Belajar Hidup dengan Membayangkan Kematian setiap Hari

Pujangga China Misterius di Sebuah Pesantren

Pujangga China Misterius di Sebuah Pesantren

MOJOK.COKematian jelas merupakan sesuatu yang menakutkan dan mengerikan. Sebuah hadis populer di dalam Islam berbunyi, “Cukuplah kematian sebagai nasihat.”

“Setiap orang tahu mereka akan mati, tapi tak seorang pun percaya itu bisa terjadi pada mereka dalam waktu dekat.”

Petuah ini berasal dari Morrie Schwartz. Ia guru besar Sosiologi di Universitas Brandeis, Massachusetts, Amerika Serikat. Ia rajin olahraga, dansa, dan renang. Ia selalu riang. Pada usia 60-an ia berkata kepada temannya dengan bangga, “Mungkin aku akan menjadi jompo paling sehat yang kau kenal.”

Morrie mengucapkannya dalam keadaan yang sedang sehat-sehatnya. Kemudian sesuatu di luar perkiraan menimpanya, ia divonis menderita Lou Gehrig atau amyotropic lateral sclerosis (ALS), penyakit ganas tak kenal ampun yang menyerang sistem syaraf.

Kekuatan tenaga Morrie terus menurun. Reaksinya melambat. Tubuhnya melemah. Perlahan ia tidak bisa berenang, berdansa, menyopir, dan bahkan berjalan lagi. Dokter memperkirakan masa hidupnya paling lama dua tahun.

Respons awal Morrie bisa diduga. Ia marah.

Butuh waktu baginya untuk bisa berdamai dengan penyakit itu. Ketika saat itu datang, saat ketika ia sudah siap menghadapi kematian, keluarlah kalimat yang dikutip di awal tadi.

Karena kemampuannya untuk bersikap biasa dan positif dalam menyongsong akhir hidup, sebuah acara televisi terkenal di Amerika mewancarainya. Banyak orang terinspirasi ketika menyaksikannya. Ia memperoleh banyak simpati. Bahkan ada yang menyebutnya nabi.

Salah seorang penontonnya waktu itu adalah mantan mahasiswa kinasihnya, Mitch Albom, sekarang jurnalis olahraga. Mitch tiba-tiba merasa bersalah ketika menyaksikan acara itu. Setelah wisuda dulu ia berjanji akan selalu memelihara kontak dengan profesornya itu. Kenyataannya, kesibukan yang luar biasa membuatnya tak pernah sempat menemuinya. Tahu-tahu sudah enam belas tahun berlalu tanpa sekali pun ia mengunjungi gurunya. Bahkan mengingatnya namanya pun ia lupa.

Kalau bukan karena tidak sengaja menonton TV dan memindah-mindah saluran, mungkin ia tidak akan pernah tahu gurunya itu sedang sakit. Ia betul-betul sibuk mengejar ambisi.

Di hari yang sama ketika ia menonton acara TV itu, Mitch langsung terbang dari negara bagian Michigan ke Massachusetts untuk menemui sang profesor. Pertemuan ini sangat mengharukan dan bukan saja menggembirakan bagi sang profesor, mendorongnya untuk terus kuat bertahan menghadapi kematian, melainkan juga menjadi tikungan baru bagi kehidupan Mitch. Belajar dari pertemuan-pertemuan itu, ia kini bisa lebih rileks dan santai memandang dan menjalani hidup.

Mitch Albom menuliskan pengalaman dan pertemuannya dengan profesornya dalam novel biografis Tuesday with Morrie. Setelah pertemuan pertama, Mitch berjanji akan selalu datang setiap Selasa. Ia benar-benar melakukannya. Setiap bertemu mereka akan bercanda dan mengobrol. Mereka menyebut diri sebagai “orang hari Selasa”.

Mitch kemudian menyadari pertemuan saban Selasa ini menjadi kuliahnya yang kedua dengan sang profesor. Kali ini bukan tentang Sosiologi, tapi soal makna hidup. Ruang kuliahnya adalah rumah Morrie. Tak ada buku, majalah, papan tulis, pulpen, dan lain-lain. Mahasiswanya hanya ia sendiri. Wisudanya diganti dengan upacara pemakaman.

Di empat belas Selasa mereka bertemu. Mereka membincangkan tentang dunia, mengasihani diri sendiri, penyesalan diri, mati, keluarga, emosi, ketakutan menjadi tua, uang, cinta yang tak padam, perkawinan, budaya, maaf, hari yang paling baik, dan terakhir tentang perpisahan. Pada Selasa kelima belas Morrie sudah meninggal.

Sembari mendengarkan kuliah-kuliah itu, Mitch menyaksikan penurunan kemampuan Morrie, dari semula bisa mengangkat tangan menjadi tidak bisa lagi, dari semula bisa cebok sendiri hingga harus dicebokkan, dari bisa menulis menjadi tidak berdaya lagi. Meski demikian Morrie tetap bersemangat dan gembira.

Bagi Mitch, kuliah keduanya ini jauh lebih bermakna. Tapi, saya tidak tertarik pada kuliah-kuliah ini karena isinya sebagaimana banyak kuliah tentang makna hidup yang bisa kita jumpai di banyak buku sejenis. Saya lebih tertarik pada ketenangan Morrie dalam menyongsong kematian.

Suatu kali Morrie menghadiri upacara pemakaman kolega universitasnya. Ada banyak sambutan yang diberikan, tapi menurutnya itu tak banyak berguna. Toh koleganya sudah mati. Karena itu ia berinisiatif membuat upacara kematiannya sendiri. Upacara kematian yang dipercepat. Ia menyebar undangan. Teman-temannya datang untuk mengucapkan perpisahan, memberikan kesaksian, mengaturkan belasungkawa, dan lain-lain. Ada yang serius, ada yang berkelakar. Ada yang orasi, ada juga yang menyanyi dan baca puisi. Sayang sekali dalam buku yang ditulis dengan teknik kilas balik, antara kuliah pertama dan kuliah kedua ini, peristiwa menggelikan sekaligus mengharukan itu tidak diceritakan lebih banyak.

Bagi saya peristiwa itu luar biasa. Kematian dijadikan parodi. Kematian disambut dengan riang gembira. Kematian hendak dipeluk dengan manja. Kematian menjadi sesuatu yang menggairahkan untuk dijalani. “Sesungguhnya,” kata Morrie, “begitu kita tahu kapan kita akan mati, itu sama dengan belajar bagaimana kita akan hidup.”

Selama ini kita sering memandang dengan penuh iba kepada orang sakit yang menunggu kematian. Padahal mungkin mereka, seperti Morrie, adalah orang yang beruntung karena sakitnya itu memberi mereka waktu untuk memasuki kematian. Masa sakit seperti menjadi halte pemberhentian menunggu bis berikutnya yang membawanya pada kematian.

Kematian jelas merupakan sesuatu yang menakutkan dan mengerikan. Agama banyak sekali mengeksplorasi kematian untuk mendorong umat taat pada agama. Sebuah hadis populer di dalam Islam berbunyi, “Cukuplah kematian sebagai nasihat.” Kematian membuat hati orang bergetar dan ciut nyalinya. Seorang teman pernah berseloroh, andai tidak ada kematian mungkin agama tidak akan laku. Bisa jadi ia benar.

Morrie adalah seorang agnostik, tetapi kematian membuatnya menjadi lebih religius, setidaknya dalam pengertian yang lebih luas. “Andai kamu merasakan bagaimana kematian ini begitu dekat,” demikian ungkapnya pada Mitch, “kamu mungkin akan banyak memberi ruang pada hidupmu untuk kegiatan spiritual.” Tentu saja Mitch yang sangat sibuk, sebagaimana orang kota umumnya, yang habis hidupnya untuk kesibukan duniawi jadi tersipu dan tercenung. Betapa selama ini ia menghabiskan hari dengan bekerja saja.

Sayangnya, tidak semua orang seberuntung Morrie yang diberi sakit sebagai persiapan menuju kematian. Lalu, bagaimana cara menghadapi kematian bagi mereka yang tidak seberuntung dia?

“Berbuatlah seperti seorang Buddhis. Setiap hari ia membayangkan ada seekor burung di pundaknya yang selalu bertanya: ‘Sekarangkah hari ajalku? Siapakah aku? Sudahkah aku mengerjakan yang perlu aku perbuat? Apakah aku telah menjadi seperti yang kukehendaki?’“ Sembari mengucapkan itu Morrie tersenyum menengok ke pundaknya.

Adegan itu mengingatkan saya pada potongan puisi Subagio Sastrowardoyo, “Dan kematian Makin Akrab”.

Dan kematian jadi akrab, seakan kawan berkelakar

yang mengajak

tertawa – itu bahasa

semesta yang dimengerti –

Kematian jelas bukan sesuatu yang main-main. Ia begitu serius dan mencekam. Namun, barangkali kita tetap harus santai menghadapinya. Caranya? Dengan santai pula dalam menghadapi dan menjalani hidup.

Baca edisi sebelumnya: Sebuah Kota, Seorang Sastrawan, dan Iman di Dalamnya dan tulisan di kolom Iqra lainnya.

Exit mobile version