Bahayanya Kharisma Member JKT48 Bagi Pasangan Non-Wota

MOJOK.COKatanya, menyukai salah satu member JKT48 adalah suatu kenormalan, jadi nggak perlu diperdebatkan. Ah, kata siapa, sih???

Awalnya, saya pikir kelulusan Melody dari grup idola JKT48 akan sedikit membuat eksistensi sister group dari Jepang ini berkurang. Nyatanya, tidak juga, tuh. JKT48 dengan regenerasinya yang tiada henti, melahirkan kembali generasi dedek-dedek gemes baru untuk diorbitkan.

Sedikit cerita, dulu saya pernah berpacaran dengan seorang penggemar JKT48 akut alias wota dan, ketahuilah, masa-masa itu adalah masa yang paling asdfghjkl—tak jauh berbeda dengan pacaran sama wibu. Sebenarnya, sebutan wota sendiri berlainan arti dari penggemar JKT48, tapi di sini kita sebut wota saja daripada FJKT48 yang kurang praktis untuk diketik.

Memangnya, kenapa menjadi pacar seorang wota itu asdfghjkl? Ya, bagaimana tidak? Kami (para pacar wota) harus rela bersaing dalam sunyi dan mengumpat dalam pekat terhadap para member yang dari suara kentutnya saja mungkin lebih indah. Tapi, ya sudahlah. Saya pikir, itu risiko pacaran dengan wota. Siapa suruh diterima?! pekik saya pada termos mama, kala itu.

Saya sempat heran mengapa pacar saya dulu lebih mengedepankan komitmen delusionalnya bersama member daripada saya yang jelas-jelas lebih nyata, terpercaya, etis, dan akurat. Melihat pengorbanannya yang rela menghabiskan waktu dan uang untuk sekadar menunjukkan dukungannya kepada idola, saya jadi bertanya-tanya: JKT48 ini reinkarnasi dari pasukan di kekaisaran mana, sih, sebenarnya??? Di kehidupan sebelumnya, negara mana, sih, yang sudah Melody dkk. ini selamatkan??? Kok, ya, menang banyak ini dedek-dedek???

Pengalaman itulah yang membuat saya lebih selektif memilih pasangan berikutnya. Satu hal yang menjadi pertimbangan utama adalah: “DIA TERMASUK FANS JKT48 ATAU BUKAN?”

Untuk mengecek hal ini, saya harus jaim, dong. Saya harus main halus, yang saya mulai dengan kalimat menjebak sambil menunjukkan foto salah satu member ternama, “Ini artis mana, sih? Kayak baru lihat. Kamu tahu, nggak?”

Kalau dia jawab, “Oh, itu member JKT48, namanya Anu,” wah langsung saya block!

Mungkin, kalau dulu saya nemu wota yang bisa membagi waktu ngidolnya dan waktu ngapelnya dengan baik, saya tidak akan se-anti ini pada JKT48. Tapi kalau dipikir-pikir, wota mana, sih. yang bisa adil? Toh, pria kebanyakan, kan, selalu kesulitan dalam berbuat adil. Bukan begitu?

Sekarang gini, deh: memangnya mereka bersedia membagi anggaran ngidolnya dengan kita? Biaya itu sendiri mencakup biaya nonton theater JKT48, biaya handshake, dan biaya foto bareng. Mana mau dia bagi dengan anggaran saya buat beli BB Cream Wardah? Saya rasa, sih, nggak.

Sekali lagi, Okta dkk. menang banyak. FYI, Okta adalah member JKT48 di Tim T, kali-kali saja kamu penasaran.

Dan itu tidak hanya berlaku bagi wota saja. Mau bukti?

Pacar saya sekarang, yang merupakan lelaki hasil dari seleksi CPNS “Wota Atau Bukan”, awalnya tidak terdeteksi seorang wota. Dia hanya pria sederhana yang mencintai saya apa adanya biasa yang pernah menjadikan JKT48 dan perilaku fans-nya sebagai bahan penelitian di kampus. Saya rasa, semuanya jelas akan aman. Tapi…

…ya itu tadi: kharisma para member JKT48 itu berbahaya!!!11!!!1!!!

Dia, yang awalnya hanya berniat riset untuk penelitian, ujung-ujungnya jadi terpincut juga pada pesona Mbak Okta itu.

Sialan. Inginku teriak, inginku menangis.

Walau dia berkilah dengan kalimat basi, “Halah, masih cantikan kamu, Yang,” tetap saja, saya yang hanya remahan M*lkist Abon ini sadar betul, dia cuma beralibi. Saya tahu, dia cuma modus! Dia tengah menyebarkan hoaks!

Melihat saya yang panas-dingin oleh emosi, dia berujar kembali, “Terus, aku kan nggak bisa ngobrol dalem sama member kayak sama kamu. Mana bisa aku ngomongin isu-isu sosial sama mereka? Kan aku lebih suka topik itu.”

Dalam hati, saya mengeluh, “Ya iyalah, wong durasi ngobrolnya cuma 10 detik doang di momen handshake! Mana bisa ngobrolin sepak terjang Pak Harto atau ghibahin Kim Jong Un dalam sekali tatap 10 detik??? Mana bisa, Kang Mas???”

Rasa-rasanya, ingin sekali saya menumpahkan kemarahan dengan elegan, misalnya denga berkata, “Harusnya Mas bisa melihat potensi aku lebih jauh. Mbak Okta belum tentu bisa seperti aku: kalau siang jadi Gita Savitri yang kritis, anggun, dan malu-malu, tapi kalau malam jadi Djenar Maesa Ayu. Kalau Mbak Okta, sih, belum tentu!”

Tapi, saya tahan kata-kata itu. Bisa turun elektabilitas saya sebagai cagub masa depan di Konoha!

Katanya, menyukai salah satu member di JKT48 adalah suatu kenormalan, jadi nggak perlu diperdebatkan. Katanya, adalah wajar bagi setiap cowok untuk minimal suka atau hafal salah satu membernya. Tapi…

…kata siapa??? Bapak saya, kakek saya, sampai mamang-mamang galon di pinggir rumah saya nggak ada, tuh, yang hafal sama member senbatsu yang menang kemarin!

Kalau sudah begini, saya suka berandai-andai. Mungkin, kalau saya ulang tahun nanti, saya bakal meniru permintaan ultah istrinya Kepala Suku di Mojok. Beliau, ketika ditanya, “Mau hadiah ulang tahun apa?”, menjawab dengan gelengan kepala, lalu berujar, “Aku cuma pengen makin disayang kamu aja.”

Uuuu, so sweet banget nggak, siiiih~

Para lelaki, tolong pahami ini: memang katanya kecemburuan terhadap artis seperti JKT48 adalah kecemburuan yang tidak mendasar, minim makna, dan tiada arti. Tapi, mau bagaimanapun, perempuan tetaplah perempuan to, Mas. Lagi pula, siapa yang nggak kesal melihat history pencarian di Instagram pacar isinya cuma Okta doang???

Dan asal kalian tahu, kesalnya perempuan itu susah disembunyikan. Contohnya, kalau lagi ada di satu momen romantis, saya dan pacar suka sekali berandai-andai soal masa depan. Tak jarang, pacar saya mulai dengan pertanyaan, “Kamu mau punya anak berapa kalau kita udah nikah?”

Saya jawab, “Berapa aja, yang penting halal.”

Lalu, saya tanya balik, “Kalau punya anak, kamu maunya anak laki-laki atau perempuan?” Dengan sigap, dia jawab, “Perempuan.”

Dasar sudah dikuasai api cemburu, secara otomatis, saya cuma bisa menggerutu dalam hati,

“Halah, kalau udah beneran lahir nanti pasti dinamain Okta!”

Exit mobile version