahu bahwa tanah pertanian di wilayah kami adalah tanah yang sangat subur. Di wilayah Kayen, Pati Utara, persawahan hijau menghampar, hasil panen padi, jagung dan sayur mayur melimpah ruah tak peduli musim tanam. Jika Al Qur’an menjanjikan surga berupa imaji impian masyarakat gurun pasir yakni pohon-pohon yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, maka masyarakat agraris seperti kami telah memiliki surga itu. Sungai yang mengalir di lahan subur dan goa karst bening betul.
Di Tiongkok, kawasan karst cukup dilestarikan sebagai tempat rekreasi sebab merupakan basis dari flora dan fauna endemik. Terdapat banyak batuan fosil bersejarah sebab dipercaya goa-goa karst di masa silam adalah tempat tinggal para manusia purba.
Toh, pabrik-pabrik Semen yang berdiri lebih dahulu, terbukti tidak lebih menyejahterakan masyarakat dengan memaksanya berubah menjadi para buruh. Dan yang paling pasti, 25% kebutuhan air bersih di Jawa, salah satunya bergantung pada rangkaian pegunungan ini. Satu dekade lalu saja, segala aktivitas dasar yang membutuhkan air seperti minum, masak dan mencuci, cukup kita penuhi dengan sumber air tanah.
Hari ini, hampir semuanya bergantung pada pabrik air kemasan. Air yang disediakan alam secara gratis, harus kami beli dengan harga mahal. Lingkar karesidenan Pati yang terdiri dari Rembang, Pati, Blora, Kudus dan Jepara telah merasakan bagaimana sumber air yang kian lama kian memprihatinkan. Dead chicken in the rice barn.
Jika kondisinya sesederhana soal warga Kendeng tahu bahwa bertani akan lebih membuat ekosistem dan kehidupan terjaga dan lebih membuat sejahtera, mengapa alat-alat berat dan para cukong itu terus memaksa merangsek menciptakan hal yang dengan nalar logis sudah jelas tidak rasional dan tidak seimbang?
Kondisi semacam itulah yang membuat perempuan petani bernama Sukinah itu akhirnya memutuskan untuk melawan. Ia tidak pernah tahu tentang segala macam teori ekosistem dan data-data WALHI perihal tanah yang mereka bela ternyata berpengaruh penting untuk nasib seluruh pulau Jawa. Ia hanya tahu bahwa ia dan warga desanya harus terus bertani.
Sejak bulan Juni 2014, akhirnya ia bersama puluhan ibu-ibu petani di desanya memutuskan untuk mendirikan tenda tepat di kawasan di mana alat-alat berat mulai masuk, kawasan yang telah ditandai PT Semen Indonesia dengan tulisan “di sini akan didirikan pabrik semen”. Aksi Sukinah dan para Ibu yang terus menginap di tenda lama-lama meresahkan pemilik perusahaan. Mereka pun mengirim alat-alat Negara bersepatu lars dan bersenjata untuk “mengamankan” atau tepatnya mengawasi gerak-gerik para ibu.
Pada periode satu-tiga bulan pertama, puluhan Ibu itu selalu memasang badan mereka ketika alat-alat berat datang ke lokasi. Di sanalah terlihat di mana keberpihakan alat-alat Negara, mereka memasang badan untuk melawan para Ibu, bahkan terjadi tindakan represif: Ibu-ibu mendapat kontak fisik dengan para pria berbadan tegap itu dan terlempar ke semak. Sejak saat itulah, Sukinah akhirnya bersumpah bahwa ia tidak akan meninggalkan tenda perjuangan sampai alat-alat berat ditarik dari bumi Rembang dan pendirian pabrik semen batal!
Ajaibnya, para Ibu yang didampingi oleh pemuda Priyanto alias Print Woeloeng bersama Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) itu juga berikrar bahwa mereka tidak akan menggunakan cara-cara kekerasan dalam aktivitasnya. Hal ini juga menjawab pertanyaan mengapa yang melakukan aksi adalah para Ibu. Pikiran seksis ini dapat dijawab dengan filosofis seperti bahwa lahan yang mereka wakili adalah simbol ibu bumi yang melahirkan hasil tani (produksi).
Lahan pertanian adalah rahim tempat bergantungnya eros (kehidupan), dan rahim adalah simbol daya perempuan. Tetapi, oleh Sukinah, ia akan menjawab sederhana saja dan tanpa ndakik-ndakik, “agar tidak terjadi kekerasan Mbak. Kalau laki-laki yang maju, melihat para manusia yang dipersenjatai Negara itu pasti akan emosi duluan. Situasi panas semacam itu justru dapat menggagalkan misi perlawanan dan warga akan semakin mudah diadu domba.”
Adu domba? Ya, tentu saja! Begini, di awal-awal bulan pergerakan Sukinah, tentu pabrik tidak diam. Ia telah berupaya melakukan segala cara mulai dari membagi warga menjadi dua kubu, pihak pro dan pihak melawan. Pihak pro tentu diiming-imingi dengan sejumlah uang. Isu bahwa manusia yang melawan ini mewarisi kaum PKI dan berbahaya, bahkan anak-anak mereka juga mulai dikucilkan di sekolah. Bagi gedibal moral dan gedibal agama, cukup embuskan isu bahwa pihak yang melawan ini adalah para penganut kepercayaan “Samin”, kepercayaan harusnya tentu saja dijauhi sebab kita mesti beragama saja.
Tapi, Sukinah terus bergerak. Ia tidak hanya tinggal di tenda, tetapi berorasi dan memohon solidaritas dalam acara-acara kebudayaan di berbagai daerah di Jawa, bahkan di kota-kota besar seperti Semarang hingga Jakarta. Tanpa sadar, dalam orasi dan perjalanannya itu, mereka kaum tani yang tidak berpendidikan justru menjadi serupa duta lingkungan yang sadar dan menyadarkan banyak orang akan pentingnya melestarikan ekosistem serta melawan agenda-agenda pembangunan persekongkolan Negara dan pengusaha yang kian lama kian tidak terkendali.
Sukinah bersama ibu-ibu lain juga melanjutkan usaha mereka di Jakarta, dengan mendatangi kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Markas Besar Polri, Balai Kota DKI Jakarta, Komisi Yudidial, Mahkamah Agung, sampai Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengadukan perusakan “ibu pertiwi” mereka.
Tak banyak media yang meliput, maka terberkatilah Mark Zuckerberg dengan fesbuknya, hingga gaung pergerakan ini terus meluas dan didengar. Uniknya, muncul berbagai zine, gambar, karya seni, produk literasi serta produk budaya yang khas spanjang pergerakan ini. Aksi yang akhirnya menunjukkan gaungnya di sosial media itu, ternyata membangkitkan kesadaran warga daerah lain yang mendapat ancaman serupa.
Di Pati, Kendal, Jombang, Klaten, dan banyak daerah lainnya. Ketika akhir 2015 warga Pati menantikan putusan sidang di Semarang, Sukinah bersama puluhan Ibu dan Bapak juga didampingi oleh sedikit seniman dan intelektual yang peduli, melakukan aksi jalan kaki dari Rembang ke Gedung MK di Semarang dengan tajuk “Warga Kendeng Menjemput Keadilan”. Maghrib itu, semua Ibu bersujud dan menangis ketika mendengar putusan bahwa Hakim akhirnya memenangkan para petani di kawasan Pati Utara dan rencana penambangan akan dibatalkan.
Namun, perjuangan belum selesai. Kawasan Pati Utara, daerah asal Gunretno (tokoh Samin) untuk sementara memang terbebas dari ancaman. Ya, sementara. Sebab seperti yang sudah-sudah, para pengusaha itu memang tidak gentar untuk sewaktu-waktu datang kembali ketika warga lengah dan makin putus asa karena lelah melawan. Perjuangan belum selesai, masih ada Rembang yang perjuangannya di pengadilan Surabaya masih jauh. Masih ada lahan-lahan di Kendal, di Jombang, di Klaten, di Bogor, yang sama-sama masih terus berjuang. Dan dari Rembang lah, kobaran api semangat itu datang.
Ya, Yu Sukinah dan pergerakan dari Rembang kini telah menjadi semacam simbol. Dapat dikatakan, jika api mereka mati, maka massa aksi lain yang telah semakin bergelombang di daerah lain juga akan kembali mati. Maka, api pergerakan di Kendeng tak boleh padam! Ia mesti terus lanjut hingga rencana penambangan di Rembang benar-benar dibatalkan.
Lagipula, apa sih yang kalian nyinyirkan dari pergerakan masyarakat kelas bawah yang tentu saja tidak memiliki Sumber Daya untuk membayar media, pengacara, kuasa hukum, serta pejabat Negara, yang semuanya telah bungkam itu? Aksi #DipasungSemen jelas hanya upaya merebut perhatian publik dan perhatian Pemerintah Pusat serta Presiden terpilih yang membawa segudang janji pada pemilihan umum lalu.
Mereka tidak membuat kemacetan seperti aksi buruh yang dibenci kelas menengah. Mereka tidak akan membahayakan siapapun, dan mereka telah sadar betul bahwa resiko yang akan mereka hadapi dengan para cukong dan penguasa adalah kekalahan. Namun, setidaknya, sebagai manusia yang memiliki harga diri, mereka telah berupaya untuk terus melawan: sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.