Benarkah Radiasi Paru-Paru Perokok Lebih Radioaktif daripada Chernobyl dan Fukushima?

Menarik kesimpulan ngawur dari satu penelitian di luar paham keilmuan dirimu, terus merasa lebih tahu daripada orang lain, itu jelas tindakan bodoh.

Benarkah Radiasi Paru-Paru Perokok Lebih Radioaktif daripada Chernobyl dan Fukushima? MOJOK.CO

Ilustrasi Benarkah Radiasi Paru-Paru Perokok Lebih Radioaktif daripada Chernobyl dan Fukushima? (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COSeorang influencer mengungkapkan bahwa radiasi di paru-paru perokok lebih radioaktif ketimbang Chernobyl dan Fukushima. Bener nggak, ya?

Sri Mulyani baru saja mengumumkan bahwa cukai rokok naik sebesar 10%. Para pengguna Twitter, dari para ahli hingga orang awam, merasa berkewajiban ikut mengeluarkan pendapat.

Saya, sih, kurang tertarik mengikuti perdebatan tentang rokok itu sendiri. Sampai kemudian saya melihat tweet dari seorang influencer, yang sejujurnya hanya saya kenali dari konten tentang anaknya yang lucu. Isi twitnya: “Kalian tau tidak di mana tempat di Bumi ini yang paling terkontaminasi bahan radioaktif? Kalau jawabannya Chernobyl dan Fukushima, kalian salah. Paru-paru perokok adalah tempat paling terkontaminasi bahan radioaktif. Kayak gini lo bilang ningkatin kreativitas?” 

Saya nggak perlu menyebutkan username beliau, kan? Tahu dong yang mana.

Pernyataan dia ini sungguh menggelitik saya sebagai seorang lulusan teknik nuklir. Yah, walau sudah hampir tiga tahun saya lebih banyak nyebokin anak daripada ngikutin perkembangan teknologi nuklir. Namun, setidaknya, selama 4,5 tahun kuliah dulu, saya cukup punya sedikit ilmu mengenai nuklir. 

Nah, secara ilmiah, sebuah pernyataan sekuat itu WAJIB memiliki dasar penelitian. Jadi, saya akan coba melakukan studi literatur. Sebagai catatan, saya hanya akan menjabarkan bukti ilmiah apakah benar, radiasi paru-paru perokok lebih radioaktif daripada Pripyat (lokasi PLTN Chernobyl berada) dan Fukushima. Saya tidak akan membahas apakah rokok dapat meningkatkan kreativitas atau tidak, karena itu di luar keahlian saya.

Informasi dasar mengenai radiasi nuklir

Biar nggak bingung, pertama, saya akan menjelaskan sedikit tentang radiasi nuklir. Mungkin ada yang mengira radiasi nuklir hanya ada di PLTN. Padahal, radiasi alam ada di mana-mana. Ya di dalam air, di udara, dan tanah. Cara menghitung jumlah paparan radiasi yang kita terima adalah dengan mengukur dosis radiasi yang diterima oleh tubuh manusia.

Dosis radiasi ini diukur dalam satuan Sievert (Sv), diambil dari nama seorang fisikawan medis dari Swedia, Rolf Maximilian Sievert. Ukuran 1 Sv merepresentasikan dosis radiasi yang sangat besar. Oleh sebab itu, biasanya dituliskan dalam unit yang lebih kecil, yaitu millisievert (mSv) dan mikrosievert (µSv). Catat ya, 1 Sv itu 1.000 kali lebih besar dari 1 mSv. Sedangkan 1 mSv itu 1.000 kali lebih besar dari 1 µSv.

Dalam setahun, pada umumnya, manusia terpapar radiasi alam sebesar 2 sampai 3 mSv/tahun (=2.000 µSv/tahun). Dosis yang dibutuhkan untuk menyebabkan peningkatan risiko kanker pada manusia adalah sebesar 100 mSv/tahun.

Dosis radiasi dalam tembakau

Menurut CDC, badan kesehatan publik Amerika Serikat, tembakau mengandung material radioaktif Polonium-210 (210Po) dan Timbal-210 (210Pb). Kedua material ini dapat kita temukan secara alami di alam, yaitu di tanah dan udara. 210Po dan 210Pb juga terdapat dalam pupuk fosfat yang digunakan oleh petani. Dari sinilah tembakau menyerap kandungan kedua material tersebut dan konon tidak hilang kandungannya meskipun tembakau telah diproses.

Lewat sebuah penelitian yang dilakukan pada 2011 oleh Persson dan Holm, diperkirakan seorang perokok ringan yang merokok tiga batang dalam sehari menerima dosis radiasi dari rokok sebesar 11 µSv/tahun. Sementara itu, perokok berat (30 batang dalam sehari) menerima dosis radiasi sebesar 100 µSv/tahun. Menurut data BPS, rata-rata perokok Indonesia merokok sebanyak 11 batang/hari pada 2021, yang berarti dalam perhitungan kasar, rata-rata perokok di Indonesia menerima dosis radiasi sebesar 40 µSv/tahun.

Dosis radiasi dalam makanan lain

Persson dan Holm juga juga menyediakan data dosis radiasi yang diterima oleh tubuh manusia melalui makanan. Manusia dewasa, umumnya, menerima dosis radiasi sebesar 28 sampai 70 µSv/tahun dari makanan.

Namun, apabila yang dikonsumsi adalah makanan vegetarian, maka jumlah dosis yang diterima sebesar 10-30,6 µSv/tahun. Makanan yang paling banyak mengandung 210Po dan 210Pb adalah makanan laut, pada komunitas yang mengonsumsi makanan laut dalam jumlah tinggi, dosis radiasi yang diterima dari makanan melonjak menjadi 50,4 sampai 267 µSv/tahun, lebih besar dari estimasi dosis radiasi diterima rata-rata perokok di Indonesia.

Dosis radiasi di Pripyat dan Fukushima

PLTN Chernobyl di Pripyat, Ukraina, mengalami kecelakan akibat kelalaian manusia pada 26 April 1986. Hingga hari ini, 36 tahun setelah tragedi tersebut, Pripyat masih menjadi kota mati. Menurut data yang dirilis pada 2009 (23 tahun setelah kejadian), dosis radiasi di permukiman penduduk Pripyat yang ditinggalkan adalah sebesar 0,3 µSv/jam atau setara 2630 µSv/tahun. Dosis radiasi di PLTN Chernobyl sendiri tentu lebih besar dari angka tersebut.

PLTN Fukushima Daiichi di Fukushima, Jepang, mengalami kebocoran radiasi pada 11 Maret 2011 akibat bencana gempa dan Tsunami. Menurut estimasi sebuah penelitian pada 2014, dosis radiasi di Fukushima pada 2022 (11 tahun setelah kejadian) akan mencapai nilai 2 mSv/tahun (2000 µSv/tahun), setara dengan dosis yang didapatkan dari radiasi alam pada umumnya.

Baca halaman selanjutnya

Benarkah paru-paru perokok lebih radioaktif daripada Pripyat dan Fukushima?

Dari angka-angka di atas, saya dapat menarik kesimpulan bahwa pernyataan influencer itu ngawur dan tidak berdasar. Bahkan, penelitian yang dikutip si influencer itu sama sekali tidak menyebutkan bahwa paru-paru perokok lebih radioaktif daripada Pripyat dan Fukushima. 

Penelitian tersebut HANYA mengukur dosis radiasi yang diterima oleh perokok. Akan lebih tepat jika kita bilang bahwa perokok lebih banyak memaparkan dirinya pada radiasi daripada bukan perokok. Padahal, paparan itu bisa mereka hindari dengan tidak merokok. Walau pernyataan ini juga dapat dengan mudah disangkal oleh perokok, “Ah, toh lebih banyak paparan radiasi daripada makanan laut. Aku tetep ngerokok aja, tapi ngurangin makan makanan laut.” Yeee, dasar ngeyel!

Membaca penelitian ilmiah dengan kritis

“Jadi, kalau radiasinya tinggi, nggak boleh makan makanan laut, dong? Terus berarti merokok nggak berbahaya, ya?” 

Eits, nggak gitu, dong. 

Coba, deh, dilihat angka dosis radiasi dari konsumsi makanan laut. Bandingkan dengan dosis radiasi yang kita terima secara alami. Berbeda jauh, kan? Jadi, memang, dosis radiasinya lebih tinggi dari makanan lain, tetapi tidak cukup tinggi untuk kita khawatirkan.

Kalau apakah merokok berbahaya atau tidak, ya kalau pakai argumen karena rokok itu radioaktif, ya tentu tidak. Tapi, kalau dilihat dari segi kesehatan, kandungan kimianya, dampak ekonominya, dst, dst, hmmm ya gitu, deh.

Intinya, ketika membaca penelitian ilmiah, dibutuhkan kemampuan berpikir kritis. Nggak semua penelitian itu dilakukan supaya dapat menghasilkan sebuah pernyataan absolut, loh. Kadang ya cuma untuk tahu saja. Kalau kita melakukan X, apa ya pengaruhnya ke Y? Terus kesimpulan yang ditarik juga hanya berlaku pada subjek penelitian dalam penelitian tersebut. Nggak bisa digeneralisir.

Jadi, menarik kesimpulan ngawur dari satu penelitian di luar paham keilmuan dirimu, terus merasa lebih tahu daripada orang lain, itu jelas tindakan bodoh. Kecuali kamu influencer yang berusaha keras untuk terus relevan di media sosial. 

In that case: nice try, dude!

BACA JUGA Serampangan Menaikkan Cukai Rokok Bukti Dangkalnya Rasionalitas Negara dan Sri Mulyani dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Sheila Amalia

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version