MOJOK.CO – Setelah Bashar Al Assad minggat, apakah Suriah akan bisa melewati masa kelam dan apakah bisa terbebas dari jeratan diktator lagi? Rumit.
Pejuang atau pemberontak? Narasi itu terus bergulir setelah rezim Bashar Al Assad terjatuh dan “dikudeta” oleh kelompok Hay’at Tahrir Al-Sham (HTS).
HTS merupakan sebuah kelompok yang pernah dicap teroris oleh United Kingdom (UK) pada 2017 dan Amerika Serikat (AS) pada 2018. Alasannya? ya karena terafiliasi dengan Al Qaeda.
Al Qaeda, seperti yang kita tahu, menjadi dalang dari runtuhnya WTC pada September 2001. Lalu, pada tahun yang sama, dunia internasional pelan-pelan mengenal apa itu tindakan teror. Menariknya, HTS, yang mana pimpinannya bernama Mohammad al-Jolani, “didesain” teroris oleh AS pada 2013.
Ketika melihat fakta tersebut, pantaskah kita menyebut bahwa alumni Al Qaeda yang memimpin oposisi untuk melawan rezim Bashar Al Assad di Suriah? Lalu, apa sebutan yang pantas bagi HTS? Pejuang atau pemberontak?
Konflik Suriah yang rumit
Konflik di wilayah Timur Tengah selalu rumit. Satu sama lain saling berkelindan. Jika satu wilayah terkena agresi, wilayah lain, baik yang berdekatan maupun berjauhan akan terkena dampaknya.
Bahkan, tidak hanya wilayah di situ saja melainkan juga sekutu dari wilayah yang terkena konflik, akan terkena dampaknya juga. Nah, inilah yang terjadi di konflik Suriah menjelang akhir 2024.
Bashar Al Assad ditopang adalah dua sekutu yang bernama Iran dan Rusia. Iran bersahabat baik dengan Hezbollah (salah satu kelompok Islam di Lebanon).
Sementara itu, AS sangat membenci Bashar Al Assad. Sebab, Assad dianggap sebagai “hama” bagi Israel. Kepentingan Israel di Suriah sering dihalangi Assad, dan oleh karena itu, AS ingin menyingkirkan Assad.
Ndilalah, kepentingan AS sejalan dengan Turki. Negeri yang sedang dipimpin Erdogan itu menganggap kepemimpinan Assad sudah melenceng dari asas keislaman.
Usut punya usut, Bashar Al Assad terafiliasi dengan Syiah. Kelompok yang acapkali, bagi sebagian besar umat Islam, dianggap mengganggu keislaman. Bahkan, ada pula yang menganggap Syiah bukan Islam.
Erdogan juga menganggap bahwa Bashar Al Assad yang bertanggung jawab atas lebih dari 500 ribu nyawa melayang setelah Arab Spring pada 2011. Maka, sudah sepantasnya Assad harus lengser dari kepemimpinannya selama hampir seperempat abad di Suriah.
Apalagi, ditunjang fakta ada lebih dari 6,3 juta pengungsi Suriah yang mencoba merangsek ke berbagai wilayah Timur Tengah. Sebagian besar mengarah ke Turki. Hal tersebut akhirnya juga menjadi permasalahan karena Assad dianggap gagal melindungi warganya.
Anehnya, meskipun banyak manusia-manusia Suriah meregang nyawa, berlarian mencari suaka, Bashar Al Assad masih bisa bertahan setidaknya sebelum kabur ke Moskow pada 9 Desember 2024.
Kudeta secepat kilat
Memang, tidak ada yang menyangka bahwa lengsernya Assad bisa terjadi dalam hitungan hari. Walaupun sebelumnya, tanda-tanda lengser Assad semakin dekat ketika para sekutunya sibuk dengan urusan masing-masing.
Rusia yang berkonflik dengan Ukraina. Iran bersama Hezbollah sedang perang dengan Israel. Bahkan, pasukan Hezbollah yang ada di Suriah pun sempat menarik diri.
Akhirnya, Bashar Al Assad hanya sendiri. Tak mampu menahan lagi. Dan akhirnya, kun fayakun.
Konflik Suriah memang panjang. Tapi, kisah terjatuhnya Assad cukup pendek. Hanya butuh 12 hari dari 27 November 2024.
Setelah rezim Bashar Al Assad, bakal ada kebangkitan atau keterpurukan?
Bagi penggiat wilayah Timur Tengah, setiap konflik yang berujung lengser, belum tentu negara tersebut akan menjadi baik. Misalnya, Libya pasca Muammar Khadafi dan Irak pasca Saddam Hussein. Stabilitas perekonomian kedua negara tersebut tidak bisa dibilang bagus.
Data dari IMF, GDP per kapita Irak per 2023 hanya mencapai $4.136,20. Sangat jauh dibandingkan ketika Saddam Hussein berkuasa.
Sementara itu, Libya, meskipun lebih baik karena GDP per kapita per 2023 mencapai $7.329,98, tetap tidak bisa menyamai masa kepemimpinan Khadafi. Saat itu, tahun 2008, pernah menyentuh angka $13.921,90.
Dari angka-angka tersebut, semestinya Suriah harus waspada. Setiap pergolakan, entah itu konflik air, minyak, atau agama, belum tentu akan menjadi perubahan lebih baik. Dua negara di atas bisa menjadi contoh.
Lalu, apakah Suriah akan bisa melewati masa-masa kelam selama 54 tahun? Dan apakah Suriah bisa terbebas dari jeratan diktator lagi? Barangkali iya, tapi masih ada ancaman lain bernama ISIS.
ISIS masih bergerilya di tanah Suriah
Sesaat setelah al-Jolani sujud karena berhasil melengserkan Bashar Al Assad, di saat itu pula AS mengirimkan serangan ke Suriah. Alasan Joe Biden sederhana saja. ISIS masih berkuasa di tanah Suriah. Maka, dengan adanya ISIS akan mengganggu pergerakan tentara Israel di Suriah.
Ya, Israel berusaha menguasai Dataran Tinggi Golan yang notabene berada di wilayah perbatasan Israel, Lebanon, Jordania, dan Suriah. Meskipun begitu, secara geografis Dataran Tinggi Golan masih berada di tanah Suriah.
Dengan demikian, apakah konflik di Suriah akan berakhir? Iya, jika konflik antara pemerintahan Bashar Al Assad versus timnas oposisi Suriah. Namun, pertarungan babak baru akan segera dimulai.
Pertarungan antara Israel-AS vs ISIS. Pertarungan di babak baru yang tentu saja, dan prediksinya, akan berkelanjutan sampai entah kapan.
Krisis di Timur Tengah tidak akan selesai selama ada kepentingan AS di sana. Selain menancapkan pengaruh dan memperkuat status sebagai negara adikuasa, AS juga berusaha mempengaruhi negara-negara Arab agar Israel tetap berdiri di tanah Palestina. Begitu.
Penulis: Moddie Alvianto W.
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Alasan Perang Tidak Pernah Betul-Betul Pergi dari Timur Tengah dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.