MOJOK.CO – Seperti halnya kasus Ahok dengan vonis penista agama, apa yang menimpa Ahmad Dhani sebenarnya tidak perlu berakhir di penjara.
Bagi beberapa orang—saya salah satunya—misuh, mengumpat atau memaki tidak serta merta memaknainya sebagai bahasa kotor.
Saya sendiri menganggap misuh sebagai sarana keakraban dan cara menggelorakan ekspresi. Bahkan kalau diresapi benar ada unsur kejutannya, juga rekreatif.
“Jancuk! Dobol! Kariermu cemerlang sekali, Njing! Rusak dunia ini kalau kamu diberi umur panjang. Orang lain yang nggak segoblok kamu bisa nggak kebagian.”
Itu contoh umpatan combo, ada jancuk, dobol, goblok, mengharap tidak berumur panjang, dan anjing. Unsur pujiannya minim, tetapi “si korban” merasa baik-baik saja. Terkadang malah ketagihan. Ringan dan melegakan bagi yang mengucapkan, bukan dianggap sebagai perundungan oleh korban yang memang mempunyai kedekatan emosi.
Kebiasaan misuh hidup subur di sekitar kita, kemarin dan hari ini. Variannya tentu banyak, tiap daerah pasti memiliki. Jika dikumpulkan dan dibukukan, serta diberi contoh penggunaannya, rasanya KUHP warisan kolonial yang sering makan korban itu niscaya kalah tebal.
Sayangnya, politik membuat segalanya berubah belakangan ini. Jika selama puluhan tahun silam, kalimat serupa yang diucapkan Ahok dan Ahmad Dhani tidak pernah menimbulkan masalah, sekarang bisa berakibat hukum yang serius.
Rasanya terlalu sempit pandangan kita kalau misuh dianggap sebagai upaya menjatuhkan mental, memperburuk citra orang lain, apalagi diangap sebagai hate speech.
Hate speech, istilah asing yang dengan gagah sering kita masukkan ke menu omong kosong dalam keseharian. Dan kemudian kita akrabi saat ini sebagai ujaran kebencian, mengajak orang lain untuk membenci.
Satu istilah yang membuat bangsa ini memasuki peradaban baru sebagai bangsa baper dan cengeng. Sebentar-sebentar kok lapor polisi, lapor polisi kok sebentar-sebentar.
Boleh saja misuh atau mengumpat diberi label sebagai ujaran kebencian. Merujuk perspektif sosiologi, mengumpat sejatinya menempati ruang yang sama seperti kebiasaan merokok. Dikatakan sehat salah, dikatakan tidak sehat nyatanya tidak sedikit perokok yang tetap sehat hingga masa tuanya.
Problem bacot, eh, mulut di masyarakat sebenarnya kerap ambigu. Mereka akan menjawab “perlu” kalau itu dilakukan oleh sosok yang tidak disukai, dibenci, atau berseberangan. Beralih menjawab “tidak perlu” kalau itu dilakukan pujaannya, walaupun melakukan hal yang kurang lebih sama.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan Undang-Undang yang ada di negeri ini. Mulut dan tangan manusia Indonesia selain dibatasi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Untuk menjaga warga dari paparan informasi yang menimbulkan kebencian, juga dibatasi oleh Pasal 156a KUHP, agar orang di muka tidak mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama.
Seperti halnya kasus Ahok, yang menimpa Ahmad Dhani sebenarnya tidak perlu berakhir di penjara. Mulai dari ahli agama hingga ahli pendidikan, kalau ditanya satu per satu tanpa mengikutkan pandangan politiknya, pasti akan mengatakan kalau mengumpat secara publik itu salah.
Namun, pemenjaraan untuk satu ucapan yang disampaikan dalam tensi politik yang tinggi, sebenarnya tidak akan membuat bangsa ini menjadi bangsa yang tangguh.
Serius. Politisi itu seperti penonton bola di stadion. Atmosfer pertandingan dan riuhnya suporter kerap menaikkan tensi dan mengempaskan akal sehat kita ke level terendah. Saat melihat pemain lawan jatuh dilanggar tim yang kita unggulan, sebagian penonton yang “tengah terbakar” akan mengatakan beragam komentar: modar, ludahi, injak sampe jadi emping!
Itu template suporter garis bengkok. Lihat lawan, bawaannya misuh. Seandainya ada yang mengatakan; “Astaghfirullah semoga tidak terluka,” berarti seorang ustaz yang sedang haus hiburan.
Nah kalau ada yang mengatakan; “Syuper sekali jatuhnya,” ada kemungkinan Mario Teguh sedang hadir ke stadion untuk menyerap energi massa.
Kalau terbiasa berpikir sistematis, terlebih dahulu kita perlu membereskan alur logika yang terlanjur kusut sejak vonis Ahok hingga Ahmad Dhani. Namun, itu untuk manusia yang hobi berpikir seperti sebagian pembaca Mojok, ya. Loh, emang ada pembaca yang tidak berpikir? Ada banyak.
Baca judul langsung menuduh kalau Mojok partisan dan sebenarnya sedang membela Ahok dengan gaya satire, lalu berlagak mau belain Ahmad Dhani agar segera bebas dari penjara—padahal sebenarnya mau nyindir.
Hm, tidak. Tidak. pandangan itu jelas keliru. Tuduhan tanpa dasar.
Secara subjektif, tulisan ini justru merupakan persembahan seorang Baladewa garis putus-putus lagi samar terhadap seorang jenius dalam industri musik kita. Sosok yang menempa para laki-laki dari generasi ‘90-an untuk menjadi mistikus cinta.
Jasa Ahmad Dhani yang sebegitu besar selalu mampu membuat para Baladewa sedunia meraung dan merasa ganteng setiap melantangkan lirik “Akulah Arjunaaaaaaaaaaaaa…yang mencari cintaaaaaa…”
Padahal, kalau dipikir-pikir, mana ada Arjuna yang sangat kalem meraung seperti itu saat mencari? Itu sih Cakil, ksatria kera yang lincah tapi selalu kalah kalau melawan Arjuna.
Juga jangan bandingkan dengan “Mahameru”-nya Ahmad Dhani yang hanya dengan mendengarkannya saja sudah sanggup membuat kita menyusuri Ranu Kumbolo sambil minum coklat susu di dalam beku Arcapada.
Nah, sekarang kita mulai pembelaan untuk Ahmad Dhani.
Kalau Ahok dinyatakan bersalah sebagai penista agama, maka logikanya, Buni Yani bisa dibebaskan.
Mengapa? Karena Hakim tidak mempertimbangkan hilangnya kata “pakai” saat Ahok melantangkan kalimat; “Jangan mau dibohongi pakai Al Maidah.” Ada atau tidak ada kata “pakai”, toh Ahok tetap dihukum, kan?
Eh, sebentar. Buni Yani biarlah tetap dihukum, mengingat dia telah menunjukkan perilaku koruptif terhadap kalimat orang untuk satu tujuan politis. Dibohongi “pakai” Al Maidah dan dibohongi Al Maidah itu dua hal yang bisa sangat panjang untuk diperdebatkan.
Terlepas atas tafsir Ahoker tidak menyetujui vonis yang ditimpakan kepada Ahok, di akhir sidang, pengadilan sebagai kepanjangan tangan negara menetapkan Ahok secara sah dan meyakinkan sebagai penista agama.
Jadi, kalimat mana dari tiga rangkaian twit Ahmad Dhani berikut yang membuat pentolan Dewa terbukti secara sah dan bersalah, melalukan tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak, menyuruh, melakukan, dan menyebarkan kebencian?
“Yg menistakan Agama si Ahok… yg di adili KH Ma’ruf Amin.. ADP”
“Siapa saja yg dukung Penista Agama adalah Bajingan yg perlu di ludahi mukanya – ADP”
“Sila Pertama KETUHANAN YME, PENISTA Agama jadi Gubernur…kalian WARAS??? – ADP”
Bukankah Ahmad Dhani berdiri segaris dengan negara yang menetapkan Ahok sebagai penista agama?
Secara logika pun tidak mungkin meludahi semua pembela Ahok, berapa juta liter ludah mampu diproduksi musisi kepala plontos tersebut? Apalagi kalau ada di depan saya, bukan pengagum Ahok, tapi tidak mendukung hukuman atas kasusnya.
Semula saya berpikir ada hal yang paling menyedihkan di pengadilan tersebut. Tidak hadirnya rasa welas asih dari para hakim dan jaksa. Apa mereka tidak berutang rasa pada Ahmad Dhani? Tidak mampu mengingat di masa muda mereka, lagu Pupus karangan musisi menguatkan kita?
Semoga waktu akan mengilhami
Sisi hatimu yang beku
Semoga akan datang keajaiban
Hingga akhirnya kau pun mau
Begitu saya buka biodatanya, Ratmoho, Hakim Ketua dalam persidangan tersebut ternyata kelahiran 1960. Saya langsung paham, oh itu sih eranya Bimbo. Pantesan tidak punya utang rasa pada Ahmad Dhani.
Coba kalau dari Generasi X atau Y, pasti dalam putusannya akan mengatakan hal yang meringankan adalah karya terdakwa dahsyat sekali mempengaruhi masyarakat. Vonis cuma diharapkan lapor ke Polsek tiap Senin dan Kamis.
Ke depan, pesan ini khusus untuk Ahmad Dhani, yang perlu diperbaiki saat misuh adalah menggunakan simbol bintang, syarat, dan kondisi berlaku. Cara tersebut perlu ditempuh untuk meminimalisir risiko tuntutan dari orang baperan yang doyan melaporkan kelakuan orang.
Siapa saja yg dukung Penista Agama adalah Bajingan yg perlu diludahi mukanya*.
*) saya meludah dari dalam rumah saya – ADP
Terakhir, ikut berpartisipasi dalam keamanan negara itu memang oke banget. Ikut mengeliminir ujaran kebencian juga tak kalah okenya. Tapi kalau terlalu reaktif dan baper, penjara kita tidak akan cukup menampung surplus orang yang kita perkarakan.
Apalagi kalau kita sudah menjelma menjadi sosok hiper-partisipatif dengan mengusung tagline: “Sudahkah Anda lapor polisi hari ini?”