Sering sekali ITS disalahkaprahkan sebagai Institut Teknologi Surabaya—hanya karena berlokasi di kota Surabaya. Padahal, ITS itu singkatan dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Sesuai namanya, Sepuluh Nopember yang merupakan peringatan perjuangan arek Suroboyo sebagai Pahlawan, kampus ITS sendiri adalah kampus perjuangan. Jika pada 10 Nopember 1945 arek-arek Suroboyo berusaha keras mengusir sekutu, sampai memanjat Hotel Yamato demi menyobek bendera Belanda, dan akhirnya berhasil menewaskan AWS Mallaby di jembatan merah, maka arek ITS juga punya perjuangannya sendiri di kampus.
Kepala Plontos
Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (OSPEK) di ITS lebih dikenal dengan sebutan pengaderan, karena bertujuan menciptakan kader-kader yang siap tempur di medan kehidupan penuh tembakan jomblowan dan ledakan meriam penolakan yang membumi-hanguskan harapan penuh bunga kamboja.
Berbagai cobaan harus dilewati sebagai maba, salah satunya adalah siap-siap kehilangan rambut indahmu. Dengan menjunjung tinggi nilai “Semua harus sama!” dalam pengaderan yang berlangsung, maka kesamaan potongan rambut yang paling mungkin dilakukan adalah memplontos kepala. Jadi, kalau melewati kawasan ITS Sukolilo di awal tahun ajaran, jangan kaget melihat barisan kepala-kepala licin sedang berkeliling kampus. Mereka bukan biksu yang sedang berkelana, dan jelas bukan pula barisan tuyul yang sedang hijrah. Mereka cuma sekumpulan mahasiswa baru ITS.
Mendadak Idola
Layaknya kampus teknik di mana pun berada, jurusan-jurusan di ITS rata-rata miskin keberadaan kaum hawa. Di Teknik Kelautan contohnya, dari sekian ratus kaum adam berkepala plontos dalam satu angkatan, sempat terdeteksi hanya ada 3 kaum hawa diantara mereka. TIGA!
Berbanding terbalik dengan kaum adam yang awet dalam kejombloan, dan berkali-kali tertikung senior maupun junior dalam mendapatkan gebetan, kaum hawa ITS justru menjadi rebutan dan berganti pacar berkali-kali, meski wajahnya tidak secantik mbak Dian Sastrowardoyo yang ihik. Para jomblowan hanya bisa duduk manis di kawasan rektorat sambil sesekali mengintip mahasiswi arsitek yang paling modis se-ITS.
Berbahagialah mahasiswa-mahasiswa D3 Sistem Informasi yang kantinnya berbarengan dengan mahasiswi-mahasiswi Teknik Industri dan D3 Teknik Kimia yang notabene lebih kinyis-kinyis dibanding mahasiswi jurusan mereka sendiri.
Jeli Outsiders
Di masa pengaderan, mahasiswa baru diharuskan untuk hafal semua teman seangkatannya. Bayangkan saja, besok seluruh mahasiswa baru diharuskan menghafal sekian ratus kepala plontos teman seangkatannya yang baru ditemui hari ini. Opo gak modyar? Untungnya, tidak semua bentuk kepalanya bulat sempurna. Ada beberapa yang mblesek di bagian kiri atau kanan, dan itu akhirnya memudahkan untuk dijadikan ciri khas dalam menghafal siapa-siapanya.
Berkat perjuangan mengingat kepala teman-temannya yang menyilaukan mata itulah, mahasiswa ITS jeli akan kedatangan orang-orang yang bukan berasal dari ITS—atau bahkan bukan dari jurusannya. Terutama kalau yang datang adalah mahasiswi Fakultas Kedokteran Gigi Univesrsitas Airlangga yang sedang mencari korban pasien. Sekeras apa pun usaha mahasiswi FKG Unair berdandan se-ITS mungkin (yang artinya cuma polo-shirt dan jeans), tetep aja mahasiswa-mahasiswa di seantero kantin pusat bisa tahu mereka bukan dari ITS dan melongo ndeso kayak seumur hidup gak pernah ngeliat cewek.
Laporan Tulis Tangan
Banyak di antara mahasiswa kampus lain yang merasa sebal ketika tugas semi copy-paste-edit yang dikerjakannya semalaman langsung dibuang begitu saja oleh dosen. Nasib mereka belum apa-apa dibanding yang dialami mahasiswa ITS.
Sudah seperti tradisi, mahasiswa baru ITS di semester awal akan mendapatkan pengalaman menyusun laporan praktikum yang harus ditulis tangan. Hebatnya, laporan tersebut biasanya setebal 2 cm. Maka jangan heran kalau isi laporannya mulai dari tulisan yang sangat manusiawi untuk mata, sampai seperti lukisan benang kusut. Gak cuma itu saja. Berhubung yang harus ditulis itu banyaknya nyaingin naskah sinetron stripping yang gak ada tamatnya, gak jarang mahasiswi-mahasiswi yang mendadak jadi idola itu memanfaatkan pesonanya, menyihir para senior yang berusaha PDKT agar membantu menuliskan isi laporannya dan teman-temannya. Gak jarang, senior-senior yang diperdaya itu adalah asisten laboratorium yang seharusnya memberi nilai praktikum.
Arogansi Jurusan dan Jaketnya
Semenjak pengaderan kami sudah dilatih untuk bangga akan almamater, dan tentunya bangga akan jurusan sendiri. Mulai saat pengaderan, benih-benih itu dimunculkan dengan adu yel-yel melawan jurusan lain. Siapa yang suaranya lebih lantang, kompak dan penuh semangat, maka mereka yang menang. Tak jarang, saking semangatnya para maba pun mendorong dan menyikut senior-senior yang menjadi pagar betis untuk melindungi mereka agar tidak beradu otot dengan mahasiswa jurusan lain.
Selepas jadi maba, kebanggaan akan jurusan ini bisa dilihat dari frekuensi penggunaan jaket jurusan dalam kesehariannya. Mau ke kampus kek, ke pasar nganter ibu belanja kek, ke mall nganter gebetan window shopping kek, atau nonton Inbox juga tetep aja jaket jurusan masih nempel di badan. Selain itu, tidak sedikit dari mahasiswa ITS yang dengan gaya petantang-petentengnya menggunakan jaket jurusan ke kampus B Unair, sembari melihat bidadari-bidadari Fakultas Hukum dan Fakultas Ekonomi yang jelas jauh lebih kinclong daripada kaum hawa di kampus mereka. Penggunaan jaket jurusan di kampus tetangga yang satu itu seakan-akan statement bahwa mereka adalah pria-pria bermasa depan cerah yang setelah lulus akan segera bekerja di perusahaan minyak dan gas bertaraf internasional. Meskipun di kampus mereka lebih sering mbacem tugas dan saat kuliah lebih sering diminta dosen untuk menutup pintu dari luar, alias telat-dan-silakan-keluar.
Geek & Nerd Lab
Jika di kampus lain banyak mahasiswa yang setelah kuliah langsung pulang atau nongkrong di tempat gaul, mahasiswa ITS punya tongkrongan sendiri sehabis kuliah: LAB. Bukannya bergaya sok pinter atau sok yang gimana-gimana, tapi memang harus diakui, Lab di ITS memberikan fasilitas yang cukup bagi mahasiswanya. Di Jurusan Teknik Elektro, misalnya, mulai dari sekadar server sampai robot NAO unyu yang bisa diprogram menari atau bermain bola itu pun ada. Lab di ITS pun dibuka 24 jam, dengan maksud mempermudah mahasiswa-mahasiswa tingkat akhir yang mungkin membutuhkan fasilitas kampus untuk menyelesaikan TA-nya.
Tapi dari sekian banyaknya fasilitas yang ditawarkan kampus, tentunya yang membuat mahasiswa betah di kampus adalah koneksi internet yang kencang dan AC yang dingin. Tak tanggung-tanggung, keberadaan lab yang 24 jam itu pun terkadang dimanfaatkan para mahasiswanya untuk menginap di lab. Terutama jika keesokan harinya ada kuliah jam 7 pagi, maka tidur di lab sering menjadi opsi utama. Cukup bangun, cuci muka dan masuk ke kelas. Karena pola hidup di lab seperti itulah yang akhirnya melahirkan stereotype anak ITS jarang mandi. Cewek-cewek jadi segan untuk serius, dan akhirnya jomblowan-jomblowan ITS terperangkap dalam friendzone tak berujung.
Menjadi mahasiswa ITS artinya harus siap berjuang menghadapi kehidupan kampus yang lebih bangsat dibanding dunia nyata. Tapi, perjuangan di kampus ITS yang penuh sumpah-serapah untuk dihadapi itu kemudian berubah jadi kenangan penuh tawa. Sampai saat ini, saya selalu tertawa jika mengenang malam takbiran yang dihabiskan di kampus bersama teman-teman seangkatan untuk menyerahkan laporan praktikum tulis tangan yang akhirnya dibuang begitu saja oleh koordinator praktikum.
Mengenang masa-masa kuliah di ITS itu seperti jatuh cinta pada orang yang menyebalkan. Rasanya, benci-benci rindu. Rindu-rindu benci.