MOJOK.CO – Nyatanya, BCA lebih pintar mengurus rakyat ketimbang pemerintah Indonesia. Misal, ngurus KTP yang super menyebalkan dan bikin emosi.
Belum lama ini, ATM BCA saya hilang. Sebenarnya, masalah ini bukan jenis perkara yang terlalu besar. Namun, celakanya, saya ini orangnya (mungkin) terlalu berusaha hemat.
Jadi begini. Saking hematnya, saya nggak mau memakai mobile banking. Bukan karena nggak bisa, tapi karena takutnya malah kalap belanja online. Akhir bulan, saldo tinggal gocap, dan ATM BCA saya hilang. Bagaimana dengan dana darurat? Semua tersimpan dengan rapi di rekening… di ATM yang hilang itu.
Posisinya, saya kerja sebagai guru honorer di Bekasi. Kos saya sendiri ada di Jakarta. Sementara itu, KTP saya Kabupaten Bogor. Kok bisa? Ya karena rumah saya memang di Bogor.
Kenapa saya nggak kerja di Bogor saja? Ya karena lowongan kerja nggak selalu tersedia di alamat asli. Jadi ya begini hidup pekerja lintas domisili. Tinggal di satu kota, kerja di kota lain, dan KTP nun jauh di kabupaten.
Nah, karena nggak ada uang dan bank baru buka Senin, saya kelimpungan mencari solusi. Untungnya, ada CS Digital di dekat kos.
Saya masuk ke mesin, tempel e-KTP, scan sidik jari, masukin nomor rekening, klik konfirmasi, dan ATM baru keluar dalam waktu kurang dari lima menit. Sederhana, cepat, dan nggak perlu drama.
Lalu saya mikir, kenapa pemerintah selalu ribet dan nggak belajar dari BCA?
Sampai hari ini, saya belum mencetak e-KTP baru setelah menikah. Jadi, status saya ya masih tertera “belum kawin”. Sudah banyak yang menyarankan saya segera mengubah KTP.
Sebetulnya, langkah-langkah membuat KTP itu nggak ribet. Tapi, saya harus melewati proses yang bisa bikin makan hati.
Pertama, mengambil nomor antrean di Dukcapil. Lucunya, kadang kuota sudah habis semenjak subuh. Kedua, memasukkan semua data di sebuah website. Konyolnya, saya harus menunggu verifikasi yang hanya bisa dilakukan di hari dan jam kerja. Ketiga, saya tetap harus mengambil cuti.
Saya pernah, kok, mencoba langsung mengurus KTP baru setelah menikah. Sampai di sana, saya mendapat jawaban: “Blankonya abis.” HAHAHA.
Sebagai guru honorer yang penghasilannya nggak seberapa, saya nggak bisa seenaknya ambil cuti. Jika harus mengambil cuti demi mengurus KTP, saya akan kehilangan uang transport harian.
Makanya saya mikir, bukankah ngurus dokumen seperti KTP itu seharusnya mudah dan efisien? Kenapa harus seribet ini? Kenapa negara nggak belajar mencontoh BCA dalam melayani nasabah yang kehilangan ATM-nya?
Baca halaman selanjutnya: Kenapa malah BCA yang lebih paham gimana merawat rakyat.
KTP itu hak, bukan beban
KTP adalah identitas dasar warga negara. Mengakses atau memperbarui dokumen ini seharusnya gratis, mudah dijangkau, tidak menyusahkan.
Namun, yang terjadi, semua ini menjadi beban tambahan. Saya merasa administrasi proses mengurus KTP itu terlalu menyusahkan. Sudah begitu, saya merasa semua sistem pemerintah itu hanya untuk mereka yang kerja dari rumah atau yang kerja sesuai tempat tinggalnya, bukan buat pekerja lintas kota kayak saya.
Mencontoh BCA itu seharusnya gampang
Padahal, kalau pemerintah mau, mereka bisa banget bikin sistem cetak e-KTP semudah cetak ATM BCA. Misalnya begini.
- Bikin mesin layanan e-KTP digital yang tersedia di sekitar kantor Dukcapil. Seperti BCA bikin CS Digital.
- Operasikan sampai malam, misalnya pukul 10, biar bisa diakses siapa saja selepas jam kerja.
- Verifikasi lewat wajah dan sidik jari, lalu kirim OTP ke nomor yang terdaftar.
- Setelah itu, cetak KTP langsung dari mesin.
Bahkan kalau perlu, pemerintah bisa menempatkan mesin seperti ini di mal, stasiun, atau kantor pos. Tinggal tambahin satu atau dua petugas keamanan. Selesai. Nggak ribet. Kenapa harus dibuat susah? Contohlah itu BCA membuat sistem yang bagus.
Kalau alasannya adalah menghindari penipuan atau penyalahgunaan data, ya perketat sistem verifikasi biometrik. Gunakan teknologi yang lebih aman, bukan malah membuat prosedurnya makin rumit. Buka akses online yang benar-benar bisa diakses dari mana saja, bukan sekadar formalitas dan jargon “digital”.
Negara harus jadi pelindung, bukan penghambat
Warga negara bukan beban. Pelayanan publik harus memudahkan rakyat, terutama yang sudah berkontribusi seperti guru, tenaga kesehatan, buruh, dan lainnya.
Sebetulnya, saya tidak ingin membandingkan BCA dengan pemerintah. Tapi, kondisi yang membuat saya berpikir seperti ini dan saya yakin banyak yang merasakan juga.
Jadi, sebuah bank swasta mampu membuat sistem yang nyaman untuk urusan penting menyangkut uang nasabah. Eh, ada sebuah negara, yang nggak bisa membuat sistem yang senyaman itu, untuk urusan identitas warga negara.
Pemerintah suka sistem yang menyusahkan
Pemerintah Indonesia ini terlalu suka bikin antrean yang nggak perlu dan super menyusahkan. Misalnya, untuk melakukan verifikasi Identitas Kependudukan Digital (IKD) harus langsung ke kantor Dukcapil atau kecamatan. Nanti di sana ada proses pemindaian QR dan pengecekan wajah sebagai bentuk validasi data biometrik.
Katanya digitalisasi tapi nggak paham kondisi di bawah. Nggak semua warga masyarakat ini perangkatnya mendukung aplikasi IKD. Sementara itu, kewajiban hadir langsung justru membebani lagi. Nggak semua orang bisa dengan mudah meninggalkan pekerjaan. Belum mereka yang kerja di luar kota.
Kenapa orang pemerintahan nggak bisa berpikir sesimpel BCA? Untuk KTP, itu jelas sangat penting.
Misal, untuk daftar BPJS, membuat rekening, ikut pemilu. Semua butuh KTP. Jadi ya wajar dong, kalau saya sebagai rakyat, berharap negara bisa melayani dengan cara yang lebih waras kayak BCA.
Dengan semua kecanggihan yang ada hari ini, kehilangan ATM bisa diselesaikan dalam lima menit. Tapi cetak e-KTP? Blanko-nya masih ngandelin mukjizat. Konyol banget.
Penulis: Chinthia Ayu Dayana
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Jangan Coba-coba Kehilangan KTP, Mengurus KTP Hilang Itu Ribet Banget! Dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.
