Hanya karena kebodohan seseorang menembakkan flare gun (pistol suar), yang kemudian membakar dan menghanguskan tempat konser di Montreux, Swiss, kelompok musik rock lawas Deep Purple kemudian terinspirasi menciptakan lagunya yang kondang bagi generasi Jambe (jaman biyen), Smoke on The Water:
“…But some stupid with a flare gun/ Burned the place to the ground/ Smoke on the water, fire in the sky..”
Saya membayangkan, seandainya mereka melihat bagaimana kebodohan bersekutu dengan kejahatan untuk membakar lahan-lahan gambut dan hutan di Kalimantan dan Sumatera, bisa saja Deep Purple juga menciptakan seri kedua lagu itu: Smoke On Ndasmu (asap di jidatlu!).
Sudah lebih dari 500 titik api tersebar di Sumatera, mengakibatkan Bencana Asap yang sudah berjalan dua bulan ini—dan semakin parah akhir-akhir ini. Tak terhitung kerugian yang diakibatkan Bencana ini. Jadwal penerbangan dan arus transportasi darat yang kacau. Anak-anak yang harus diliburkan sekolahnya, entah sampai kapan. Dan penyakit ISPA (infeksi saluran pernapasan akut) yang menimpa banyak orang.
Bencana Asap ini sudah sangat mengganggu kehidupan masyarakat, mencemari lingkungan (udara), mengakibatkan kerugian ekonomi. Tingkat ISPU (Indeks Standar Pencemar Udara) sudah di atas 300 (Berbahaya), meroketkan jumlah penderita ISPA ke level astaghfirullah: hampir tiga ribu kasus.
Ringkasnya, kualitas kehidupan sudah dibuat ringsek dan ngehek ke level yang setara pertemuan para pimpinan DPR dengan Donald Trump, atau sama bajingannya dengan upaya kriminalisasi kritik sastra Saut Situmorang. Merendahkan akal sehat. Merendahkan kualitas kehidupan. Membunuh dalam senyap, killing them softly, secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Ajaibnya, dalam kondisi remuk-redam warga korban Bencana, baik pemerintah maupun pers masih saja menggunakan frasa “kabut asap” dalam merespons atau menuliskan berita Bencana Asap ini. Seolah dengan menggunakan frasa “kabut” dan bukan bencana, mereka ingin mengatakan bahwa asep tebal itu acceptable, terjadi karena proses alamiah, akibat ulah some stupid with a flare gun!
Eufimisme sudah jadi bagian dari SEMBAKO kehidupan berkomunikasi bangsa ini.
Di dalam konsep Penanggulangan Risiko Bencana, banyak aktivis kebencanaan sudah sampai di garis finish pemahaman bahwa Bencana adalah bertemunya Ancaman (hazard) dengan Kerentanan (vulnerability), minus Kapasitas (capacity). Konsep ini secara gamblang ingin membatasi pengertian yang mengatakan bahwa Bencana itu alamiah. Karena di dalam konteks bernegara, negaralah yang bertanggungjawab meminimalkan kerentanan dan meningkatkan kapasitas warga, termasuk melindungi warganya dari ancaman bencana dengan perlindungan aturan ketat dari tangan-tangan jahil para penjahat.
Dengan definisi bencana seperti diurai di atas, konsep ini ingin mengatakan: Tidak ada bencana alamiah (natural disaster). Hanya Ancamanlah yang bisa bersifat alamiah, dan atau karena ulah manusia seperti pada kasus Bencana Asap—yang terjadi setiap tahun, seperti hari raya, dalam rentang puluhan tahun. Ancaman alamiah itu seperti gempa dan tsunami yang bersumber dari dinamika gesekan lempengan di perut bumi.
Dan Indonesia bukan negeri yang bebas dari ancaman alamiah. Sebagai wilayah Cincin Api, tanpa akik, Indonesia berada di atas pertemuan tiga lempeng perut bumi: Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Saling kangennya lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia menyebabkan mereka begitu bergairah dalam gesekan-gesekan pertemuan yang mengakibatkan gempa dan tsunami, seperti yang terjadi di Aceh 10 tahun silam.
Seperti tidak mau kalah dengan kemesraan para lempeng, semangat eufimistik para elit juga berkelindan dengan majalnya sensitivitas mereka. Situasi darurat Bencana Asap sudah mengganggu kehidupan ekonomi, meluas lintas propinsi dan lintas pulau, bahkan tanpa paspor dan visa sudah masuk dan menyebar lintas negara sampai ke negeri jiran, sensitivitas pemerintah daerahnya masih saja berada di titik sandal jepit!
Ya, Menkopolhukkam Luhut Binsar Pandjaitan memang terlihat gahar ketika tanpa alasan jelas Gubernur Kalimantan Selatan dan Kepala BMKG tidak hadir dalam rapat koordinasi kebakaran hutan. Dengan tegas dan keras ia berkata: “Saya minta kepala daerah untuk tidak diwakili apabila masih hidup!” Saya hakulyakin, Menteri Luhut tidak bermaksud menganggap para pejabat negara itu sudah jadi pocong gentayangan.
Tapi apakah marah-marah saat rapat saja sudah cukup?
Saya paham, bahwa menurut aturan, bila asap yang merusak kehidupan itu ditetapkan sebagai Bencana (level daerah atau level nasional karena Pemdanya sudah lempar handuk tak mampu menangani), maka negara wajib melakukan tindakan-tindakan penanggulangan cepat dan efektif. Bahkan negara wajib memberikan kompensasi terhadap para korban, lewat kegiatan-kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi. Dan, tentu saja, tindakan hukum bagi perusahaan-perusahaan jahat pembakar lahan.
Semua implikasi itulah yang mungkin saja membuat mereka dengan semangat-NKRI-harga-mati harus mempertahankan eufimisme mereka.
Daripada buang uang membantu, dengan segala daya tanggungjawab, mengirim masker yang saat ini mulai langka di Jambi sekitarnya, dan mendistribusikan air bersih ke pelosok-pelosok yang parah tertimpa bencana, negara nampaknya lebih rela membuang uang puluhan miliar untuk ngongkosin para politisi menyaingi kelompok studi mahasiswa membanding-bandingkan belanjaan.